Jumat, 05 April 2013

Memaknai Esprit de Corps


Memaknai Esprit de Corps
Herie Purwanto ;   Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
SUARA MERDEKA, 05 April 2013

  
SEPEKAN setelah kejadian penyerbuan sekelompok orang tak dikenal di LP Cebongan Sleman DIY dan menyebabkan 4 tahanan meregang nyawa karena ditembus peluru, publik begitu antusias mengikuti perkembangan penanganan kasus tersebut. Lebih-lebih, seperti sudah terbentuk dalam benak mereka tentang pelaku perbuatan keji tersebut.

Sepertinya publik ingin menyuarakan, beranikah mengungkap siapa pelaku tragedi yang oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disebut telah secara langsung menyerang kewibawaan negara? (SM, 27/3/13).

Pernyataan SBY harus disikapi secara mendalam oleh semua komponenan bangsa, termasuk pilar negara, bahwa tidak ada sedikit pun ruang untuk menutup-nutupi, atau bahkan melindungi pelaku, apa pun alasannya. Karena, dari sisi mana pun, motif kejadian tersebut, sangat tidak manusiawi dan bertentangan dengan nilai-nilai penghargaan atas hak hidup yang merupakan hak asasi manusia.
Perkembangan signifikan atas pernyataan tersebut adalah penegasan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo yang mengakui indikasi keterlibatan anggota dalam penyerangan yang menewaskan 4 tahanan di dalam sel LP kelas II itu (SM, 30/3/13). Untuk mengusut pihak yang terlibat, TNI AD membentuk tim investigasi, menjabarkan perintah Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono.

Kemajuan ini tentunya memberikan suatu harapan pada keseriusan penuntasan kasus tersebut. Mengapa? Pertama; asumsi yang sudah terbangun pada benak publik, pelaku penyerangan tersebut dilakukan oleh sekelompok orang tak dikenal, namun baik modus yang dilakukan maupun motif perbuatan mereka, dengan mudah bisa ditarik ada benang merah dengan kasus di Hugo’s Cafe, yang menyebabkan seorang anggota Kopassus tewas dianiaya oleh 4 pelaku, yang akhirnya tewas tertembak di LP Cebongan.

Dalam konteks kriminologi, pelaku tindak pidana penganiayaan hingga menyebabkan kematian seseorang, cenderung mempunyai motif tertentu. Di antara motif yang ada, motif dendamlah yang paling dominan. Lebih-lebih bila tewasnya tersebut dengan cara-cara yang berlebihan, semisal ditusuk pisau berulang-ulang, kepala dibenturkan berkali-kali, hingga ditembak senjata api dengan memuntahkan banyak peluru.

Perlakuan Khusus

Logika sederhananya, apabila tidak berlatar dendam, hanya cukup dibenturkan sekali, ditusuk pun sekali atau ditembak pada bagian tubuh yang mematikan, tanpa harus melakukan pengulangan. Motif dendam sangat identik dengan perbuatan yang berlebihan serta mengakibatkan banyak titik luka atau cedera.

Kedua; dari asumsi yang pertama tadi, publik ingin keterbukaan pemerintah, dalam hal pihak yang nantinya diberi kewenangan untuk mengungkap secara tuntas perkara ini. Pembentukan tim independen, tim investigasi, atau tim pencari fakta, tidak akan menyelesaikan masalah apabila ujung-ujungnya hanya memberikan rekomendasi, tanpa ada tindakan yang berakhir eksekusi atas kesalahan para pelaku.

Hal ini berkaca pada beberapa kasus yang menyita perhatian masyarakat, dan kemudian pemerintah membentuk tim gabungan pencari fakta, kendati hasil investigasi tim itu jauh dari harapan masyarakat. Kesimpulan akhir pengusutan kasus Tanjung Priok, kekerasan di Papua, kasus Marsinah, Udin, Tragedi Semanggi I dan II, serta kasus Mesuji, dinilai berseberangan dengan harapan publik.
Bila benar kali ini pemerintah mengharap dituntaskannya kasus ini, itu menjadi jawaban yang ditunggu-tunggu publik. Akuntabilitas atas supremasi hukum yang menjadi komitmen pemerintah, akan diuji. Selama ini, seperti sudah terbentuk mindset yang keliru, bahwa kelompok masyarakat tertentu mendapat semacam perlakuan khusus bila melakukan perbuatan yang nyata-nyata melanggar hukum. Seakan-akan, ”perlindungan’’ ala era Orde Baru masih berlaku, demi untuk menutupi kesalahan yang sebenarnya kesalahan oknum, bukan kesalahan lembaga.

Hal lain yang lebih menyesatkan adalah asumsi-asumsi esprit de corps yang keliru. Pada lembaga seperti TNI, Polri, lembaga swadaya masyarakat atau mahasiswa yang begitu bangga dengan doktrin-doktrin dan simbol-simbol seragam yang bisa membangkitkan jiwa korsa, perlu memahami kembali makna esprit de corps tadi.

Rasa senasib dan sepenanggungan perlu ditempatkan dalam hal-hal yang bersifat positif, membangun, memberi motivasi dalam bingkai keterwujudan visi dan misi organisasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar