Jumat, 12 April 2013

Anak Haram Bernama Korupsi


Anak Haram Bernama Korupsi
F Daus AR  ;  Komite Komunitas Demokrasi Pangkep
KORAN SINDO, 12 April 2013

  
Kira-kira dimulai sejak Rezim Orba menemukan ajalnya 1998, maka isu korupsi mencuat kepermukaan publik. Reformasi menyadarkan kita kalau dalam rumah tangga Orde Baru telah tumbuh anak haram bernama korupsi. 

Sudah sejak lama kosa kata korupsi ini terlewati begitu saja, meski kamus mendefinisikannya sebagai tindakan penyelewengan uang negara. Setahap demi setahap, negeri ini terus berjalan mencari titik kesempurnaannya untuk menjadi sebuah negara yang betul-betul adil bagi seluruh rakyat yang bermukim dalam wilayahnya. Segala hal telah dilakukan, mulai dari perbaikan sistem politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Lalu apakah kesemua itu telah tercapai? Rasanya belum, meski korupsi rupanya menjadi momok yang menakutkan namun masih digemari mereka. 

Merespon itu, pemerintah membentuk badan khusus yang fokus melawan tindakan merugikan negara, lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai sebuah lembaga independen. Lalu apakah kinerja KPK sudah memenuhi tuntutan rasa keadilan publik yang sampai detik ini masih terus disuguhi sinetron korupsi para pejabat negara? Jawaban bisa berbeda-beda setiap kepala. 

Melalui catatan ini, saya tak perlu lagi mengulang tentang kasus korupsi, dengan terbukanya dan semakin beragamnya bentuk media saat ini memungkinkan pembaca (publik) lebih mengetahui akan hal itu. Kalau tindakan korupsi bukan hanya terjadi di pusat tapi juga di daerah. Ringkasnya, pemberitaan korupsi bukan lagi sebagai berita yang selalu dinantikan. Tapi sudah menjadi lumrah karena saking banyaknya, dan itu jelas menjenuhkan. 

Sejarah Korupsi 

Sebenarnya muasal korupsi sudah berlangsung sejak zaman kerajaan, praktik ini selalu ada jika budaya dalam suatu masyarakat tidak bisa memberikan penegasan pembedaan antara yang mana milik pribadi dan mana milik negara. Pada posisi seperti ini maka muara korupsi selalu dimulai dari penguasa, karena padanyalah pengaburan akan kepemilikan orang banyak dapat berlangsung (Mochtar Lubis: 1972). Praktik kekuasaan di masa lampau menunjukkan kalau tanah yang luas dikuasai sepenuhnya oleh raja. 

Lalu masyarakat yang memanfaatkan tanah tersebut untuk bercocok tanam dan sebagainya diwajibkan untuk membayar upeti. Kerangka ini wajib adanya bagi masyarakat bawah, meski mereka sering menggerutu akan situasi yang dialami. Namun realitas ini mensahkan kalau yang demikian adalah sesuatu yang wajar-wajar saja, karena nilai yang dibangun oleh pihak kerajaan diterima sebagai hukum kebudayaan yang abstrak di tengah masyarakat. Meminjam analisis Max Weber, hal ini disebut sebagai kekuasaan patrimonial yang menjadi cikal bakal praktik korupsi di era modern. 

Tapi kompleksitas tindakan korupsi hari ini jauh berkembang melampaui asal muasalnya sendiri. Meski sudah ada perubahan sistem politik dengan pendekatan yang lebih demokratis, disebut demikian karena setidaknya pelibatan masyarakat dalam menentukan pemimpin sudah diakomodasi. Sangat jauh berbeda dengan praktik di masa lampau yang mana pemimpin hanya turun temurun. Jadi jangkauan luas praktik korupsi bukan lagi mentok di dalam istana, tapi sudah mewabah ke tangan kekuasaan lainnya. 

Potensi ini mungkin tak terpahami sebelumnya karena menganggap konsep perimbangan kekuasaan (trias politika) dalam mengurus negara dapat memberikan kontrol terhadap eksekutif, namun idealisasi ini justru menjadi bumerang bagi negara itu sendiri. Siapa yang mengontrol siapa jika lowongan untuk berbuat curang samasama ada di depan mata. 

Kegagalan Sistem 

Lemahnya negara tak bisa dilepaskan dari praktik keputusan di masa lalu. Keputusan kala menyepakati hubungan kerja dengan IMF dan Bank Dunia. Imbasnya, negara tak lebih sebagai pelengkap administrasi yang meloloskan sejumlah praktik neoliberalisme yang salah satunya ditandai dengan lahirnya korporasi perusahaan internasional yang menggerogoti kekayaan alam. Tindakan ini harus dibayar mahal dengan mengubah peran, sifat, dan fungsi negara sebagai pelindung masyarakat. Itulah makanya negara harus diposisikan netral yang cukup mengurus administrasi. 

Turunannya kemudian memunculkan gagasan good governance sebagai kata halus dari pengamputasian peran negara. Metode kerja neoliberalisme memang mensyaratkan demikian agar praktik pasar bebas dapat berjalan lancar tanpa campur tangan negara. Nah, ceruk inilah yang menjadi lahan guna melegalkan perilaku korupsi. Karena tentu terjadi transaksi dalam meloloskan regulasi, celah lainnya tentu terjadi pada loby dalam pemberia izin usaha bagi para perusahaan transnasional. 

Krisis kapitalisme pada medio 1930 melahirkan keputusan untuk melakukan pasar bebas dan memberlakukannya sebagai bentuk kebijakan bagi negara- negara yang sedang berkembang dengan pendekatan develomentalisme sebagai model dari kerangka kerja ini. Lalu negeri ini pun menjadi ajang coba- coba yang cerita akhirnya menjumpai krisis moneter tahun 1998. Kegagalan kerja sistem ini kemudian mengkambinghitamkan perilaku korupsi sebagai biangnya. 

Sehingga fokus kerja bukan untuk mengevaluasi dari kegagapan dalam menerapkan impor produk sistem, sebaliknya energi terkuras habis untuk membincangkan isu korupsi yang sesungguhnya tumbuh subur akibat dari penerapan sistem tersebut. Ulrich Beck dan Edgar Grande (2007) menyebutkan kalau era negara purba yang sekadar merawat integritas teritorial dan kedaulatannya telah dipaksa oleh globalisasi dengan kecenderungan regionalismenya untuk terlibat ke dalam transnasionalisasi. 

Makanya lahirlah perkumpulan negara-negara seperti G- 20 untuk membahas isu internasional. Patut diingat kalau kerja sama yang terbangun dalam membahas isu yang sudah lahir, negara kecil selalu menjadi pekerja dan berada pada posisi yang terjebak dan tentu saja sebagai korban. Dampak buruk dari kerja sama pengelolaan isu yang sudah mengalami trans-nasionalisasi, dapat dilihat dari mencuatnya isu climate change. Indonesia dicap sebagai negara yang paling rajin menggunduli hutannya dan diminta untuk melakukan perbaika. 

Sehingga mencuatlah isu green (penghijauan). Padahal hutan yang gundul di indonesia tentu tak lepas dari praktik perusahaan internasional (TNCs) untuk memenuhi kebutuhan produksi negara besar, tapi negara kecillah yang dituntut untuk melakukan perbaikan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar