Konflik Aceh yang
berlangsung sejak 1975 sebenarnya sudah melalui jalan yang terjal,
berliku, dan berdarah-darah. Kalau kita mau menengok ke belakang,
berdasarkan catatan sejarah, konfl ik tersebut berawal pada 1975 ketika
Hasan Tiro, yang merasa kecewa dengan keputusan pemerintah pusat karena tidak
memberikan konsesi pengelolaan minyak dan sumber daya alam Aceh,
mendirikan Teuntara Nanggroe Aceh (TNA) Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di
puncak salah satu gunung terkenal di Aceh.
Aceh pun menjadi ajang pertempuran yang saling
menewaskan anak bangsa ketika itu. Pada Juli 1990, rezim Orde Baru
menggelar operasi Jaring Merah yang dikenal dengan daerah operasi militer
(DOM) selama kurang lebih delapan tahun (7 Agustus 1998 DOM dicabut).
Fase berikutnya yang dilalui dalam sejarah Aceh,
2000-2002 ialah fase dialog politik yang ditandai dengan kesepakatan
RI-GAM terkait dengan jeda kemanusiaan di Jenewa, Swiss (12 Mei 2000),
dilanjutkan RUU Otsus Aceh yang disetujui DPR (19 Juli 2001), kemudian
GAM menerima UU NAD sebagai langkah awal (9-11 Mei 2002).
Jalan politik kemudian dianggap ‘terlalu lama’ untuk
menyelesaikan masalah separatisme itu sehingga kemudian ‘jalan kekerasan’
ditempuh dengan menerapkan status darurat militer melalui Keppres No 28
Tahun 2003 tertanggal 18 Mei 2003. Itu dilanjutkan dengan penerapan darurat
sipil pada 18 Mei 2004. Status itu kemudian diperpanjang selama enam
bulan pada 18 November 2004.
Setelah bencana gempa bumi dan gelombang tsunami
menerjang Aceh pada 26 Desember 2004, yang menyebabkan sekitar 400 ribu
jiwa melayang, jalan dialog politik dan resolusi konfl ik secara lebih
beradab kembali ditempuh kedua pihak yang bertikai. Selama Januari-Juli
2005, RI dan GAM berunding dalam lima babak dan berhasil menyusun
kesepakatan damai di Helsinki, Finlandia.
Kemudian, pada 15 Agustus 2005,
nota kesepahaman ditandatangani di Vantaa, Helsinki, Finlandia.
Dalam MoU Helsinki tersebut, Aceh mendapatkan
berbagai keistimewaan baik di bidang politik maupun ekonomi. Dalam bidang
politik atau pemerintahan, misalnya, Aceh dapat membentuk atau mem punyai
partai politik lokal (ada sebanyak enam partai lokal di Aceh dan
Pemilihan Umum Kepala Daerah 2007 dan 2012 membuktikan partai politik
lokal bernama Partai Aceh menguasai atau mendominasi hasil pemilu kada
dengan menempatkan kader terbaik mereka sebagai Gubernur Aceh), membuat
kanun Aceh, membentuk Lembaga Wali Nanggroe, dan berhak menggunakan
simbol wilayah (bendera, lambang, dan himne) Aceh.
Yang akhir-akhir ini menimbulkan perdebatan dan
peningkatan tensi politik yang memanas antara pusat dan Aceh ialah keputusan
politik DPR Aceh pada 22 Maret 2013 yang menyetujui bendera dan lambang
Aceh dalam sidang paripurna. Hal itu kemudian diperkuat dengan ke putusan
Gubernur Aceh yang menyetujui bendera dan lambang Aceh pada 25 Maret
2013.
Sebenarnya, menjadi tidak masalah jika bendera dan
lambang Aceh yang di setujui tersebut tidak mirip dengan bendera GAM
(sebuah organisasi separatis yang seharusnya tidak perlu eksis lagi dalam
bentuk apa pun pascapenand tuk apa pun pascapenandatanganan MoU
Helsinki). Saat ini, diakui atau tidak, GAM masih eksis dalam bentuk
aktivis dan pengurusnya atau mantan kombatannya menjadi pengurus Komite
Peralihan Aceh (KPA) ataupun Partai Aceh (PA). Bahkan hasil Pemilu Kada
2012 telah membuat hegemoni pengaruh dan `kuku-kuku kekuasaan' KPA/PA
semakin kuat di tubuh eksekutif dan legislatif Aceh.
Tensi politik semakin mendidih antara pemerintah
pusat dan Pemerintah Provinsi Aceh tatkala terjadi pengibaran bendera dan
lambang Aceh yang mirip dengan bendera GAM di sejumlah daerah, diikuti
dengan mobilisasi massa melalui konvoi di sejumlah kota seperti Kota
Lhokseumawe (26/3), Kota Langsa dan Aceh Timur (27/3), Bireuen ada 1
April 2013 ketika (28/3), dan pada 1 April 2013 ketika ribuan massa
berkumpul di Masjid Baiturrahman (mengingatkan rakyat Aceh akan peristiwa
tuntutan refe rendum kemerdekaan Aceh pada 1999) yang kemudian juga
melakukan konvoi berkeliling Kota Banda Aceh dan Aceh Besar.
Dalam menyikapi memanasnya tensi politik tersebut,
pemerintah pusat kemudian berdialog dengan jajaran pemerintah lokal.
Hasilnya, bendera dan lambang Aceh yang mirip bendera GAM tidak
dikibarkan sebelum proses verifikasi selesai. Namun faktanya, bendera
tersebut masih berkibar seperti di daerah Calang, Aceh Jaya (4/4),
padahal Gubernur Aceh Zaini Abdullah sudah melarangnya. John C Maxwell
mengatakan People do what people
see (anak buah bertindak atas dasar yang dilihatnya).
Pemicu
Konflik (Lagi)?
Dengan
mengacu ke deskripsi Arend Lijphart dalam Consociationalism Democracy,
tahap demokrasi terbagi dalam tiga jenis, yaitu centrifugal democracy,
depoliticized democracy, dan centripetal democracy. Keadaan
Indonesia pada umumnya, termasuk Aceh, masuk tahap centrifugal
democracy yang ditandai dengan perilaku elite politiknya yang sangat
kompetitif. Situasi konflik di antara elite membuat masyarakat menjadi
terfragmentasi yang menjadikan konflik semakin membesar.
Sinyalemen
Lijphart tampaknya cocok untuk menganalisis kemungkinan pro-kontra
bendera dan lambang Aceh itu dapat
menyurut terulangnya konflik Aceh. Terbukti, masyarakat di Aceh Barat
mengibarkan bendera Merah Putih dan menghormatinya saat masyarakat di
kabupaten lainnya mengibarkan bendera Aceh yang mirip bendera GAM.
Kemudian masyarakat di kawasan Aceh Leuser Antara dan Aceh Barat Selatan
menuntut kembali pemekaran kedua provinsi yang sempat tertunda.
Agar tidak terjadi konflik lagi di Aceh gara-gara
`bendera', kedua pihak tidak mengedepankan kekuasaan untuk
menyelesaikannya. Tellyrand mengibaratkan kekuasaan ibarat bayonet.
Banyak yang bisa dilakukan dengan bayonet, kecuali duduk di atasnya.
Artinya kekuasaan cenderung digunakan untuk melukai pihak lain.
Oleh karena itu, bukanlah langkah yang salah, bahkan
menjadi sebuah `kearifan berpolitik yang canggih', jika Aceh mau
melakukan verifikasi terkait dengan bendera dan lambang daerahnya.
Tujuannya agar rakyat Aceh tidak menilai pemerintah pusat dan Pemerintah
Provinsi Aceh seperti sinyalemen Geoff Mulgan. Mulgan dalam Politics in an Antipolitical Age
(1994) mengatakan politik semestinya dan seharusnya dibangun berdasarkan
nilai-nilai moral serta etika, tapi pada pelaksanaannya, yang lebih
dominan ialah memperbanyak kepentingan dan untuk menyelamatkan diri
semata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar