Sabtu, 06 April 2013

Bendera dan Lambang Aceh Picu Konflik Lagi?


Bendera dan Lambang Aceh Picu Konflik Lagi?
Toni Ervianto ;   Pascasarjana Kajian Strategik Intelijen UI
MEDIA INDONESIA, 06 April 2013


Konflik Aceh yang berlangsung sejak 1975 sebenarnya sudah melalui jalan yang terjal, berliku, dan berdarah-darah. Kalau kita mau menengok ke belakang, berdasarkan catatan sejarah, konfl ik tersebut berawal pada 1975 ketika Hasan Tiro, yang merasa kecewa dengan keputusan pemerintah pusat karena tidak memberikan konsesi pengelolaan minyak dan sumber daya alam Aceh, mendirikan Teuntara Nanggroe Aceh (TNA) Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di puncak salah satu gunung terkenal di Aceh.

Aceh pun menjadi ajang pertempuran yang saling menewaskan anak bangsa ketika itu. Pada Juli 1990, rezim Orde Baru menggelar operasi Jaring Merah yang dikenal dengan daerah operasi militer (DOM) selama kurang lebih delapan tahun (7 Agustus 1998 DOM dicabut).

Fase berikutnya yang dilalui dalam sejarah Aceh, 2000-2002 ialah fase dialog politik yang ditandai dengan kesepakatan RI-GAM terkait dengan jeda kemanusiaan di Jenewa, Swiss (12 Mei 2000), dilanjutkan RUU Otsus Aceh yang disetujui DPR (19 Juli 2001), kemudian GAM menerima UU NAD sebagai langkah awal (9-11 Mei 2002).

Jalan politik kemudian dianggap ‘terlalu lama’ untuk menyelesaikan masalah separatisme itu sehingga kemudian ‘jalan kekerasan’ ditempuh dengan menerapkan status darurat militer melalui Keppres No 28 Tahun 2003 tertanggal 18 Mei 2003. Itu dilanjutkan dengan penerapan darurat sipil pada 18 Mei 2004. Status itu kemudian diperpanjang selama enam bulan pada 18 November 2004.

Setelah bencana gempa bumi dan gelombang tsunami menerjang Aceh pada 26 Desember 2004, yang menyebabkan sekitar 400 ribu jiwa melayang, jalan dialog politik dan resolusi konfl ik secara lebih beradab kembali ditempuh kedua pihak yang bertikai. Selama Januari-Juli 2005, RI dan GAM berunding dalam lima babak dan berhasil menyusun kesepakatan damai di Helsinki, Finlandia. 

Kemudian, pada 15 Agustus 2005, nota kesepahaman ditandatangani di Vantaa, Helsinki, Finlandia.
Dalam MoU Helsinki tersebut, Aceh mendapatkan berbagai keistimewaan baik di bidang politik maupun ekonomi. Dalam bidang politik atau pemerintahan, misalnya, Aceh dapat membentuk atau mem punyai partai politik lokal (ada sebanyak enam partai lokal di Aceh dan Pemilihan Umum Kepala Daerah 2007 dan 2012 membuktikan partai politik lokal bernama Partai Aceh menguasai atau mendominasi hasil pemilu kada dengan menempatkan kader terbaik mereka sebagai Gubernur Aceh), membuat kanun Aceh, membentuk Lembaga Wali Nanggroe, dan berhak menggunakan simbol wilayah (bendera, lambang, dan himne) Aceh.

Yang akhir-akhir ini menimbulkan perdebatan dan peningkatan tensi politik yang memanas antara pusat dan Aceh ialah keputusan politik DPR Aceh pada 22 Maret 2013 yang menyetujui bendera dan lambang Aceh dalam sidang paripurna. Hal itu kemudian diperkuat dengan ke putusan Gubernur Aceh yang menyetujui bendera dan lambang Aceh pada 25 Maret 2013.

Sebenarnya, menjadi tidak masalah jika bendera dan lambang Aceh yang di setujui tersebut tidak mirip dengan bendera GAM (sebuah organisasi separatis yang seharusnya tidak perlu eksis lagi dalam bentuk apa pun pascapenand tuk apa pun pascapenandatanganan MoU Helsinki). Saat ini, diakui atau tidak, GAM masih eksis dalam bentuk aktivis dan pengurusnya atau mantan kombatannya menjadi pengurus Komite Peralihan Aceh (KPA) ataupun Partai Aceh (PA). Bahkan hasil Pemilu Kada 2012 telah membuat hegemoni pengaruh dan `kuku-kuku kekuasaan' KPA/PA semakin kuat di tubuh eksekutif dan legislatif Aceh.

Tensi politik semakin mendidih antara pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Aceh tatkala terjadi pengibaran bendera dan lambang Aceh yang mirip dengan bendera GAM di sejumlah daerah, diikuti dengan mobilisasi massa melalui konvoi di sejumlah kota seperti Kota Lhokseumawe (26/3), Kota Langsa dan Aceh Timur (27/3), Bireuen ada 1 April 2013 ketika (28/3), dan pada 1 April 2013 ketika ribuan massa berkumpul di Masjid Baiturrahman (mengingatkan rakyat Aceh akan peristiwa tuntutan refe rendum kemerdekaan Aceh pada 1999) yang kemudian juga melakukan konvoi berkeliling Kota Banda Aceh dan Aceh Besar.

Dalam menyikapi memanasnya tensi politik tersebut, pemerintah pusat kemudian berdialog dengan jajaran pemerintah lokal. Hasilnya, bendera dan lambang Aceh yang mirip bendera GAM tidak dikibarkan sebelum proses verifikasi selesai. Namun faktanya, bendera tersebut masih berkibar seperti di daerah Calang, Aceh Jaya (4/4), padahal Gubernur Aceh Zaini Abdullah sudah melarangnya. John C Maxwell mengatakan People do what people see (anak buah bertindak atas dasar yang dilihatnya).

Pemicu Konflik (Lagi)?

Dengan mengacu ke deskripsi Arend Lijphart dalam Consociationalism Democracy, tahap demokrasi terbagi dalam tiga jenis, yaitu centrifugal democracy, depoliticized democracy, dan centripetal democracy. Keadaan Indonesia pada umumnya, termasuk Aceh, masuk tahap centrifugal democracy yang ditandai dengan perilaku elite politiknya yang sangat kompetitif. Situasi konflik di antara elite membuat masyarakat menjadi terfragmentasi yang menjadikan konflik semakin membesar.

Sinyalemen Lijphart tampaknya cocok untuk menganalisis kemungkinan pro-kontra bendera dan lambang Aceh itu dapat menyurut terulangnya konflik Aceh. Terbukti, masyarakat di Aceh Barat mengibarkan bendera Merah Putih dan menghormatinya saat masyarakat di kabupaten lainnya mengibarkan bendera Aceh yang mirip bendera GAM. Kemudian masyarakat di kawasan Aceh Leuser Antara dan Aceh Barat Selatan menuntut kembali pemekaran kedua provinsi yang sempat tertunda.

Agar tidak terjadi konflik lagi di Aceh gara-gara `bendera', kedua pihak tidak mengedepankan kekuasaan untuk menyelesaikannya. Tellyrand mengibaratkan kekuasaan ibarat bayonet. Banyak yang bisa dilakukan dengan bayonet, kecuali duduk di atasnya. Artinya kekuasaan cenderung digunakan untuk melukai pihak lain.

Oleh karena itu, bukanlah langkah yang salah, bahkan menjadi sebuah `kearifan berpolitik yang canggih', jika Aceh mau melakukan verifikasi terkait dengan bendera dan lambang daerahnya. Tujuannya agar rakyat Aceh tidak menilai pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Aceh seperti sinyalemen Geoff Mulgan. Mulgan dalam Politics in an Antipolitical Age (1994) mengatakan politik semestinya dan seharusnya dibangun berdasarkan nilai-nilai moral serta etika, tapi pada pelaksanaannya, yang lebih dominan ialah memperbanyak kepentingan dan untuk menyelamatkan diri semata. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar