SEPEKAN setelah kejadian penyerbuan
sekelompok orang tak dikenal di LP Cebongan Sleman DIY dan menyebabkan 4
tahanan meregang nyawa karena ditembus peluru, publik begitu antusias
mengikuti perkembangan penanganan kasus tersebut. Lebih-lebih, seperti
sudah terbentuk dalam benak mereka tentang pelaku perbuatan keji
tersebut.
Sepertinya publik ingin menyuarakan,
beranikah mengungkap siapa pelaku tragedi yang oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono disebut telah secara langsung menyerang kewibawaan
negara? (SM, 27/3/13).
Pernyataan SBY harus disikapi secara
mendalam oleh semua komponenan bangsa, termasuk pilar negara, bahwa tidak
ada sedikit pun ruang untuk menutup-nutupi, atau bahkan melindungi
pelaku, apa pun alasannya. Karena, dari sisi mana pun, motif kejadian
tersebut, sangat tidak manusiawi dan bertentangan dengan nilai-nilai
penghargaan atas hak hidup yang merupakan hak asasi manusia.
Perkembangan signifikan atas pernyataan
tersebut adalah penegasan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI
Pramono Edhie Wibowo yang mengakui indikasi keterlibatan anggota dalam
penyerangan yang menewaskan 4 tahanan di dalam sel LP kelas II itu (SM,
30/3/13). Untuk mengusut pihak yang terlibat, TNI AD membentuk tim
investigasi, menjabarkan perintah Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono.
Kemajuan ini tentunya memberikan suatu harapan
pada keseriusan penuntasan kasus tersebut. Mengapa? Pertama; asumsi yang
sudah terbangun pada benak publik, pelaku penyerangan tersebut dilakukan
oleh sekelompok orang tak dikenal, namun baik modus yang dilakukan maupun
motif perbuatan mereka, dengan mudah bisa ditarik ada benang merah dengan
kasus di Hugo’s Cafe, yang menyebabkan seorang anggota Kopassus tewas
dianiaya oleh 4 pelaku, yang akhirnya tewas tertembak di LP Cebongan.
Dalam konteks kriminologi, pelaku tindak
pidana penganiayaan hingga menyebabkan kematian seseorang, cenderung
mempunyai motif tertentu. Di antara motif yang ada, motif dendamlah yang
paling dominan. Lebih-lebih bila tewasnya tersebut dengan cara-cara yang
berlebihan, semisal ditusuk pisau berulang-ulang, kepala dibenturkan berkali-kali,
hingga ditembak senjata api dengan memuntahkan banyak peluru.
Perlakuan
Khusus
Logika sederhananya, apabila tidak
berlatar dendam, hanya cukup dibenturkan sekali, ditusuk pun sekali atau
ditembak pada bagian tubuh yang mematikan, tanpa harus melakukan
pengulangan. Motif dendam sangat identik dengan perbuatan yang berlebihan
serta mengakibatkan banyak titik luka atau cedera.
Kedua; dari asumsi yang pertama tadi,
publik ingin keterbukaan pemerintah, dalam hal pihak yang nantinya diberi
kewenangan untuk mengungkap secara tuntas perkara ini. Pembentukan tim
independen, tim investigasi, atau tim pencari fakta, tidak akan
menyelesaikan masalah apabila ujung-ujungnya hanya memberikan
rekomendasi, tanpa ada tindakan yang berakhir eksekusi atas kesalahan para
pelaku.
Hal ini berkaca pada beberapa kasus yang
menyita perhatian masyarakat, dan kemudian pemerintah membentuk tim
gabungan pencari fakta, kendati hasil investigasi tim itu jauh dari
harapan masyarakat. Kesimpulan akhir pengusutan kasus Tanjung Priok,
kekerasan di Papua, kasus Marsinah, Udin, Tragedi Semanggi I dan II,
serta kasus Mesuji, dinilai berseberangan dengan harapan publik.
Bila benar kali ini pemerintah mengharap
dituntaskannya kasus ini, itu menjadi jawaban yang ditunggu-tunggu
publik. Akuntabilitas atas supremasi hukum yang menjadi komitmen
pemerintah, akan diuji. Selama ini, seperti sudah terbentuk mindset yang
keliru, bahwa kelompok masyarakat tertentu mendapat semacam perlakuan
khusus bila melakukan perbuatan yang nyata-nyata melanggar hukum.
Seakan-akan, ”perlindungan’’ ala era Orde Baru masih berlaku, demi untuk
menutupi kesalahan yang sebenarnya kesalahan oknum, bukan kesalahan
lembaga.
Hal lain yang lebih menyesatkan adalah
asumsi-asumsi esprit de corps
yang keliru. Pada lembaga seperti TNI, Polri, lembaga swadaya masyarakat
atau mahasiswa yang begitu bangga dengan doktrin-doktrin dan
simbol-simbol seragam yang bisa membangkitkan jiwa korsa, perlu memahami
kembali makna esprit de corps
tadi.
Rasa senasib dan sepenanggungan perlu
ditempatkan dalam hal-hal yang bersifat positif, membangun, memberi
motivasi dalam bingkai keterwujudan visi dan misi organisasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar