Apa yang akan terjadi di dunia kita
pasca 2015? Jangan paranoid dulu, ini bukan soal alien yang akan menyerang bumi. Bukan pula
kiamat yang akan datang lebih cepat dari
perkiraan manusia. Bukan. Ini soal bagaimana negara-negara di Afrika,
Asia, Eropa Timur, Pasifik dan Amerika Latin akan membangun dan
memperbaiki kesejahteraan rakyatnya.
Ini juga tentang upaya “memaksa” negara-negara maju dan non state actors untuk membangun kemitraan baru yang lebih
berimbang antara Utara dan Selatan. Ini soal bagaimana hidup manusia di
masa depan! Namun isu ini bisa lebih berbahaya dari serangan alien bila tidak ditangani secara tepat. Ia bisa
menjadi “monster pembunuh” dengan terjadinya perang dan konflik.
Perebutan sumber daya alam juga meningkatkan tensi di banyak kawasan.
United Nations (UN) menyadari potensi destruktif dari
adanya gap standar hidup di Utara (negara-negara maju) dan Selatan
(negara berkembang). Upaya itu telah dimulai pada awal milenium dalam
Millenium Development Goals (MDGs), 2000. Kini memasuki deadline,
target-target MDGs dirasa belum tercapai secara menyeluruh, khususnya
negara berkembang. Delapan agenda MDGs yang harus dijalankan
negara-negara di dunia, sebagian belum terealisir. Padahal waktu tersisa
kurang dari dua tahun.
Sekjen Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Ban Ki Moon
melihat MDGs tidak akan memenuhi target di 2015. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) juga melihat MDGs bukanlah instrumen yang sempurna.
Beberapa hal yang menjadi penyebab tumpulnya eksekusi MDGs antara lain,
pertama, tidak adanya alat pemaksa dari proposal tersebut yang harus
diratifikasi setiap negara. Sehingga semua negara menjalankannya secara
sukarela, sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Kedua, skema pendanaan MDGs yang tidak mengikat, baik
dalam besaran maupun waktu. Lembaga-lembaga donor juga masih melihat dana
MDGs sebagai “bantuan” daripada kewajiban yang harus mereka jalankan.
Pola hubungan yang demikian mengakibatkan komunikasi yang tidak sejajar
sehingga negara berkembang lebih banyak berada di pihak yang dibantu.
Ketiga, keengganan sebagian rezim di banyak negara berkembang untuk fokus
pada MDGs. Mereka mengaku, agenda MDGs belum menjadi prioritas karena banyak
negara masih disibukkan dengan agenda dalam negerinya masing-masing.
Mandat PBB
Maka pada Juni 2012, PBB membentuk High Level Panel on
post 2015 Development (HLP). Panel ini dipimpin tiga leaders, yaitu
Presiden SBY (Indonesia), Presiden Ellen Johnson Sirleaf (Liberia) dan PM
David Cameron (Inggris). Ketiganya mendapat mandat untuk menyusun draft
pembangunan dunia baru pengganti MDGs.
Terpilihnya Indonesia jelas sebuah prestasi, mengingat
kita akan menyusun konsep pembangunan untuk seluruh dunia. PBB melihat
Indonesia adalah negara berkembang yang mampu berperan aktif dalam
diplomasi, serta konsisten mendorong demokrasi, transparansi dan menjaga
stabilitas ekonomi. Lebih jauh, amanat UN ke Presiden SBY menunjukkan
bagaimana SBY diakui kapasitasnya oleh lembaga dunia tersebut.
Hingga meeting di Bali baru-baru ini, HLP sudah
melakukan sidang sebanyak 4 kali, mulai dari New York, London, Monrovia
dan akhirnya Bali. Dan pembahasan di Bali adalah forum final sebelum
draft diserahkan ke PBB pada akhir Mei 2013, dimana Presiden SBY akan
menjadi speaker dari HLP di forum PBB. Dalam tiga pertemuan HLP di
London, fokus pembahasan mengarah pada aspek individu dan rumah tangga.
Lalu berlanjut ke Monrovia, di mana terjadi peningkatan
MDGs baru nanti, termasuk dalam skema pendanaan, transformasi ekonomi dan
pembangunan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan. Nah untuk forum
terakhir di Bali, sebagaimana dikatakan Presiden Sirleaf, panel membahas
dan mewujudkan paradigma dunia yang berdasar berkelanjutan, pemerataan, dan
kemakmuran bersama.
Perdebatan Sengit
Tidak banyak publik yang tahu bahwa perdebatan antar
ketiga pemimpin HLP dan para penelis cukup keras dan dinamis. Para
penelis adalah tokoh dunia, aktivis, jurnalis, pejabat, private
sectors dan
pakar di berbagai bidang dari berbagai negara. Mereka berjumlah 25 orang
yang bertugas memberi masukan untuk HLP. Beberapa di antaranya adalah
Horst Kohler (mantan Presiden Jerman), Izabella Teixeira (Menteri
Lingkungan Brasil), Sung Hwan Kim (Menteri Keuangan dan Industi Korea
Selatan), Paul Polman (CEO Unilever) dan Tawakel Karman (Aktivis HAM dan
Pemenang Nobel 2011 dari Yordania).
Salah satu perdebatan terjadi saat Horst Kohler
mendorong agar the new MDGs nantinya lebih keras memaksa negara-negara
maju untuk mengucurkan dana pembangunan ke nenaga berkembang. Sementara
banyak pihak, utamanya dari negara-negara maju menentang ide tersebut.
Pasalnya, AS dan Eropa saat ini belum sembuh akibat krisis ekonomi,
sehingga masing-masing negara juga mulai mengetatkan anggarannya.
Nah, di sini Presiden SBY muncul sebagai penengah,
karena banyak anggota panel lainnya yang sungkan dengan Kohler yang
mantan Presiden. SBY menengahi perdebatan, bahwa yang dibutuhkan adalah
dana untuk pembangunan pasca 2015 dari manapun itu berasal. Maka SBY
menggulirkan pentingnya Public Private Partnership (PPP) sebagai
alternatif dari perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. Paul Polman yang
mewakili dunia usaha setuju dengan opsi SBY tersebut, dimana ia
menjelaskan bahwa dana CSR perusahaan-perusahaan raksasa dunia saat ini
terus meningkat.
Kalangan bisnis memahami bahwa kehadiran mereka di
suatu negara sangat dipengaruhi stabilitas politik dan ekonomi negara
tersebut. Dengan demikian kedua belah pihak saling membutuhkan. Dunia
swasta bahkan ingin dilibatkan secara lebih jauh dalam program-program
MDGs yang baru nantinya. Ini sekaligus menjadi jawaban atas kebuntuan
yang dikhawatirkan Kohler.
Setelah melalui perdebatan hangat, sampai akhirnya pada
kesepakatan yang tertuang dalam Komunike Bali. Komunike ini merangkum
seluruh tahapan sidang di Bali hingga akhirnya tersusun draft final yang
akan diajukan ke PBB. Salah satunya adalah adanya kebutuhan untuk
mempromosikan agenda pasca-2015 yang mengintegrasikan pertumbuhan
ekonomi, inklusi sosial, dan kelestarian lingkungan. Semua hasil dan
proses pembentukan agenda pembangunan pasca 2015 harus saling mendukung
dan menguatkan, termasuk hasil dari Rio+20.
Para panelis juga mengimbau komunitas global untuk
melakukan transformasi ekonomi dan sosial yang akan menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif pada lingkup lokal,
nasional dan global. Pertumbuhan ekonomi semata tidaklah cukup untuk
memastikan terwujudnya keadilan sosial, kesetaraan, dan kesejahteraan
yang berkelanjutan bagi semua. Komunike ini sejalan dengan penekanan
Presiden SBY dalam tiga HLP sebelumnya, bahwa yang terpenting bukanlah
semata-mata pertumbuhan, tetapi pertumbuhan berkelanjutan dengan
pemerataan (gowth with equity).
Munculnya SDGs
Kejutan kedua dari Presiden SBY di HLP—setelah menjadi
ice breaker dalam perdebatan panel—adalah keberaniannya memberi label
pada draft new MDGs pasca 2015. “Dokumen tersebut akan diangkat dan
dibahas secara multilateral oleh PBB. Sebelum 2015, insya Allah sudah ada
penjelasan kerangka baru yang namanya kira-kira akan menjadi SDGs
(Suistanable Development Goals)," itulah pernyataan kunci Presiden
SBY di penutupan HLP Bali. Munculnya term SDGs cukup mengejutkan karena
sebelumnya forum tersebut sudah ada sejak 1992 dalam KTT Bumi di Rio de
Janeiro, Brasil.
Sebagaimana kita tahu, SDGs selama ini stagnan dan
tidak banyak disebut di panggung diplomasi. Melalui HLP Bali 2013, SBY
coba mempertemukan ide besar SDGs-nya KTT Bumi dan pembangunan pasca 2015
yang tengah disusun. Satu terobosan penting, karena penekanan pada KTT
Bumi dan HLP dalam beberapa isu beririsan.
Secara singkat, SDGs yang akan dibawa ke forum PBB
nanti terdiri dari 4 cluster dengan 11 poin penting. Ini melengkapi 8
sasaran MDGs yang akan berakhir. Empat cluster tersebut adalah mengakhiri
kesenjangan, transformasi ekonomi, pembangunan berkelanjutan dan good
governance.
Sementara 11 sasaran dimaksud antara lain, mengakhiri
kemiskinan ekstrem, meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan, penyediaan
pendidikan berkualitas, menciptakan pertumbuhan yang peduli pro
lingkungan, memperluas akses ekonomi ke setiap orang, peningkatan peran
perempuan, mempertahankan ekosistem, pengurangan limbah, mengelola
risiko, efektivitas akses ke institusi dan pelayanan publik serta
mengatasi ancaman perubahan iklim.
Dari target-target di atas, cukup jelas bahwa SDGs
pasca 2015 sangat penting untuk dijalankan guna mendorong kesejahteraan
di seluruh belahan. Tidak hanya Utara, melainkan juga Selatan. Kita
tunggu respon PBB di akhir Mei nanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar