Ledakan bom dalam lomba maraton di Boston,
Amerika Serikat (AS) merupakan catatan bahwa penggunaan kekerasan dalam
mengutarakan kehendak menjadi tantangan bersama bangsa-bangsa abad ini.
Catatan itu makin panjang dan memakan korban sangat banyak dalam waktu
singkat sehingga muncullah pertanyaan-pertanyaan ini. Mengapa ada
orang-orang yang begitu benci pada sesuatu/seseorang sehingga rela
mengorbankan nyawa ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang yang tidak ia
kenal?
Mengapa ada individu yang terdorong mengobarkan semangat dendam dan
penggunaan kekerasan, bahkan bangga menjadi model dan panutan dalam
kelompoknya karena cara-cara tersebut? Mengapa ada orang-orang muda yang
tak kenal kompromi pada sesama, bahkan sampai bersikukuh menyakiti diri
sendiri, anggota keluarga, dan rekanrekan terdekatnya? Setidaknya ada
tiga catatan penting soal kekerasan abad ini.
Pertama, kekerasan akan diikuti oleh kekerasan berikutnya. Padahal apa
pun bisa dijadikan alasan untuk mengedepankan kekerasan. Ironisnya,
kekerasan bagian dari dua sisi watak manusia dan komunitas manusia.
Ketika kekerasan yang terus diasah, sisi kelemahlembutan, keikhlasan, dan
pengampunan akan makin mati rasa, tak peduli berapa tinggi pendidikan
kita.
Kedua, ada nuansa baru dalam kekerasan abad ini yakni penggunaan
simbolisme lintas batas negara yang mengusik emosi masyarakat yang
mendengar, melihat, dan memahaminya. Belum ada kesepakatan internasional
dan modelmodel penyelesaiannya. Pada abad 20 perang terbuka antarnegara
memang mengemuka sehingga muncul kebencian dengan negara tertentu, tetapi
pihak yang terlibat baku tembak terkonsentrasi pada kelompok militer yang
doktrin dan etikanya dipahami dan diakui secara internasional.
Pada abad 21 ini perang justru terjadi antarmasyarakat sipil bersenjata
dan belum tentu lintas negara, melainkan lebih sering terjadi di dalam
negara dan antarkomunitas. Artinya, ada catatan tambahan permasalahan
kekerasan belum tentu bisa dicarikan di tingkat internasional, tapi harus
dikembangkan juga di tingkat nasional.
Ketiga, pelaku kekerasan bergerak ke arah mereka yang berusia muda dan
remaja. Hal ini patut diwaspadai dan segera dicarikan solusi. Orang muda
apalagiremaja terbilanglabildan rentan akan ihwal emosional sehingga
jumlah dan besaran kekerasan berpotensi lebih sulit terprediksi dan
mengerikan.
Berangkat dari ketiga poin tadi, kita perlu tenang menghadapi masalah
ini, tetapi juga sadar akan urgensi untuk segera menemukan formula
penghancur kekerasan dalam masyarakat abad ini. Ilustrasinya seperti ini.
Ketika bom meledak di lomba maraton Boston, berita yang spontan muncul di
media massa adalah “serangan terorisme” dan kaitannya dengan Islam dan
ras/bangsa tertentu.
Modus operandi peristiwa itu rupanya langsung identik dengan ingatan
orang akan aneka serangan terorisme. Tapi dengan cepat stereotyping itu
dicoba dibantah. Koran Washington Post merilis artikel berjudul “Please Don’t Be a Muslim: Boston
Marathon Blast Draw Condemnation and Dread in Muslim World”
(15/4/13).
Dalam artikel tersebut digambarkan respons warga Libya yang menulis dalam
Twitternya: “Please Don’t Be a
Muslim” untuk menggambarkan harapan semoga pelaku pemboman itu
bukanlah pemeluk agama Islam. Perasaan yang sama juga diungkapkan kawan
muslim di Indonesia. Pesan yang dikemukakan di sana adalah bahwa umat
muslim pun antiterorisme.
Dalam dua hari ini, sayangnya, muncul berita bahwa dua kakak beradik
pelaku pemboman adalah penganut Islam dan simpatik pada ulama Rusia Abdel
Al-Hamid Al-Juhani yang dilaporkan telah mengkhotbahkan ajaran radikal
yang biasanya diserukan Al-Qaeda. Al-Juhani adalah ideologi penting bagi
Al-Qaeda di Chechnya dan Kaukasus, demikian info sebagaimana dikutip dari
harian Daily Beast.
Ketika berita seperti ini dirilis, kita juga dapat membaca respons dari
ibu kedua remaja berdarah Chechnya ini yang teguh meyakini penangkapan
dan kematian Dzhokhar dan Tamerlan adalah rekayasa FBI. Seperti dapat
dibayangkan, dialog selanjutnya seputar pemboman itu kembali ke titik
awal yakni kebingungan tentang mengapa kejadian seperti ini sampai
terjadi.
Kalaupun benar kedua remaja ini pelaku pemboman, kaum muslim tentu
keberatan bila perilaku prokekerasan tadi dikaitkan dengan Islam.
Sungguhpun tak ada tudingan langsung ke arah agama, sensitivitas itu
mengemuka pula. Orang tua menolak bertanggung jawab atas perilaku anaknya.
Sepemahaman mereka, sang anak berbudi baik dan punya pergaulan yang baik
pula. Sejumlah pengamat di AS juga merasa kejahatan ini terjadi karena AS
belum cukup “tegas” pada terorisme. Ada pula yang mengomentari kebijakan
prosenjata di AS yang memungkinkan anak-anak mengakses senjata dan
merakit senjata pemusnah massal.
Belajar dari Dominique Moisi, seorang penasihat senior di French
Institute of International Affairs di Paris yang menulis buku The Geopolitics of Emotion (2009),
kita perlu masuk ke dalam tataran emosi masyarakat masa kini. Moisi
menyoroti tiga kultur yakni kultur ketakutan (fear), kultur pengharapan (hope), dan kultur penghinaan (humiliation).
Ketiganya terkait erat dengan rasa percaya diri yang diyakini Moisi
menjadi penentu bagaimana bangsa-bangsa dan masyarakat menghadapi beragam
tantangan yang dihadapi dan bagaimana mereka saling berelasi satu dengan
yang lainnya. Kaitan tiga emosi tersebut digambarkan sebagai berikut.
Ketika ada pengharapan, seseorang akan berkata: “Saya mau melakukannya, saya bisa dan saya pasti melakukannya”.
Dengan penghinaan, yang muncul: “Saya
tidak akan bisa melakukan itu” dan pada satu titik berubah menjadi: “Saya akan coba hancurkan kamu saja
karena toh saya tak bisa bergabung denganmu”. Sementara rasa takut
memunculkan pernyataan: “Oh,
Tuhanku dunia demikian berbahaya, bagaimana cara saya melindungi diri?”
Dalam masyarakat tiga kultur tadi tumbuh. Kultur pengharapan seharusnya
diutamakan agar rasa percaya diri semakin kuat dan dirasakan sampai ke
segala lini dalam masyarakat. Sepatutnya dipupuk rasa maklum dan budaya
konstruktif agar siapa pun dapat merasa nyaman untuk tumbuh sebagai
manusia berakal budi dan berkehendak bebas.
Sayangnya, meskipun sejumlah negara “naik daun” karena perekonomiannya yang
kuat atau gaya hidupnya trendi, ada kantong-kantong masyarakat yang tidak
merasakan kenyamanan yang sama sehingga rasa percaya diri mereka pun
minim. Mereka terasing dalam komunitas yang membesarkan mereka.
Dalam pengamatan saya, masyarakat yang relatif tenteram adalah cerminan
dari tata kelola hubungan yang efektif dan menyejukkan. Tata kelola itu
disebut governance atau pemerintahan. Sebagai anggota masyarakat,
kehidupan kita dikelola oleh banyak tingkatan, mulai dari tatanan rumah
tangga, komunitas, dusun/desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten/ kota,
negara, regional, dan internasional.
Ketika kekerasan merajalela, artinya ada tata kelola hubungan yang kurang
efektif dan meresahkan masyarakat. Jika orang muda sampai menjadi pelaku
kekerasan berskala korban besar, tingkat pengelolaan hubungan dalam
masyarakat sudah demikian buruknya sehingga yang muda tak lagi dapat
memilah pengharapan dari ketakutan dan rasa terhina.
Untuk itu, akan jauh lebih efektif bila, karena kejadian bom Boston, kita
tergerak untuk merefleksikan tata kelola hubungan dalam komunitas kita
masing-masing. Apakah kita merasa percaya diri (confident) bahwa kita bagian dari solusi? Apakah kita punya
keyakinan besar bahwa cara-cara yang bertahap dalam menyelesaikan masalah
adalah investasi terbaik untuk masa depan bangsa?
Apakah kita percaya kemajuan sekecil apa pun dalam dialog dengan mereka
yang berbeda pandangan adalah hal yang patut dihargai? Kalaupun belum,
apa yang bisa kita lakukan untuk mengembangkan itu semua? Di tataran global,
kejadian bom Boston hendaknya mengingatkan kita akan pentingnya tata
dunia baru yang mengedepankan penguatan percaya diri dari warga
masyarakat, rasa berdaya, dan rasa sebagai bagian dari sesuatu yang ikut
mereka ciptakan.
Jika kepala negara berkumpul, menteri menandatangani kerja sama, apa
hasil konkretnya bagi penguatan percaya diri masyarakat? Dalam dunia
modern masa kini, rasa percaya diri, berdaya, dan sebagai bagian yang
dihargai dalam masyarakat ternyata barang “mahal”. Tidak semua orang bisa
merasakan itu, termasuk yang terdidik atau kaya sekalipun.
Padahal dengan kecepatan teknologi informasi, siapa pun bisa mendengar
dan melihat siapa pun bicara keras atas nama agama, ideologi, kritik pada
lawan politik, kritik pada negara tanpa peduli akan dampak jangka
panjangnya pada penonton; terutama bagi mereka yang “di bawah umur”,
merasa terhina dan tak percaya diri. Indonesia bisa belajar dari ini
semua.
Masyarakat boleh makin terdidik dan kaya. Tetapi, kalau mereka tak merasa
berdaya, terhina, dan tak percaya diri, yang mengemuka justru kekerasan.
Apakah kita menyapa orang-orang di sekeliling kita dengan tulus? Apakah
kita mengizinkan mereka tumbuh bersama kita? Apakah mereka merasa berdaya
bersama kita?
Di AS perasaan seperti itu barang langka. Masing-masing individu tumbuh
terisolasi dengan kesibukan masingmasing dan lingkar pergaulan yang
sangat terbatas sehingga kehangatan sebagai komunitas sungguh nyaris tak
ada. Bibit kekerasan ada dalam diri kita masing-masing dan karena itu
kita perlu selalu diingatkan untuk mengembangkan bibit kelemahlembutan,
keikhlasan, dan pengampunan.
Dalam bermasyarakat kita perlu sadar betul tak ada relasi yang mulus dan
sempurna sepanjang masa; hanya kelemahlembutan, keikhlasan, dan
pengampunan yang bisa memperbaiki tatanan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar