Jumat, 12 April 2013

Memaknai Banjir sebagai Sunnatullah


Memaknai Banjir sebagai Sunnatullah
Arif Lukman Hakim  ;  Pemerhati Lingkungan Hidup,
Bekerja di Pemprov Jawa Timur
KORAN SINDO, 12 April 2013

  
Meski sudah memasuki akhir musim penghujan, bencana banjir ternyata masih terjadi di sejumlah daerah. Di Ngawi, Bojonegoro, dan Tuban misalnya, banjir memaksa ribuan warga mengungsi, dan dua orang di antaranya tewas. 

Bahkan di Sampang, Madura, jumlah korban tewas akibat meluapnya Kali Kemuning lebih banyak lagi, yakni mencapai lima orang (KORAN SINDO, 10/4). Ancaman banjir ini diyakini masih akan berlanjut, bahkan bisa semakin parah mengingat masih belum adanya solusi komprehensif terhadap peristiwa yang masuk dalam kategori bencana lingkungan ini. 

Selama ini, penanganan banjir terjebak pada hal-hal yang bersifat fisik dan teknis, dan cenderung mengabaikan aspek lainnya termasuk aspek sosial yang justru jauh lebih rumit. Salah satu contoh rumitnya aspek sosial dalam mengatasi banjir adalah gagalnya rencana pembangunan Waduk Jipang yang digagas sejak 1974, sebagai solusi mengatasi banjir Sungai Bengawan Solo. Solusi itu tak kunjung terealisasi karena penduduk lokal enggan direlokasi. 

Mereka beralasan kawasan itu menjadi habitat yang sudah mereka tempati turun-temurun. Meski tempat tinggalnya dianggap kurang layak, namun bagi mereka hidup di lingkungan semacam itu bukan suatu masalah. Karena itu, mengedepankan aspek sosial dalam penanganan banjir bisa menjadi salah satu pilihan yang paling mungkin dilakukan. 

Salah satunya adalah konsep “Living Harmony with Flood” atau hidup berhamoni dengan banjir. Melalui konsep ini, penduduk di kawasan banjir diajak menyesuaikan diri dengan kondisi seperti itu, tentunya dalam kesehariannya. 

Contohnya, di wilayah dengan banyak rawa atau rawan banjir, bisa dilakukan redesain rumah tinggal menjadi rumah panggung. Desain rumah panggung disesuaikan dengan prediksi tingkat risiko yang dialami. Misalnya rumah panggung untuk siaga satu, dengan ketinggian muka air 20 hingga 50 cm. Siaga dua, tinggi muka air 51 hingga 150 cm, dan siaga tiga tinggi muka air 151 hingga 2,5 meter. 

Kembali ke Kearifan Lokal 

Konsep penanganan banjir dengan pola kembali ke alam menjadi sebuah keniscayaan. Hal itu karena menyesuaikan diri dengan alam mengandung kearifan lokal (local wisdom)yang merupakan fitrah kehidupan. Kearifan lokal diyakini mampu memelihara alam dari berbagai gangguan akibat keserakahan manusia. Alam dihibahkan kepada manusia agar dimanfaatkan. 

Semuanya itu sebenarnya diciptakan sebagai rahmatan lil alamin. Namun karena ulah keliru manusia, akhirnya mendatangkan mudarat sehingga timbul bencana. Banjir misalnya, terjadi akibat kekeliruan dalam mengelola vegetasi penutup tanah, khususnya hutan pegunungan. 

Akibatnya air hujan yang semestinya menjadi rahmatan lil alamin, berubah menjadi mudharatan lil alamin dan menjelma sebagai banjir. Dalam Al Quran Surat Al Qaaf ayat 9 tertulis, “Dan kami turunkan dari langit hujan yang banyak manfaat dan tepat guna, dan kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanam-tanaman yang rindang dan biji-biji tanaman dari jenis sabitan”. 

Menurut Sunnatullah, air hujan yang jatuh di permukaan bumi ini harus sebanyakbanyaknya masuk ke dalam tanah (bumi), kemudian menghidupkan bumi (menyuburkan tanah), dan dari situ akan tumbuh aneka buah-buahan dan hasil pertanian untuk manusia. Melalui berbagai cara, air hujan memasuki tanah melalui infiltrasi dan perkolasi, di antaranya dengan bantuan pepohonan. 

Tajuk pohon membantu intersepsi air, sedangkan akar pohon membantu infiltrasi dan perkolasi. Akibatnya, limpasan permukaan air hujan di permukaan tanah (ru off) menjadi minimal. Berbagai ulah manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam hutan, mengakibatkan populasi pohon semakin menipis atau bahkan terjadi penggundulan hutan. 

Akibat dari berkurangnya jumlah pohon atau hilangnya pohon, permukaan tanah menjadi tidak terlindungi terhadap pukulan air hujan. Akibatnya hanya sedikit sekali air hujan yang dapat memasuki tanah (infiltrasi dan perkolasi), dan sebagian besar air hujan mengalir di permukaan tanah yang curam dengan menghanyutkan apa saja yang ada di permukaan tanah. 

Terjadilah erosi, pengikisan tanah, dan akhirnya terjadilah tanah longsor, banjir, banjir lumpur atau banjir bandang. Sementara di daerah bawah (hilir), bencana banjir biasanya terjadi akibat kiriman dari daerah atas (hulu), karena air hujan yang jatuh tidak dapat masuk ke dalam tanah serta saluran drainase air hujan semakin kecil. Mengecilnya drainase ini karena tersumbat sampah atau karena beralih fungsi menjadi kawasan hunian. 

Karena itu, mengembalikan alam kepada Sunnatullah akan membuat keseimbangan alam kembali terjaga. Langkah ini harus ditempuh agar manusia bisa menjaga alam dan alam bisa membalas kearifan manusia dengan memberikan segala isi dan kandungannya yang bermanfaat bagi manusia. 

Bila ditelusuri, di Tanah Air ini banyak mitos yang sebenarnya berfungsi menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan. Bisa diambil contoh mitos yang cukup baik di Desa Tebat Langsat, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat Sumatera Selatan. Desa ini berada di bawah bukit yang ditumbuhi aneka jenis pohon dan bambu yang subur. Di bukit itu pula terdapat sumber mata air berupa kolam luas yang digunakan untuk mandi dan minum serta mengairi sawah. 

Warga menyebut sumber air tersebut sebagai Tebat Serian. Di desa itu, ada dua pantangan yang jika dilanggar akan menyebabkan kebakaran seluruh desa, dan ini berarti petaka. Pantangan pertama, warga dilarang membawa masuk ke desa beberapa jenis kayu tertentu walau itu sebesar jari telunjuk. Kedua, dilarang menyusun kayu dalam keadaan basah. 

Bila dicermati, kedua mitos tersebut banyak manfaatnya. Lihat saja, sebagian besar jenis kayu yang masuk dalam pantangan pertama berada di bukit itu. Dengan demikian, pantangan ini menyelamatkan hutan di lereng dan bukit tersebut sehingga terhindar dari tanah longsor. Pantangan kedua, menghentikan penduduk untuk menebang pohon (atau bagian-bagiannya) yang masih hidup. 

Dengan demikian, mengharuskan penduduk hanya untuk mencari kayu yang benar-benar kering. Apa yang terjadi? Hutan di sekitar Desa Tebat Langsat benar- benar lestari. Mengapa bisa begitu? Jawabnya, karena dijaga oleh mitos. Sekali lagi, membuktikan bahwa sejak dulu sebetulnya kesadaran menjaga dan memelihara lingkungan sudah tertanam di sanubari masyarakat tradisional kita. 

Mungkin dalam bahasa modern sekarang ini di mata mereka hutan, air, dan udara mempunyai hak untuk dilindungi. Karena itu, memaknai alam dan bencana sebagai Sunnatullah harus dipandang sebagai solusi hakiki. Sinergi alam dengan manusia secara positif akan tercipta karena peran ekosistem sesungguhnya adalah melindungi manusia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar