Meski
sudah memasuki akhir musim penghujan, bencana banjir ternyata masih
terjadi di sejumlah daerah. Di Ngawi, Bojonegoro, dan Tuban misalnya,
banjir memaksa ribuan warga mengungsi, dan dua orang di antaranya tewas.
Bahkan di
Sampang, Madura, jumlah korban tewas akibat meluapnya Kali Kemuning lebih
banyak lagi, yakni mencapai lima orang (KORAN SINDO, 10/4). Ancaman
banjir ini diyakini masih akan berlanjut, bahkan bisa semakin parah
mengingat masih belum adanya solusi komprehensif terhadap peristiwa yang
masuk dalam kategori bencana lingkungan ini.
Selama ini,
penanganan banjir terjebak pada hal-hal yang bersifat fisik dan teknis,
dan cenderung mengabaikan aspek lainnya termasuk aspek sosial yang justru
jauh lebih rumit. Salah satu contoh rumitnya aspek sosial dalam mengatasi
banjir adalah gagalnya rencana pembangunan Waduk Jipang yang digagas
sejak 1974, sebagai solusi mengatasi banjir Sungai Bengawan Solo. Solusi
itu tak kunjung terealisasi karena penduduk lokal enggan direlokasi.
Mereka
beralasan kawasan itu menjadi habitat yang sudah mereka tempati
turun-temurun. Meski tempat tinggalnya dianggap kurang layak, namun bagi
mereka hidup di lingkungan semacam itu bukan suatu masalah. Karena itu,
mengedepankan aspek sosial dalam penanganan banjir bisa menjadi salah
satu pilihan yang paling mungkin dilakukan.
Salah satunya
adalah konsep “Living Harmony with Flood” atau hidup berhamoni dengan
banjir. Melalui konsep ini, penduduk di kawasan banjir diajak
menyesuaikan diri dengan kondisi seperti itu, tentunya dalam
kesehariannya.
Contohnya, di
wilayah dengan banyak rawa atau rawan banjir, bisa dilakukan redesain
rumah tinggal menjadi rumah panggung. Desain rumah panggung disesuaikan
dengan prediksi tingkat risiko yang dialami. Misalnya rumah panggung
untuk siaga satu, dengan ketinggian muka air 20 hingga 50 cm. Siaga dua,
tinggi muka air 51 hingga 150 cm, dan siaga tiga tinggi muka air 151
hingga 2,5 meter.
Kembali ke Kearifan Lokal
Konsep
penanganan banjir dengan pola kembali ke alam menjadi sebuah keniscayaan.
Hal itu karena menyesuaikan diri dengan alam mengandung kearifan lokal
(local wisdom)yang merupakan fitrah kehidupan. Kearifan lokal diyakini
mampu memelihara alam dari berbagai gangguan akibat keserakahan manusia.
Alam dihibahkan kepada manusia agar dimanfaatkan.
Semuanya itu
sebenarnya diciptakan sebagai rahmatan lil alamin. Namun karena ulah
keliru manusia, akhirnya mendatangkan mudarat sehingga timbul bencana.
Banjir misalnya, terjadi akibat kekeliruan dalam mengelola vegetasi
penutup tanah, khususnya hutan pegunungan.
Akibatnya air
hujan yang semestinya menjadi rahmatan lil alamin, berubah menjadi
mudharatan lil alamin dan menjelma sebagai banjir. Dalam Al Quran Surat
Al Qaaf ayat 9 tertulis, “Dan kami
turunkan dari langit hujan yang banyak manfaat dan tepat guna, dan kami
tumbuhkan dengan air hujan itu tanam-tanaman yang rindang dan biji-biji
tanaman dari jenis sabitan”.
Menurut
Sunnatullah, air hujan yang jatuh di permukaan bumi ini harus
sebanyakbanyaknya masuk ke dalam tanah (bumi), kemudian menghidupkan bumi
(menyuburkan tanah), dan dari situ akan tumbuh aneka buah-buahan dan
hasil pertanian untuk manusia. Melalui berbagai cara, air hujan memasuki
tanah melalui infiltrasi dan perkolasi, di antaranya dengan bantuan
pepohonan.
Tajuk pohon
membantu intersepsi air, sedangkan akar pohon membantu infiltrasi dan
perkolasi. Akibatnya, limpasan permukaan air hujan di permukaan tanah (ru
off) menjadi minimal. Berbagai ulah manusia dalam memanfaatkan sumber
daya alam hutan, mengakibatkan populasi pohon semakin menipis atau bahkan
terjadi penggundulan hutan.
Akibat dari
berkurangnya jumlah pohon atau hilangnya pohon, permukaan tanah menjadi
tidak terlindungi terhadap pukulan air hujan. Akibatnya hanya sedikit
sekali air hujan yang dapat memasuki tanah (infiltrasi dan perkolasi),
dan sebagian besar air hujan mengalir di permukaan tanah yang curam
dengan menghanyutkan apa saja yang ada di permukaan tanah.
Terjadilah
erosi, pengikisan tanah, dan akhirnya terjadilah tanah longsor, banjir,
banjir lumpur atau banjir bandang. Sementara di daerah bawah (hilir),
bencana banjir biasanya terjadi akibat kiriman dari daerah atas (hulu),
karena air hujan yang jatuh tidak dapat masuk ke dalam tanah serta
saluran drainase air hujan semakin kecil. Mengecilnya drainase ini karena
tersumbat sampah atau karena beralih fungsi menjadi kawasan hunian.
Karena itu,
mengembalikan alam kepada Sunnatullah akan membuat keseimbangan alam
kembali terjaga. Langkah ini harus ditempuh agar manusia bisa menjaga
alam dan alam bisa membalas kearifan manusia dengan memberikan segala isi
dan kandungannya yang bermanfaat bagi manusia.
Bila
ditelusuri, di Tanah Air ini banyak mitos yang sebenarnya berfungsi
menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan. Bisa diambil contoh mitos
yang cukup baik di Desa Tebat Langsat, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten
Lahat Sumatera Selatan. Desa ini berada di bawah bukit yang ditumbuhi
aneka jenis pohon dan bambu yang subur. Di bukit itu pula terdapat sumber
mata air berupa kolam luas yang digunakan untuk mandi dan minum serta
mengairi sawah.
Warga
menyebut sumber air tersebut sebagai Tebat Serian. Di desa itu, ada dua
pantangan yang jika dilanggar akan menyebabkan kebakaran seluruh desa,
dan ini berarti petaka. Pantangan pertama, warga dilarang membawa masuk
ke desa beberapa jenis kayu tertentu walau itu sebesar jari telunjuk.
Kedua, dilarang menyusun kayu dalam keadaan basah.
Bila
dicermati, kedua mitos tersebut banyak manfaatnya. Lihat saja, sebagian
besar jenis kayu yang masuk dalam pantangan pertama berada di bukit itu.
Dengan demikian, pantangan ini menyelamatkan hutan di lereng dan bukit
tersebut sehingga terhindar dari tanah longsor. Pantangan kedua,
menghentikan penduduk untuk menebang pohon (atau bagian-bagiannya) yang
masih hidup.
Dengan
demikian, mengharuskan penduduk hanya untuk mencari kayu yang benar-benar
kering. Apa yang terjadi? Hutan di sekitar Desa Tebat Langsat benar-
benar lestari. Mengapa bisa begitu? Jawabnya, karena dijaga oleh mitos.
Sekali lagi, membuktikan bahwa sejak dulu sebetulnya kesadaran menjaga
dan memelihara lingkungan sudah tertanam di sanubari masyarakat
tradisional kita.
Mungkin dalam
bahasa modern sekarang ini di mata mereka hutan, air, dan udara mempunyai
hak untuk dilindungi. Karena itu, memaknai alam dan bencana sebagai
Sunnatullah harus dipandang sebagai solusi hakiki. Sinergi alam dengan
manusia secara positif akan tercipta karena peran ekosistem sesungguhnya
adalah melindungi manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar