Jumat, 12 April 2013

Blessing in Disguise


Blessing in Disguise
Komaruddin Hidayat  ;  Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO, 12 April 2013

  
Emosi dan pikiran sangat menentukan bagaimana kita memandang dunia. Dunia kadang terasa luas, heboh, hiruk-pikuk, juga indah yang semua itu bermula dari pikiran dan imajinasi kita sendiri. 

Kita sangat leluasa dan merdeka membangun imajinasi. Lalu imajinasi menginspirasi munculnya keinginan, cita-cita, dan lebih agak konkret lagi menjadi program hidup. Saya yakin setiap pribadi berimajinasi menjadi pintar dan kaya, lalu bisa jalan-jalan berkeliling dunia menikmati luas dan indahnya planet bumi. Jika dirunut ke belakang, langkah pertama untuk merintis imajinasi agar menjadi kenyataan adalah ketika kita memulai belajar membaca. 

Membaca ketika masa kecil adalah jendela untuk menatap dunia. Membaca adalah juga tangga untuk menapaki kehidupan yang lebih tinggi agar cakrawala dan horizon dunia terlihat lapang dan luas. Oleh karenanya, program pendidikan di sekolah merupakan agenda universal yang akan dijumpai di negara dan masyarakat manapun di dunia. Lewat pendidikan di rumah dan sekolah, kita semua diajari untuk membaca buku dan membaca ayat-ayat kehidupan. 

Misalnya, mengamati telur ayam yang hendak menetas, pasti dinding telurnya retak dan pecah dan tak lama kemudian muncullah anak ayam. Ini juga terjadi pada biji yang menyimpan benih pohon, kulitnya pecah lalu muncul benih pohon. Dalam biji terdapat pohon, kata pepatah China. Ini semua merupakan sebaris buku kehidupan yang mengajarkan kepada kita bahwa setiap perubahan dan kemajuan selalu disertai krisis. Anak kecil ketika giginya tumbuh biasanya menangis karena sakit atau gatal. Blessing in disguise. 

Keberuntungan sering bersembunyi di balik hirukpikuk dan kegelapan. Bukankah sepekat apa pun gelapnya malam pasti akan terkikis oleh matahari pagi? Kalau kita mau membaca, amat sangat banyak peristiwa hidup yang menyingkapkan blessing in disguise. Namun keberuntungan itu mesti dijemput dan diperjuangkan. Saya sendiri pernah mengalami sebuah peristiwa hidup yang sangat berat dan membuat alur kehidupan berubah drastis.

Memasuki usiaku kesembilan tahun, ibu saya wafat. Konon ceritanya saya anak yang paling nakal dan dimanja. Selang berapa tahun ayah saya pun menikah. Sebutan dan pengalaman ibu tiri meninggalkan kenangan pahit. Setelah besar saya sangat sadar, tak ada yang salah dengan ibu tiri saya. Namun yang pasti dengan meninggalnya ibu, suasana rumah tidak nyaman. Saya jadi anak masjid. Bermain dan tidur di lingkungan masjid. Pulang hanya untuk makan. 

Kekecewaan yang mendalam karena meninggalnya ibu dan kendurnya ikatan emosional dengan rumah membuat saya senang berimajinasi untuk melihat dan menemukan kehidupan baru di masa depan, antah-berantah. Ibarat telur yang dindingnya retak karena tekanan dari dalam, situasi seperti ini berulang kali saya alami. Terlalu sempit telur itu bagi calon anak ayam yang siap menemukan dunia baru. Biji itu mesti retak kulitnya ketika benih pohon mulai tumbuh. 

Pada diri manusia, kekecewaan, kegelisahan, dan imajinasi serta tekad untuk berubah merupakan pendorong bagi siapa pun untuk menjebol dinding tradisi dan ikatan pada kampung halaman yang dirasakan sempit. Maka dia pun melakukan eksplorasi mencari benua kehidupan yang baru. Saya telah berjumpa puluhan teman yang pernah mengalami himpitan hidup yang membuatnya hampir putus asa, tetapi justru pada momen-momen yang gelap itu terjadi sebuah loncatan tak terduga. 

Sebuah quantum leap. Ibarat anak ayam yang berhasil menjebol dinding telur, lalu terbuka dunia yang lebih luas. Atau penghuni Gua Plato yang berhasil keluar dan kaget bahwa ternyata dunia di luar jauh lebih luas dan menawarkan seribu kemungkinan. Peristiwa blessing in disguise bisa terjadi pada ranah individu, keluarga maupun bangsa. Situasi yang semula dirasakan muram, membuat hidup pesimistis, tetapi ketika disikapi dengan bijak, cerdas, dan tekad untuk bangkit terjadilah keajaiban hidup. 

Kalau saja Hiroshima dan Nagasaki tidak dihajar bom oleh Amerika Serikat pada 6 dan 9 Agustus 1945, mungkin Jepang tidak akan semaju hari ini. Momentum itu pun dengan cerdas, cepat, dan berani dimanfaatkan para pejuang kita sehingga Proklamasi Kemerdekaan RI berlangsung pada 17 Agustus 1945. Jadi, di balik situasi chaos, tidak teratur, dan semrawut (disorder),sesungguhnya terdapat kekuatan yang mengarah pada cosmos, logika semesta yang menuju keindahan dan keteraturan (beauty and order). 

Kekuatan semesta yang selalu mengarah pada peningkatan kualitas hidup itu akan mudah diamati pada realitas sejarah dan dinamika sosial secara kolektif, bukan individual. Bukankah semua bangsa dan negara mengutuk peperangan? Bukankah suasana damai, indah, sehat, dan teratur selalu menjadi dambaan dan agenda pembangunan setiap bangsa dan masyarakat? 

Oleh karenanya semua peristiwa atau tindakan yang berlawanan dengan kesadaran kolektif tersebut akan dinilai sebagai penyimpangan, bahkan subversi, sekalipun dengan menggunakan simbol dan retorika keagamaan. Kondisi Indonesia saat ini sangat memerlukan tampilnya pemimpin, di semua level, yang cerdas dan memiliki tekad kuat untuk menggali, menemukan, dan menggerakkan logika sejarah blessing in disguise sehingga mampu mengubah emosi pesimistiss, keluh kesah, dan kekecewaan menjadi amunisi untuk bangkit dan melesat ke depan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar