Rabu, 03 April 2013

KLB Demokrat dan Dua Wajah Yudhoyono


KLB Demokrat dan Dua Wajah Yudhoyono
Abdul Hakim MS ;   Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI)
DETIKNEWS, 02 April 2013
  

Polemik terkait siapa Ketua Umum Partai Demokrat (PD) pengganti Anas Urbaningrum yang mengundurkan diri terjawab sudah. Melalui kongres luar biasa (KLB) di Hotel Inna Grand Bali Beach, Sanur, pada 30 Maret 2013, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara aklamasi didaulat menjadi nahkoda baru partai itu selama dua tahun mendatang.

Sejatinya, terpilihnya sosok SBY bukanlah sebuah kejutan. Setidaknya hal ini mengacu pada dua hal. Pertama, sejak beberapa hari menjelang kongres, nama suami Kristiani Herawati ini sudah santer terdengar akan turun langsung memimpin PD. Hal itu tercermin dari banyaknya permintaan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan elit PD yang mendorong namanya untuk tampil. 

Kedua, belum adanya sosok yang dapat menjanjikan PD bisa cepat recovery pasca prahara jika pemilihan diserahkan pada mekanisme persaingan KLB, tampilnya sosok SBY merupakan suatu kebutuhan. Dengan karisma yang dimilikinya di internal partai, SBY dipandang akan bisa dengan cepat mempersatukan kader yang sempat tercerai-berai menjadi banyak faksi pasca kongres II di Bandung. Dan inilah memang yang dibutuhkan PD untuk menghadapi dekatnya pemilu 2014.

Dua Wajah

Namun demikian, tampilnya SBY menjadi Ketua Umum PD bukanlah tanpa risiko. Posisinya sebagai presiden saat ini, menyebabkan beberapa kalangan khawatir akan mengganggu kinerjanya dalam mengemban tugas negara. Apalagi, saat ini Presiden SBY memiliki dua wajah yang berbeda di depan publik ketika berperan sebagai kepala pemerintahan dan sebagai sosok pribadi. Sebagai kepala pemerintahan, kinerja SBY dalam tiga tahun terakhir ini dipandang kurang memuaskan oleh publik. Namun secara pribadi, sosok SBY selalu diapresiasi positif di tengah situasi apapun.

Hal itu bisa dilihat dari hasil sigi beberapa lembaga survei beberapa waktu terakhir. Merujuk hasil penelitian Kadence International beberapa waktu lalu, misalnya, kala berkedudukan sebagai kepala pemerintahan, dari skala 1 hingga 10, kinerja SBY mendapat nilai rata-rata 5,96. Namun ketika ditanya kinerja SBY sebagai sosok pribadi presiden, Ketua Wanbin Partai Demokrat ini mendapatkan nilai rata-rata 6,21. 

Pada 2011, DCSC Indonesia juga pernah melansir hasil survei nasional terkait dua wajah yudhoyono di mata publik. Saat ditanyakan kepada masyarakat terkait kepuasan kinerja pemerintah secara keseluruhan, pemerintahan SBY mendapat apreseasi sebesar 49,4%. Namun di waktu bersamaan, ketika ditanyakan apakah secara personal SBY sudah bekerja keras dalam melakukan tugasnya sebagai presiden, mayoritas publik (57,5%) menyatakan menantu Sarwo Edhi Wibowo ini sudah cukup bekerja keras dalam upaya menyelesaikan berbagai persoalan bangsa.

Pun demikian halnya dengan Harian Kompas yang melakukan jajak pendapat melalui sambungan telepon pada 2012. Lagi-lagi, pembelahan persepsi masyarakat terhadap sosok SBY terjadi. Hasil jajak pendapat itu menyatakan, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan SBY berada di angka 31,4%. Tingkat kepuasan ini merupakan yang terendah sejak SBY menjabat sebagai presiden. Akan tetapi, ketika masyarakat ditanyakan tentang kebanggaannya terhadap SBY sebagai kepala negara, mayoritas publik (56,8%) masih mengungkapkan rasa bangganya memiliki kepala negara sekaliber SBY. 

Tak Terbelah

Hemat saya, ada dua alasan yang menyebabkan adanya pembelahan persepsi publik terhadap sosok SBY bisa terjadi. Pertama, ketika berkedudukan sebagai kepala pemerintahan, SBY adalah sosok yang dianggap paling bertanggung jawab atas jalannya roda pemerintahan. Ia kemudian menjadi satu-satunya titik pelampiasan kekecewaan masyarakat ketika kinerja yang dihasilkan tak bisa dirasakan langsung oleh rakyat. Kedua, adanya “kesederhanaan” penilaian masyarakat terhadap indikator keberhasilan kinerja pemerintah. 

Sebagai contoh, kinerja pemerintah di bidang ekonomi. Meski sejatinya kinerja pemerintahan SBY tak buruk-buruk amat, kepuasan masyarakat masih juga minim dibidang ini. Kita semua tahu bahwa sejak Presiden SBY menjabat sebagai presiden pada 2004, pembangunan ekonomi Indonesia bisa dibilang cukup mengesankan. Hal itu bisa dilihat dari terus membaiknya angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melesat dari 5,1 persen pada 2004 menjadi 6,3 persen pada 2012. 

Namun demikian, capaian positif pembangunan ekonomi makro pemerintah ini tidak kemudian membuat publik puas disebabkan oleh penilaian publik yang cukup “sederhana” dalam mengukur keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang terus bertahan di atas 6 persen pada tiga tahun terakhir, dipandang belum mampu membuka lapangan pekerjaan yang cukup luas. Publik masih menganggap mencari pekerjaan susah, harga kebutuhan pokok masih tinggi, dan tingkat ekonomi rumah tangga masyarakat belum juga kunjung membaik. 

Akan tetapi, persepsi publik kemudian berbalik arah ketika menilai sosok SBY sebagai pribadi atau sebagai kepala negara. Berdasarkan survei DCSC Indonesia, SBY justru dipandang sebagai tokoh yang komplit. Ia dipersepsikan sebagai sosok yang memiliki kepribadian santun, politisi yang cerdas, dan mempunyai kemampuan komunikasi politik di atas rata-rata. Dalam mengurus persoalan luar negeri, SBY juga dilihat cukup piawai melakukan diplomasi. Hal ini sama dengan hasil jajak pendapat Kompas yang menyatakan bahwa publik masih sangat bangga memiliki pemimpin seperti SBY. 

Merujuk kondisi ini, tentu Presiden SBY harus lebih mawas diri. Tambahan pekerjaan sebagai ketua umum PD, jangan sampai membuat kepentingan publik menjadi terbengkalai. Fokus terhadap kinerja pemerintahan harus ditambah oleh SBY agar kepercayaan masyarakat bisa cepat pulih.

Jika secara personal Presiden SBY bisa diapreseasi cukup positif oleh publik, maka sudah semestinya apresiasi positif ini dapat ditularkan juga terhadap kinerja pemerintahannya secara keseluruhan. Itu sebabnya, ada baiknya di sisa dua tahun masa jabatan ini Presiden SBY semakin konsentrasi. Hal itu dimaksudkan agar kinerja pemerintahannya bisa diakhiri dengan khusnul khotimah. 

Selain itu, saatnya SBY bisa menjadi contoh bagaimana cara mengatur urusan partai dan urusan publik terhadap anggota kabinetnya. Karena sebagaimana diketahui, beberapa anggota kabinet juga merupakan ketua umum partai politik, sebagaimana posisi SBY saat ini. Jangan sampai, kesibukan mengurusi partai politik masing-masing menjadi penyebab terbengkalainya tugas utama mereka, bekerja mensejahterakan rakyat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar