KETIKA pulih dari sakit,
Nelson Mandela, 95, baru-baru ini muncul menyapa puluhan ribu rakyatnya.
Dari tayangan televisi tampak betapa hangat rakyat menyambut pemimpin
Afrika Selatan yang mendapat julukan `Bapak Negara' itu. Aktivis
antikolonialisme dan antiapartheid itu dijatuhi hukuman seumur hidup pada
1962 karena perjuangannya membebaskan Afrika Selatan dari sistem yang
terangterang melanggar HAM. Berkat suatu kampanye internasional, dia
dibebaskan 1990, setelah 27 tahun pemenjaraan.
Dia mengusahakan penghapusan apartheid lewat perundingan dengan
Presiden Afrika Selatan waktu itu FW De Klerk. Pada 1994 mereka
mengadakan pemilihan umum untuk semua ras, tidak eksklusif untuk kulit
putih. African National Congress
(ANC), partai yang dipimpin Mandela, menang mutlak. Pada usia 76 tahun,
Mandela menjadi Presiden Republik Sosialis Afrika Selatan, 1994-1999.
Banyak pengkritik menganggapnya berhaluan kiri.
Pada usia tuanya, Mandela rajin
menjalankan gerakan sosial untuk penghapusan kemiskinan. Selain Hadiah
Nobel untuk Perdamaian pada 1993, dia menerima sekitar 250 penghargaan
internasional lainnya. Dia juga dikenang karena usaha rekonsiliasi rakyat
Afrika Selatan. Itulah sosok pamong--pengurus yang mengasuh atau
momong--rakyat Afrika Selatan. Agaknya benar ungkapan orang Barat bahwa
pemimpin terpilih sesuai kehendak rakyatnya--konsep yang mengikuti asas
demokrasi. Rakyat Afrika Selatan menginginkan tokoh seperti Mandela
sebagai pamongnya.
Pamong untuk Kesamaan Persepsi
Afrika Selatan ialah contoh bagaimana
sebuah bangsa dan negara berproses untuk mencari kesamaan persepsi, kalau
bukan jati diri. Sulit untuk mengatakan sampai kapan proses itu akan
berlangsung dan apakah akan pernah berakhir. Seperti negara-negara
demokrasi lainnya, dia menjalankan sistem politik dan pemerintahan sesuai
dengan kehendak mayoritas rakyatnya.
Pengingkaran atau pengabaian terhadap aturan main berarti tercabiknya
kesepakatan bersama.
Situasi di negeri ini pun sama, dalam
arti: setelah hampir tujuh dasawarsa merdeka, kita pun masih berproses
mencari kesamaan persepsi mengenai bagaimana mewujudkan negara dan bangsa
seperti yang diidamkan founding
fathers. Falsafah yang mereka rumuskan belum sepenuhnya mampu kita
patuhi dan jalankan. Alasannya bisa kita telusuri dari sejarah wilayah
ini: selama berabad-abad betapa ramainya berbagai masyarakat asing,
dengan tradisi bahkan agama masing-masing, berlalu lalang di wilayah ini.
Masing-masing meninggalkan jejak yang diadopsi rakyat, yang kemudian oleh
founding fathers dirangkum dan
diresmikan menjadi budaya bersama masyarakat ini.
Idealnya, bersatu kita akan teguh. Namun,
heterogenitas masyarakat tidak bisa dimungkiri. Asas pluralisme, yang
sudah menjadi slogan, tidak gampang dipatuhi. Akibatnya, konflik-konflik
primordial acap kali meletup di sana-sini sampai sekarang.
Dalam sejarah modern kita, ada
tuntutan-tuntutan konkret dalam usaha menyamakan persepsi. Antara lain
tuntutan pendidikan sebab masyarakat tak mungkin bisa mengem bangkan
wawasan tanpa pendidikan memadai; termasuk pendidikan tentang bangsa dan
budaya sendiri--unsur-unsur yang masih tetap diperlukan demi terpupuknya
rasa kebersamaan sebagai suatu bangsa yang menegakkan suatu negara.
Tentang anggapan bahwa masyarakat
mengalami kemerosotan moral, kurikulum 2013 menanggapinya dengan
memperbanyak pelajaran agama. Namun, pelajaran tentang hubungan vertikal
manusia dengan Tuhan tidak akan cukup untuk mengatasi masalahmasalah
akibat hubungan horizontal antarmanusia yang tidak harmonis; antara lain
karena kemiskinan dan ketidakadilan serta ketidaktahuan.
Berburu
Pamong
Salah persepsi gampang terjadi bila kita
kehilangan atau kekurangan pamong yang memadai. Kita melihat kerepotan
berbagai partai politik menje lang Pemilu 2014 terkesan tidak memfokuskan
pada apa yang kita butuhkan; tetapi lebih kepada cara partai politik
memenangi pemilu. Mudah-mudahan semua ini hanya prolog menjelang gawe
yang sesungguhnya, yakni mengedepankan para calon pemimpin yang memiliki
wawasan dan persepsi sama untuk kepentingan bersama. Bukan hanya pemimpin
tertinggi, melainkan juga jajaran pemimpin di bawahnya, termasuk yang
mewakili rakyat banyak.
Evaluasi tentang kegiatan perpolitikan
kita di waktu lalu menunjukkan kurangnya mempersiapkan para pemimpin
untuk menjalankan tugas sesuai dengan fungsi mereka--eksekutif,
legislatif, dan yudikatif--terutama akibat kurangnya pendidikan politik
yang seharusnya menjadi bekal menjalankan tugaskewajiban. Penyelewengan
ialah bukti bahwa banyak di antara mereka kurang menyadari posisi mereka.
Sikap menomorduakan tugas utama sebagai pemimpin, dan lebih mengutamakan
kepentingan pribadi/kelompok, ialah bukti lain.
Bila kita kembali ke inti persoalan: apa
arti kemerdekaan kalau bukan untuk membangun kesejahteraan bersama? Maka
faktanya heboh dan kerancuan di dunia politik bukan terjadi akhir-akhir
ini saja, melainkan mulai sejak awal kemerdekaan. Banyak tawur pendapat
yang masing-masing meyakini keunggulan gagasannya. Sayangnya, belum
terpikirkan penyelenggaraan forum diskusi besar berkesinambungan
antarmasyarakat cendekia untuk merumuskan apa yang terbaik bagi bangsa
dan negara ini dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Yang terjadi
malahan benturan berbagai pendapat secara ad hoc yang bisa melahirkan salah persepsi, bahkan salah
langkah.
Apalagi kita umumnya, para pemimpin
khususnya, lupa bahwa mayoritas penduduk kita--lebih dari 60%--hanya
berpendidikan SD. Sebenarnya justru di situ tugas partai-partai politik:
memberikan pendidikan politik, termasuk untuk rakyat kebanyakan; dan
mengedepankan para pamong mumpuni untuk kita semua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar