Jumat, 05 April 2013

Pamong


Pamong
Toeti Prahas Adhitama ;   Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 05 April 2013

  
KETIKA pulih dari sakit, Nelson Mandela, 95, baru-baru ini muncul menyapa puluhan ribu rakyatnya. Dari tayangan televisi tampak betapa hangat rakyat menyambut pemimpin Afrika Selatan yang mendapat julukan `Bapak Negara' itu. Aktivis antikolonialisme dan antiapartheid itu dijatuhi hukuman seumur hidup pada 1962 karena perjuangannya membebaskan Afrika Selatan dari sistem yang terangterang melanggar HAM. Berkat suatu kampanye internasional, dia dibebaskan 1990, setelah 27 tahun pemenjaraan.

Dia mengusahakan penghapusan apartheid lewat perundingan dengan Presiden Afrika Selatan waktu itu FW De Klerk. Pada 1994 mereka mengadakan pemilihan umum untuk semua ras, tidak eksklusif untuk kulit putih. African National Congress (ANC), partai yang dipimpin Mandela, menang mutlak. Pada usia 76 tahun, Mandela menjadi Presiden Republik Sosialis Afrika Selatan, 1994-1999. Banyak pengkritik menganggapnya berhaluan kiri.

Pada usia tuanya, Mandela rajin menjalankan gerakan sosial untuk penghapusan kemiskinan. Selain Hadiah Nobel untuk Perdamaian pada 1993, dia menerima sekitar 250 penghargaan internasional lainnya. Dia juga dikenang karena usaha rekonsiliasi rakyat Afrika Selatan. Itulah sosok pamong--pengurus yang mengasuh atau momong--rakyat Afrika Selatan. Agaknya benar ungkapan orang Barat bahwa pemimpin terpilih sesuai kehendak rakyatnya--konsep yang mengikuti asas demokrasi. Rakyat Afrika Selatan menginginkan tokoh seperti Mandela sebagai pamongnya.

Pamong untuk Kesamaan Persepsi

Afrika Selatan ialah contoh bagaimana sebuah bangsa dan negara berproses untuk mencari kesamaan persepsi, kalau bukan jati diri. Sulit untuk mengatakan sampai kapan proses itu akan berlangsung dan apakah akan pernah berakhir. Seperti negara-negara demokrasi lainnya, dia menjalankan sistem politik dan pemerintahan sesuai dengan kehendak mayoritas rakyatnya.
Pengingkaran atau pengabaian terhadap aturan main berarti tercabiknya kesepakatan bersama.
Situasi di negeri ini pun sama, dalam arti: setelah hampir tujuh dasawarsa merdeka, kita pun masih berproses mencari kesamaan persepsi mengenai bagaimana mewujudkan negara dan bangsa seperti yang diidamkan founding fathers. Falsafah yang mereka rumuskan belum sepenuhnya mampu kita patuhi dan jalankan. Alasannya bisa kita telusuri dari sejarah wilayah ini: selama berabad-abad betapa ramainya berbagai masyarakat asing, dengan tradisi bahkan agama masing-masing, berlalu lalang di wilayah ini. Masing-masing meninggalkan jejak yang diadopsi rakyat, yang kemudian oleh founding fathers dirangkum dan diresmikan menjadi budaya bersama masyarakat ini.

Idealnya, bersatu kita akan teguh. Namun, heterogenitas masyarakat tidak bisa dimungkiri. Asas pluralisme, yang sudah menjadi slogan, tidak gampang dipatuhi. Akibatnya, konflik-konflik primordial acap kali meletup di sana-sini sampai sekarang.

Dalam sejarah modern kita, ada tuntutan-tuntutan konkret dalam usaha menyamakan persepsi. Antara lain tuntutan pendidikan sebab masyarakat tak mungkin bisa mengem bangkan wawasan tanpa pendidikan memadai; termasuk pendidikan tentang bangsa dan budaya sendiri--unsur-unsur yang masih tetap diperlukan demi terpupuknya rasa kebersamaan sebagai suatu bangsa yang menegakkan suatu negara.

Tentang anggapan bahwa masyarakat mengalami kemerosotan moral, kurikulum 2013 menanggapinya dengan memperbanyak pelajaran agama. Namun, pelajaran tentang hubungan vertikal manusia dengan Tuhan tidak akan cukup untuk mengatasi masalahmasalah akibat hubungan horizontal antarmanusia yang tidak harmonis; antara lain karena kemiskinan dan ketidakadilan serta ketidaktahuan.

Berburu Pamong

Salah persepsi gampang terjadi bila kita kehilangan atau kekurangan pamong yang memadai. Kita melihat kerepotan berbagai partai politik menje lang Pemilu 2014 terkesan tidak memfokuskan pada apa yang kita butuhkan; tetapi lebih kepada cara partai politik memenangi pemilu. Mudah-mudahan semua ini hanya prolog menjelang gawe yang sesungguhnya, yakni mengedepankan para calon pemimpin yang memiliki wawasan dan persepsi sama untuk kepentingan bersama. Bukan hanya pemimpin tertinggi, melainkan juga jajaran pemimpin di bawahnya, termasuk yang mewakili rakyat banyak.

Evaluasi tentang kegiatan perpolitikan kita di waktu lalu menunjukkan kurangnya mempersiapkan para pemimpin untuk menjalankan tugas sesuai dengan fungsi mereka--eksekutif, legislatif, dan yudikatif--terutama akibat kurangnya pendidikan politik yang seharusnya menjadi bekal menjalankan tugaskewajiban. Penyelewengan ialah bukti bahwa banyak di antara mereka kurang menyadari posisi mereka. Sikap menomorduakan tugas utama sebagai pemimpin, dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi/kelompok, ialah bukti lain.

Bila kita kembali ke inti persoalan: apa arti kemerdekaan kalau bukan untuk membangun kesejahteraan bersama? Maka faktanya heboh dan kerancuan di dunia politik bukan terjadi akhir-akhir ini saja, melainkan mulai sejak awal kemerdekaan. Banyak tawur pendapat yang masing-masing meyakini keunggulan gagasannya. Sayangnya, belum terpikirkan penyelenggaraan forum diskusi besar berkesinambungan antarmasyarakat cendekia untuk merumuskan apa yang terbaik bagi bangsa dan negara ini dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Yang terjadi malahan benturan berbagai pendapat secara ad hoc yang bisa melahirkan salah persepsi, bahkan salah langkah.

Apalagi kita umumnya, para pemimpin khususnya, lupa bahwa mayoritas penduduk kita--lebih dari 60%--hanya berpendidikan SD. Sebenarnya justru di situ tugas partai-partai politik: memberikan pendidikan politik, termasuk untuk rakyat kebanyakan; dan mengedepankan para pamong mumpuni untuk kita semua. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar