Polemik terkait siapa
Ketua Umum Partai Demokrat (PD) pengganti Anas Urbaningrum yang
mengundurkan diri terjawab sudah. Melalui kongres luar biasa (KLB) di
Hotel Inna Grand Bali Beach, Sanur, pada 30 Maret 2013, Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) secara aklamasi didaulat menjadi nahkoda baru partai itu
selama dua tahun mendatang.
Sejatinya, terpilihnya sosok SBY bukanlah sebuah
kejutan. Setidaknya hal ini mengacu pada dua hal. Pertama, sejak beberapa
hari menjelang kongres, nama suami Kristiani Herawati ini sudah santer
terdengar akan turun langsung memimpin PD. Hal itu tercermin dari
banyaknya permintaan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan elit PD yang
mendorong namanya untuk tampil.
Kedua, belum adanya sosok yang dapat menjanjikan PD
bisa cepat recovery pasca prahara jika pemilihan diserahkan pada
mekanisme persaingan KLB, tampilnya sosok SBY merupakan suatu kebutuhan.
Dengan karisma yang dimilikinya di internal partai, SBY dipandang akan
bisa dengan cepat mempersatukan kader yang sempat tercerai-berai menjadi
banyak faksi pasca kongres II di Bandung. Dan inilah memang yang
dibutuhkan PD untuk menghadapi dekatnya pemilu 2014.
Dua Wajah
Namun demikian, tampilnya SBY menjadi Ketua Umum PD
bukanlah tanpa risiko. Posisinya sebagai presiden saat ini, menyebabkan
beberapa kalangan khawatir akan mengganggu kinerjanya dalam mengemban
tugas negara. Apalagi, saat ini Presiden SBY memiliki dua wajah yang
berbeda di depan publik ketika berperan sebagai kepala pemerintahan dan
sebagai sosok pribadi. Sebagai kepala pemerintahan, kinerja SBY dalam
tiga tahun terakhir ini dipandang kurang memuaskan oleh publik. Namun
secara pribadi, sosok SBY selalu diapresiasi positif di tengah situasi
apapun.
Hal itu bisa dilihat dari hasil sigi beberapa lembaga
survei beberapa waktu terakhir. Merujuk hasil penelitian Kadence
International beberapa waktu lalu, misalnya, kala berkedudukan sebagai
kepala pemerintahan, dari skala 1 hingga 10, kinerja SBY mendapat nilai
rata-rata 5,96. Namun ketika ditanya kinerja SBY sebagai sosok pribadi
presiden, Ketua Wanbin Partai Demokrat ini mendapatkan nilai rata-rata
6,21.
Pada 2011, DCSC Indonesia juga pernah melansir hasil
survei nasional terkait dua wajah yudhoyono di mata publik. Saat
ditanyakan kepada masyarakat terkait kepuasan kinerja pemerintah secara
keseluruhan, pemerintahan SBY mendapat apreseasi sebesar 49,4%. Namun di
waktu bersamaan, ketika ditanyakan apakah secara personal SBY sudah
bekerja keras dalam melakukan tugasnya sebagai presiden, mayoritas publik
(57,5%) menyatakan menantu Sarwo Edhi Wibowo ini sudah cukup bekerja
keras dalam upaya menyelesaikan berbagai persoalan bangsa.
Pun demikian halnya dengan Harian Kompas yang melakukan
jajak pendapat melalui sambungan telepon pada 2012. Lagi-lagi, pembelahan
persepsi masyarakat terhadap sosok SBY terjadi. Hasil jajak pendapat itu
menyatakan, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan SBY
berada di angka 31,4%. Tingkat kepuasan ini merupakan yang terendah sejak
SBY menjabat sebagai presiden. Akan tetapi, ketika masyarakat ditanyakan
tentang kebanggaannya terhadap SBY sebagai kepala negara, mayoritas
publik (56,8%) masih mengungkapkan rasa bangganya memiliki kepala negara
sekaliber SBY.
Tak Terbelah
Hemat saya, ada dua alasan yang menyebabkan adanya
pembelahan persepsi publik terhadap sosok SBY bisa terjadi. Pertama,
ketika berkedudukan sebagai kepala pemerintahan, SBY adalah sosok yang
dianggap paling bertanggung jawab atas jalannya roda pemerintahan. Ia
kemudian menjadi satu-satunya titik pelampiasan kekecewaan masyarakat
ketika kinerja yang dihasilkan tak bisa dirasakan langsung oleh rakyat.
Kedua, adanya “kesederhanaan” penilaian masyarakat terhadap indikator
keberhasilan kinerja pemerintah.
Sebagai contoh, kinerja pemerintah di bidang ekonomi.
Meski sejatinya kinerja pemerintahan SBY tak buruk-buruk amat, kepuasan
masyarakat masih juga minim dibidang ini. Kita semua tahu bahwa sejak
Presiden SBY menjabat sebagai presiden pada 2004, pembangunan ekonomi
Indonesia bisa dibilang cukup mengesankan. Hal itu bisa dilihat dari
terus membaiknya angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melesat dari
5,1 persen pada 2004 menjadi 6,3 persen pada 2012.
Namun demikian, capaian positif pembangunan ekonomi
makro pemerintah ini tidak kemudian membuat publik puas disebabkan oleh
penilaian publik yang cukup “sederhana” dalam mengukur keberhasilan
pembangunan di bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang terus bertahan di
atas 6 persen pada tiga tahun terakhir, dipandang belum mampu membuka
lapangan pekerjaan yang cukup luas. Publik masih menganggap mencari
pekerjaan susah, harga kebutuhan pokok masih tinggi, dan tingkat ekonomi
rumah tangga masyarakat belum juga kunjung membaik.
Akan tetapi, persepsi publik kemudian berbalik arah
ketika menilai sosok SBY sebagai pribadi atau sebagai kepala negara.
Berdasarkan survei DCSC Indonesia, SBY justru dipandang sebagai tokoh
yang komplit. Ia dipersepsikan sebagai sosok yang memiliki kepribadian
santun, politisi yang cerdas, dan mempunyai kemampuan komunikasi politik
di atas rata-rata. Dalam mengurus persoalan luar negeri, SBY juga dilihat
cukup piawai melakukan diplomasi. Hal ini sama dengan hasil jajak
pendapat Kompas yang menyatakan bahwa publik masih sangat bangga memiliki
pemimpin seperti SBY.
Merujuk kondisi ini, tentu Presiden SBY harus lebih
mawas diri. Tambahan pekerjaan sebagai ketua umum PD, jangan sampai
membuat kepentingan publik menjadi terbengkalai. Fokus terhadap kinerja
pemerintahan harus ditambah oleh SBY agar kepercayaan masyarakat bisa
cepat pulih.
Jika secara personal Presiden SBY bisa diapreseasi
cukup positif oleh publik, maka sudah semestinya apresiasi positif ini
dapat ditularkan juga terhadap kinerja pemerintahannya secara
keseluruhan. Itu sebabnya, ada baiknya di sisa dua tahun masa jabatan ini
Presiden SBY semakin konsentrasi. Hal itu dimaksudkan agar kinerja
pemerintahannya bisa diakhiri dengan khusnul khotimah.
Selain itu, saatnya SBY bisa menjadi contoh bagaimana
cara mengatur urusan partai dan urusan publik terhadap anggota
kabinetnya. Karena sebagaimana diketahui, beberapa anggota kabinet juga
merupakan ketua umum partai politik, sebagaimana posisi SBY saat ini.
Jangan sampai, kesibukan mengurusi partai politik masing-masing menjadi
penyebab terbengkalainya tugas utama mereka, bekerja mensejahterakan
rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar