Jumat, 05 April 2013

Kurikulum Baru dan Robotisasi Guru


Kurikulum Baru dan Robotisasi Guru
Hartono ;   Dosen dan Sekretaris Fakultas Bahasa Unissula Semarang
SUARA MERDEKA, 05 April 2013
  

"Untuk ”menghibur”, pemerintah menyatakan beban guru akan lebih ringan dengan pemberlakuan Kurikulum 2013"

MESKI ada penolakan atau setidak-tidaknya permintaan penundaan pemberlaluan Kurikulum 2013 dari beberapa  kalangan (SM, 28/3/13), pemerintah berketetapan  menerapkan kurikulum tersebut mulai medio Juli  tahun ini. Pemerintah telah mengalokasikan anggaran, merancang silabus dan buku, menyiapkan pelatihan guru, dan sebagainya,  sehingga beranggapan tidak ada alasan yang cukup berarti untuk membatalkan atau  menunda Kurikulum 2013.  

Mendiknas Muhammad Nuh, dalam tanggapannya terhadap kritik masyarakat, bahkan menganggap para pengkritik itu sebagai pihak yang kurang memahami konstruksi kompetensi dalam kurikulum, sebagaimana digariskan UU Sisdiknas (Kompas, 8/3/2013).

Sebagai sebuah proses dinamis, perubahan bahkan penggantian kurikulum adalah sebuah keniscayaan. Ini karena kurikulum harus selalu menyesuaikan dengan kebutuhan zamannya. Yang penting untuk diperhatikan sebenarnya bukanlah sekadar apa yang sedang diubah dan ditawarkan oleh kurikulum baru, melainkan pada proses bagaimana perubahan itu diupayakan, yang oleh Popper (1962) disebut sebagai sebuah kontinum dari utopian ke piecemeal.

Penganut utopian percaya bahwa cetak biru kurikulum yang menspesifikasikan tujuan dan cara pencapaian adalah sangat penting, dan begitu ini ditentukan maka tidak ada lagi perubahan mendasar yang bisa dilakukan.  Di sisi lain penganut piecemeal  berpandangan bahwa meskipun ada cetak biru, itu hanyalah sebuah titik awal; perubahan dan penyesuaian dilakukan sedikit demi sedikit. Penganut paham ini berpandangan bahwa perubahan ataupun inovasi kurikulum akan berhasil manakala perubahan itu tidak terlalu jauh dengan apa yang sekarang dipraktikkan atau setidak-tidaknya dipikirkan.

Kurikulum 2013 lebih condong ke arah utopian, perubahan diinisiasi oleh pimpinan puncak pendidikan di negeri ini dalam hal ini Kemendikbud. Tujuan kurikulum sebagaimana yang tercakup dalam kompetensi inti (KI) dan kompetensi Dasar (KD), bahkan silabus dan buku, telah dipersepsikan secara terpusat.

Praktik seperti ini hanya akan memosisikan guru sebagai ahli mekanik dengan keterlibatan pasif sebatas penyampai materi pembelajaran. Hal ini perlu diperhatikan secara sungguh-sungguh karena keberhasilan atau kegagalan sebuah perubahan kurikulum akan sangat bergantung pada seberapa besar guru merasa terlibat dalam proses perubahan tersebut.  

Ketika masih banyak guru yang belum sepenuhnya memahami substansi dan semangat Kurikulum 2006, mereka dihadapkan dengan perkara baru yang dalam waktu sangat singkat harus dipersiapkan dan diekskusi di kelas. Probabilitas atas disorientasi sangat besar.

Mengantisipasi hal ini, dan untuk ”menghibur” guru, pemerintah menyatakan bahwa dengan Kurikulum 2013 pekerjaan guru akan lebih ringan karena tidak lagi dituntut untuk mengembangkan silabus dan bahan ajar sebagaimana dituntut oleh Kurikulum 2006 (KTSP). Silabus dan buku ajar telah disiapkan oleh pemerintah.

Sebagai Pembelajar

Ini adalah berita baik bagi sebagian guru, tetapi berita buruk bagi sebagian yang lain karena ini adalah penegasan betapa peran guru pada Kurikulum 2013 adalah peripheral, sebagai robot-robot mekanik yang hanya menjalankan apa yang telah diprogramkan oleh sang tuan.
Ketika terjadi perubahan kurikulum, kita seyogianya menempatkan guru sebagai pembelajar dan perubahan kurikulum itu sebagai kegiatan pembelajaran bagi mereka. Kita harus memperhatikan dua prinsip. Pertama; guru mampu mengoptimalkan kegiatan pembelajaran manakala ada keterlibatan dalam pengembangan tujuan pembelajaran yang sebidang atau selaras dengan yang ada  dalam pikiran mereka.

Guru yang sudah bertahun-tahun mengajar pasti mempunyai gambaran sangat jelas yang terjadi di kelas, termasuk faktor penyebab, dan cara mengatasi persoalan tersebut. Seandainya tujuan pembelajaran yang dibawa oleh kurikulum baru itu tidak sama dengan apa yang dipikirkan guru, atau karena kurang tersosialisasikan sehingga terjadi distorsi pemahaman terhadap tujuan tersebut maka kita tidak bisa berharap terjadi perubahan secara substansial.

Kedua; guru bereaksi terhadap pengalaman sebagaimana mereka memersepsikan pengalaman tersebut, bukan seperti apa yang disampaikan oleh  perumus kurikulum. Ketika guru Bahasa Inggris SMP/MTs membaca butir kompetensi inti,” Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli...” maka yang diperolehnya adalah ketidakjelasan peran yang harus dilakukan, apakah sebagai guru Bahasa Inggris atau guru Agama.

Butir ini tentu tidak salah, tetapi pemahaman yang dibentuk berdasarkan pengalaman selama ini menjadikan ini terdengar aneh. Jika memahami peran penting yang akan dimainkan oleh guru, terkait dengan pengimplementasian kurikulum baru, pemerintah harus berani mengambil tanggung jawab dengan cara mendengarkan, mendukung, dan bertindak atas apa yang menjadi perhatian para guru. Karena itu, tidak ada pilihan yang lebih baik kecuali menunda pelaksanaan penerapan Kurikulum 2013. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar