Rabu, 03 April 2013

Dunia Pasca 2015


Dunia Pasca 2015
Zaenal A Budiyono ;   Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Publikasi dan Dokumentasi
DETIKNEWS, 02 April 2013

  
Apa yang akan terjadi di dunia kita pasca 2015? Jangan paranoid dulu, ini bukan soal alien yang akan menyerang bumi. Bukan pula kiamat yang akan datang lebih cepat dari perkiraan manusia. Bukan. Ini soal bagaimana negara-negara di Afrika, Asia, Eropa Timur, Pasifik dan Amerika Latin akan membangun dan memperbaiki kesejahteraan rakyatnya.

Ini juga tentang upaya “memaksa” negara-negara maju dan non state actors untuk membangun kemitraan baru yang lebih berimbang antara Utara dan Selatan. Ini soal bagaimana hidup manusia di masa depan! Namun isu ini bisa lebih berbahaya dari serangan alien bila tidak ditangani secara tepat. Ia bisa menjadi “monster pembunuh” dengan terjadinya perang dan konflik. Perebutan sumber daya alam juga meningkatkan tensi di banyak kawasan.

United Nations (UN) menyadari potensi destruktif dari adanya gap standar hidup di Utara (negara-negara maju) dan Selatan (negara berkembang). Upaya itu telah dimulai pada awal milenium dalam Millenium Development Goals (MDGs), 2000. Kini memasuki deadline, target-target MDGs dirasa belum tercapai secara menyeluruh, khususnya negara berkembang. Delapan agenda MDGs yang harus dijalankan negara-negara di dunia, sebagian belum terealisir. Padahal waktu tersisa kurang dari dua tahun.

Sekjen Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Ban Ki Moon melihat MDGs tidak akan memenuhi target di 2015. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga melihat MDGs bukanlah instrumen yang sempurna. Beberapa hal yang menjadi penyebab tumpulnya eksekusi MDGs antara lain, pertama, tidak adanya alat pemaksa dari proposal tersebut yang harus diratifikasi setiap negara. Sehingga semua negara menjalankannya secara sukarela, sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Kedua, skema pendanaan MDGs yang tidak mengikat, baik dalam besaran maupun waktu. Lembaga-lembaga donor juga masih melihat dana MDGs sebagai “bantuan” daripada kewajiban yang harus mereka jalankan. Pola hubungan yang demikian mengakibatkan komunikasi yang tidak sejajar sehingga negara berkembang lebih banyak berada di pihak yang dibantu. Ketiga, keengganan sebagian rezim di banyak negara berkembang untuk fokus pada MDGs. Mereka mengaku, agenda MDGs belum menjadi prioritas karena banyak negara masih disibukkan dengan agenda dalam negerinya masing-masing.

Mandat PBB

Maka pada Juni 2012, PBB membentuk High Level Panel on post 2015 Development (HLP). Panel ini dipimpin tiga leaders, yaitu Presiden SBY (Indonesia), Presiden Ellen Johnson Sirleaf (Liberia) dan PM David Cameron (Inggris). Ketiganya mendapat mandat untuk menyusun draft pembangunan dunia baru pengganti MDGs.

Terpilihnya Indonesia jelas sebuah prestasi, mengingat kita akan menyusun konsep pembangunan untuk seluruh dunia. PBB melihat Indonesia adalah negara berkembang yang mampu berperan aktif dalam diplomasi, serta konsisten mendorong demokrasi, transparansi dan menjaga stabilitas ekonomi. Lebih jauh, amanat UN ke Presiden SBY menunjukkan bagaimana SBY diakui kapasitasnya oleh lembaga dunia tersebut.

Hingga meeting di Bali baru-baru ini, HLP sudah melakukan sidang sebanyak 4 kali, mulai dari New York, London, Monrovia dan akhirnya Bali. Dan pembahasan di Bali adalah forum final sebelum draft diserahkan ke PBB pada akhir Mei 2013, dimana Presiden SBY akan menjadi speaker dari HLP di forum PBB. Dalam tiga pertemuan HLP di London, fokus pembahasan mengarah pada aspek individu dan rumah tangga.

Lalu berlanjut ke Monrovia, di mana terjadi peningkatan MDGs baru nanti, termasuk dalam skema pendanaan, transformasi ekonomi dan pembangunan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan. Nah untuk forum terakhir di Bali, sebagaimana dikatakan Presiden Sirleaf, panel membahas dan mewujudkan paradigma dunia yang berdasar berkelanjutan, pemerataan, dan kemakmuran bersama.

Perdebatan Sengit

Tidak banyak publik yang tahu bahwa perdebatan antar ketiga pemimpin HLP dan para penelis cukup keras dan dinamis. Para penelis adalah tokoh dunia, aktivis, jurnalis, pejabat, private sectors dan pakar di berbagai bidang dari berbagai negara. Mereka berjumlah 25 orang yang bertugas memberi masukan untuk HLP. Beberapa di antaranya adalah Horst Kohler (mantan Presiden Jerman), Izabella Teixeira (Menteri Lingkungan Brasil), Sung Hwan Kim (Menteri Keuangan dan Industi Korea Selatan), Paul Polman (CEO Unilever) dan Tawakel Karman (Aktivis HAM dan Pemenang Nobel 2011 dari Yordania).

Salah satu perdebatan terjadi saat Horst Kohler mendorong agar the new MDGs nantinya lebih keras memaksa negara-negara maju untuk mengucurkan dana pembangunan ke nenaga berkembang. Sementara banyak pihak, utamanya dari negara-negara maju menentang ide tersebut. Pasalnya, AS dan Eropa saat ini belum sembuh akibat krisis ekonomi, sehingga masing-masing negara juga mulai mengetatkan anggarannya.

Nah, di sini Presiden SBY muncul sebagai penengah, karena banyak anggota panel lainnya yang sungkan dengan Kohler yang mantan Presiden. SBY menengahi perdebatan, bahwa yang dibutuhkan adalah dana untuk pembangunan pasca 2015 dari manapun itu berasal. Maka SBY menggulirkan pentingnya Public Private Partnership (PPP) sebagai alternatif dari perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. Paul Polman yang mewakili dunia usaha setuju dengan opsi SBY tersebut, dimana ia menjelaskan bahwa dana CSR perusahaan-perusahaan raksasa dunia saat ini terus meningkat.

Kalangan bisnis memahami bahwa kehadiran mereka di suatu negara sangat dipengaruhi stabilitas politik dan ekonomi negara tersebut. Dengan demikian kedua belah pihak saling membutuhkan. Dunia swasta bahkan ingin dilibatkan secara lebih jauh dalam program-program MDGs yang baru nantinya. Ini sekaligus menjadi jawaban atas kebuntuan yang dikhawatirkan Kohler.

Setelah melalui perdebatan hangat, sampai akhirnya pada kesepakatan yang tertuang dalam Komunike Bali. Komunike ini merangkum seluruh tahapan sidang di Bali hingga akhirnya tersusun draft final yang akan diajukan ke PBB. Salah satunya adalah adanya kebutuhan untuk mempromosikan agenda pasca-2015 yang mengintegrasikan pertumbuhan ekonomi, inklusi sosial, dan kelestarian lingkungan. Semua hasil dan proses pembentukan agenda pembangunan pasca 2015 harus saling mendukung dan menguatkan, termasuk hasil dari Rio+20.

Para panelis juga mengimbau komunitas global untuk melakukan transformasi ekonomi dan sosial yang akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif pada lingkup lokal, nasional dan global. Pertumbuhan ekonomi semata tidaklah cukup untuk memastikan terwujudnya keadilan sosial, kesetaraan, dan kesejahteraan yang berkelanjutan bagi semua. Komunike ini sejalan dengan penekanan Presiden SBY dalam tiga HLP sebelumnya, bahwa yang terpenting bukanlah semata-mata pertumbuhan, tetapi pertumbuhan berkelanjutan dengan pemerataan (gowth with equity).

Munculnya SDGs

Kejutan kedua dari Presiden SBY di HLP—setelah menjadi ice breaker dalam perdebatan panel—adalah keberaniannya memberi label pada draft new MDGs pasca 2015. “Dokumen tersebut akan diangkat dan dibahas secara multilateral oleh PBB. Sebelum 2015, insya Allah sudah ada penjelasan kerangka baru yang namanya kira-kira akan menjadi SDGs (Suistanable Development Goals)," itulah pernyataan kunci Presiden SBY di penutupan HLP Bali. Munculnya term SDGs cukup mengejutkan karena sebelumnya forum tersebut sudah ada sejak 1992 dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil.

Sebagaimana kita tahu, SDGs selama ini stagnan dan tidak banyak disebut di panggung diplomasi. Melalui HLP Bali 2013, SBY coba mempertemukan ide besar SDGs-nya KTT Bumi dan pembangunan pasca 2015 yang tengah disusun. Satu terobosan penting, karena penekanan pada KTT Bumi dan HLP dalam beberapa isu beririsan.

Secara singkat, SDGs yang akan dibawa ke forum PBB nanti terdiri dari 4 cluster dengan 11 poin penting. Ini melengkapi 8 sasaran MDGs yang akan berakhir. Empat cluster tersebut adalah mengakhiri kesenjangan, transformasi ekonomi, pembangunan berkelanjutan dan good governance.

Sementara 11 sasaran dimaksud antara lain, mengakhiri kemiskinan ekstrem, meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan, penyediaan pendidikan berkualitas, menciptakan pertumbuhan yang peduli pro lingkungan, memperluas akses ekonomi ke setiap orang, peningkatan peran perempuan, mempertahankan ekosistem, pengurangan limbah, mengelola risiko, efektivitas akses ke institusi dan pelayanan publik serta mengatasi ancaman perubahan iklim.

Dari target-target di atas, cukup jelas bahwa SDGs pasca 2015 sangat penting untuk dijalankan guna mendorong kesejahteraan di seluruh belahan. Tidak hanya Utara, melainkan juga Selatan. Kita tunggu respon PBB di akhir Mei nanti. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar