“IF every fool wore a crown, we should all be kings,” (Idiom orang
Welsh).
Jika tiap orang bodoh memakai mahkota,
kita semua menjadi raja. Idiom tersebut akrab digunakan karena sindrom
bulan April yang identik dengan mitos tradisi orang-orang Barat yang
dikenal April Mop atau April Fools’ Day.
Tradisi ini hanya ada tiap April. Pada
tradisi ini, orang dianggap boleh berbohong atau memberi lelucon kepada
orang lain tanpa dianggap bersalah. April Mop juga ditandai dengan
tipu-menipu dan lelucon lainnya terhadap keluarga, musuh, teman, bahkan
tetangga dengan tujuan mempermalukan orang-orang yang mudah ditipu.
Dalam konteks politik Indonesia,
terjadinya berbagai skenario dan dagelan politik yang diperagakan para
elite terkesan tengah mempermainkan hati dan perasaan rakyat. Para elite
dan penguasa mengerjai rakyat. Sebagian pihak, misalnya, dalam kasus
korupsi Hambalang yang menyeret Partai Demokrat dan beberapa elitenya,
seakan skenario besar yang tengah ‘dimainkan’ pihak tertentu.
Sebuah skenario sangat cepat terjadi,
mulai dijadikannya Anas Urbaningrum sebagai tersangka KPK hingga mundurnya
ia sebagai ketua umum partai. Pun dengan naiknya SBY sebagai pengganti
pada KLB Demokrat, pekan lalu, hingga para pengamat menduga dinasti
Cikeas tengah ancang-ancang untuk Pilpres 2014.
Isunya, karena SBY sudah tak mungkin lagi
naik menjadi capres di Pilpres 2014, skenarionya dia menjadi ketua umum
partai untuk memudahkan pengaturan ‘orang-orang terdekatnya’ menggantikan
dia dalam bursa capres dari Partai Demokrat nanti. Sebut saja, misalnya,
merebaknya namanama yang dekat dengan SBY, seperti istrinya, Ani
Yudhoyono, besannya, Hatta Rajasa, atau adik iparnya, KSAD Jenderal TNI
Pramono Edhie Wibowo.
Jika semuanya benar, kaum elite tengah
menjebak rakyat kembali dalam pusaran politik kekeluargaan yang cenderung
nepotistis. Rakyat dikerjai kaum elite lewat berbagai skenario politik
yang adiluhung, yang tengah dimainkan kaum elite.
April Mop politik, dengan demikian, bukan
isapan jempol, melainkan kenyataan faktual yang kini tengah dirasakan
rakyat. Para elite dan penguasa mengerjai rakyat, maka kita tinggal
menunggu balasan yang akan mereka dapatkan dari rakyat. Rakyat sudah
semakin muak dengan para elite dan penguasa. Di tengah banalitas perilaku
para elite-penguasa, e publik lambat laun l semakin tidak percaya pada
kekuasaan politik.
Benar jika Geoff Mulgan dalam karyanya, Politics in an Antipolitical Age
(1994), mengatakan bahwa politik, yang semestinya dan seharusnya dibangun
berdasarkan nilainilai moral serta etika, pada pelaksanaannya yang lebih
dominan ialah memperbanyak kepentingan dan untuk menyelamatkan diri
semata.
Tujuan politik lazimnya berperan,
bagaimana semestinya para elite-penguasa membuat suatu kebijakan-kebijakan
strategis dalam rangka menyejahterakan kehidupan publik. Namun, politik
yang dijalankan pada tataran pelaksanaannya terus tercemari dengan
praktik-praktik banalitas, yang hanya memperbesar kepentingan demi
individu dan kelompok.
Seiring dengan janji-janji yang sudah
diumbar elite-penguasa, tapi kemudian tak terbukti pada kenyataannya, karena
itulah rakyat secara sendirinya akan mendelegitimasi mereka. Para
elite-penguasa dapat dipastikan akan banyak bertumbangan karena tak
mendapat dukungan lagi dari rakyat yang menjadi audiens.
Alasannya, pertama, karena kebanyakan
para elitepenguasa sudah sekian lama justru mengkhianati kepentingan
rakyat, dengan misalnya, perilaku koruptif serta kebohongan. Kedua,
karena kebanyakan para elite-penguasa sudah menyalahgunakan euforia
demokrasi yang kepercayaannya diberikan rakyat.
Selain demi kepentingan rakyat, jargon
demokrasi juga tak pernah ketinggalan digunakan para elite-penguasa. Implementasi
demokrasi bagi mereka ialah sebuah kebebasan menyuarakan pendapat. Mereka
menganggap demokrasi adalah tujuan. Namun, persoalan bahwa apa tujuannya,
itu yang tidak jelas.
Bahkan terkesan tujuannya ialah, sekali
lagi, demi kepentingan individu dan kelompok. Seperti itulah yang
sesungguhnya dikecam oleh banyak pihak. Bahkan menurut Mestika Zeid
(2005), demokrasi yang dijadikan tujuan sesungguhnya bukanlah target demokrasi
itu sendiri. Sebab, demokrasi itu punya tujuan, dan tujuannya adalah
kesejahteraan bagi rakyat.
Bangsa ini sekarang tengah berada dalam
era politik yang sesungguhnya antipolitik. Politik tidak dibangun
berdasarkan moral dan etika, yang misalnya persoalan etika dan moral itu
diwujudkan dengan membuat aturan-aturan strategis yang diimplementasikan
bagi kesejahteraan rakyat.
Politik saat ini, energinya dihabiskan
hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Pun di sisi lain,
persoalan
yang sesungguhnya harus diselesaikan, se perti persoalan kemiskinan,
angka pengangguran yang kian meninggi, dan persoalan krisis pangan,
misalnya, tidak disentuh sama sekali.
Para elite-penguasa sibuk hanya bicara
soal suksesi. Politik hanya menjadi ajang dan arena untuk memperkaya
diri, saling menjatuhkan, dan sebagainya. Pendeknya, yang bertentangan
dengan etika dan moral politik itu sendiri.
Jika keadaan itu terus berlangsung, sesungguhnya akan membahayakan
kelangsungan bangsa ini, karena elite penguasa di situ tak lebih hanya
merupakan instrumen destruktif yang justru akan memorak-porandakan
kondisi bangsa ini dari dalam.
Para elite-penguasa tak menjadi satrio
piningit untuk merekonstruksi persoalan-persoalan bangsa, dan kemudian
membangunnya sehingga sedemikian rupa persoalan kian surut. Demokrasi
yang kita bangun hanyalah sebatas utopia, harapan-harapan tapi tak pernah
dapat terejawantah dalam kehidupan real, yakni untuk kesejahteraan
rakyat.
Justru yang terjadi, dan ini yang
sesungguhnya berbahaya, para elite-penguasa hanya menjadikan demokrasi
dan politik yang ada saat ini sebagai instrumen menuju kekuasaan,
memperkaya pribadi dan kelompok.
Para pelakunya hidup dalam kemegahan dan kemewahan, sedangkan rakyat yang
semestinya diurusnya hidup dalam serbakekurangan dan kesulitan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar