Kamis, 25 April 2013

Menghancurkan Kekerasan


Menghancurkan Kekerasan
Dinna Wisnu ; Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 24 April 2013

  
Ledakan bom dalam lomba maraton di Boston, Amerika Serikat (AS) merupakan catatan bahwa penggunaan kekerasan dalam mengutarakan kehendak menjadi tantangan bersama bangsa-bangsa abad ini. 

Catatan itu makin panjang dan memakan korban sangat banyak dalam waktu singkat sehingga muncullah pertanyaan-pertanyaan ini. Mengapa ada orang-orang yang begitu benci pada sesuatu/seseorang sehingga rela mengorbankan nyawa ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang yang tidak ia kenal? 

Mengapa ada individu yang terdorong mengobarkan semangat dendam dan penggunaan kekerasan, bahkan bangga menjadi model dan panutan dalam kelompoknya karena cara-cara tersebut? Mengapa ada orang-orang muda yang tak kenal kompromi pada sesama, bahkan sampai bersikukuh menyakiti diri sendiri, anggota keluarga, dan rekanrekan terdekatnya? Setidaknya ada tiga catatan penting soal kekerasan abad ini. 

Pertama, kekerasan akan diikuti oleh kekerasan berikutnya. Padahal apa pun bisa dijadikan alasan untuk mengedepankan kekerasan. Ironisnya, kekerasan bagian dari dua sisi watak manusia dan komunitas manusia. Ketika kekerasan yang terus diasah, sisi kelemahlembutan, keikhlasan, dan pengampunan akan makin mati rasa, tak peduli berapa tinggi pendidikan kita. 

Kedua, ada nuansa baru dalam kekerasan abad ini yakni penggunaan simbolisme lintas batas negara yang mengusik emosi masyarakat yang mendengar, melihat, dan memahaminya. Belum ada kesepakatan internasional dan modelmodel penyelesaiannya. Pada abad 20 perang terbuka antarnegara memang mengemuka sehingga muncul kebencian dengan negara tertentu, tetapi pihak yang terlibat baku tembak terkonsentrasi pada kelompok militer yang doktrin dan etikanya dipahami dan diakui secara internasional. 

Pada abad 21 ini perang justru terjadi antarmasyarakat sipil bersenjata dan belum tentu lintas negara, melainkan lebih sering terjadi di dalam negara dan antarkomunitas. Artinya, ada catatan tambahan permasalahan kekerasan belum tentu bisa dicarikan di tingkat internasional, tapi harus dikembangkan juga di tingkat nasional. 

Ketiga, pelaku kekerasan bergerak ke arah mereka yang berusia muda dan remaja. Hal ini patut diwaspadai dan segera dicarikan solusi. Orang muda apalagiremaja terbilanglabildan rentan akan ihwal emosional sehingga jumlah dan besaran kekerasan berpotensi lebih sulit terprediksi dan mengerikan. 

Berangkat dari ketiga poin tadi, kita perlu tenang menghadapi masalah ini, tetapi juga sadar akan urgensi untuk segera menemukan formula penghancur kekerasan dalam masyarakat abad ini. Ilustrasinya seperti ini. Ketika bom meledak di lomba maraton Boston, berita yang spontan muncul di media massa adalah “serangan terorisme” dan kaitannya dengan Islam dan ras/bangsa tertentu. 

Modus operandi peristiwa itu rupanya langsung identik dengan ingatan orang akan aneka serangan terorisme. Tapi dengan cepat stereotyping itu dicoba dibantah. Koran Washington Post merilis artikel berjudul “Please Don’t Be a Muslim: Boston Marathon Blast Draw Condemnation and Dread in Muslim World” (15/4/13). 

Dalam artikel tersebut digambarkan respons warga Libya yang menulis dalam Twitternya: “Please Don’t Be a Muslim” untuk menggambarkan harapan semoga pelaku pemboman itu bukanlah pemeluk agama Islam. Perasaan yang sama juga diungkapkan kawan muslim di Indonesia. Pesan yang dikemukakan di sana adalah bahwa umat muslim pun antiterorisme. 

Dalam dua hari ini, sayangnya, muncul berita bahwa dua kakak beradik pelaku pemboman adalah penganut Islam dan simpatik pada ulama Rusia Abdel Al-Hamid Al-Juhani yang dilaporkan telah mengkhotbahkan ajaran radikal yang biasanya diserukan Al-Qaeda. Al-Juhani adalah ideologi penting bagi Al-Qaeda di Chechnya dan Kaukasus, demikian info sebagaimana dikutip dari harian Daily Beast. 

Ketika berita seperti ini dirilis, kita juga dapat membaca respons dari ibu kedua remaja berdarah Chechnya ini yang teguh meyakini penangkapan dan kematian Dzhokhar dan Tamerlan adalah rekayasa FBI. Seperti dapat dibayangkan, dialog selanjutnya seputar pemboman itu kembali ke titik awal yakni kebingungan tentang mengapa kejadian seperti ini sampai terjadi. 

Kalaupun benar kedua remaja ini pelaku pemboman, kaum muslim tentu keberatan bila perilaku prokekerasan tadi dikaitkan dengan Islam. Sungguhpun tak ada tudingan langsung ke arah agama, sensitivitas itu mengemuka pula. Orang tua menolak bertanggung jawab atas perilaku anaknya. 

Sepemahaman mereka, sang anak berbudi baik dan punya pergaulan yang baik pula. Sejumlah pengamat di AS juga merasa kejahatan ini terjadi karena AS belum cukup “tegas” pada terorisme. Ada pula yang mengomentari kebijakan prosenjata di AS yang memungkinkan anak-anak mengakses senjata dan merakit senjata pemusnah massal. 

Belajar dari Dominique Moisi, seorang penasihat senior di French Institute of International Affairs di Paris yang menulis buku The Geopolitics of Emotion (2009), kita perlu masuk ke dalam tataran emosi masyarakat masa kini. Moisi menyoroti tiga kultur yakni kultur ketakutan (fear), kultur pengharapan (hope), dan kultur penghinaan (humiliation). 

Ketiganya terkait erat dengan rasa percaya diri yang diyakini Moisi menjadi penentu bagaimana bangsa-bangsa dan masyarakat menghadapi beragam tantangan yang dihadapi dan bagaimana mereka saling berelasi satu dengan yang lainnya. Kaitan tiga emosi tersebut digambarkan sebagai berikut. Ketika ada pengharapan, seseorang akan berkata: “Saya mau melakukannya, saya bisa dan saya pasti melakukannya”. 

Dengan penghinaan, yang muncul: “Saya tidak akan bisa melakukan itu” dan pada satu titik berubah menjadi: “Saya akan coba hancurkan kamu saja karena toh saya tak bisa bergabung denganmu”. Sementara rasa takut memunculkan pernyataan: “Oh, Tuhanku dunia demikian berbahaya, bagaimana cara saya melindungi diri?” 

Dalam masyarakat tiga kultur tadi tumbuh. Kultur pengharapan seharusnya diutamakan agar rasa percaya diri semakin kuat dan dirasakan sampai ke segala lini dalam masyarakat. Sepatutnya dipupuk rasa maklum dan budaya konstruktif agar siapa pun dapat merasa nyaman untuk tumbuh sebagai manusia berakal budi dan berkehendak bebas. 

Sayangnya, meskipun sejumlah negara “naik daun” karena perekonomiannya yang kuat atau gaya hidupnya trendi, ada kantong-kantong masyarakat yang tidak merasakan kenyamanan yang sama sehingga rasa percaya diri mereka pun minim. Mereka terasing dalam komunitas yang membesarkan mereka. 

Dalam pengamatan saya, masyarakat yang relatif tenteram adalah cerminan dari tata kelola hubungan yang efektif dan menyejukkan. Tata kelola itu disebut governance atau pemerintahan. Sebagai anggota masyarakat, kehidupan kita dikelola oleh banyak tingkatan, mulai dari tatanan rumah tangga, komunitas, dusun/desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten/ kota, negara, regional, dan internasional. 

Ketika kekerasan merajalela, artinya ada tata kelola hubungan yang kurang efektif dan meresahkan masyarakat. Jika orang muda sampai menjadi pelaku kekerasan berskala korban besar, tingkat pengelolaan hubungan dalam masyarakat sudah demikian buruknya sehingga yang muda tak lagi dapat memilah pengharapan dari ketakutan dan rasa terhina. 

Untuk itu, akan jauh lebih efektif bila, karena kejadian bom Boston, kita tergerak untuk merefleksikan tata kelola hubungan dalam komunitas kita masing-masing. Apakah kita merasa percaya diri (confident) bahwa kita bagian dari solusi? Apakah kita punya keyakinan besar bahwa cara-cara yang bertahap dalam menyelesaikan masalah adalah investasi terbaik untuk masa depan bangsa? 

Apakah kita percaya kemajuan sekecil apa pun dalam dialog dengan mereka yang berbeda pandangan adalah hal yang patut dihargai? Kalaupun belum, apa yang bisa kita lakukan untuk mengembangkan itu semua? Di tataran global, kejadian bom Boston hendaknya mengingatkan kita akan pentingnya tata dunia baru yang mengedepankan penguatan percaya diri dari warga masyarakat, rasa berdaya, dan rasa sebagai bagian dari sesuatu yang ikut mereka ciptakan. 

Jika kepala negara berkumpul, menteri menandatangani kerja sama, apa hasil konkretnya bagi penguatan percaya diri masyarakat? Dalam dunia modern masa kini, rasa percaya diri, berdaya, dan sebagai bagian yang dihargai dalam masyarakat ternyata barang “mahal”. Tidak semua orang bisa merasakan itu, termasuk yang terdidik atau kaya sekalipun. 

Padahal dengan kecepatan teknologi informasi, siapa pun bisa mendengar dan melihat siapa pun bicara keras atas nama agama, ideologi, kritik pada lawan politik, kritik pada negara tanpa peduli akan dampak jangka panjangnya pada penonton; terutama bagi mereka yang “di bawah umur”, merasa terhina dan tak percaya diri. Indonesia bisa belajar dari ini semua. 

Masyarakat boleh makin terdidik dan kaya. Tetapi, kalau mereka tak merasa berdaya, terhina, dan tak percaya diri, yang mengemuka justru kekerasan. Apakah kita menyapa orang-orang di sekeliling kita dengan tulus? Apakah kita mengizinkan mereka tumbuh bersama kita? Apakah mereka merasa berdaya bersama kita? 

Di AS perasaan seperti itu barang langka. Masing-masing individu tumbuh terisolasi dengan kesibukan masingmasing dan lingkar pergaulan yang sangat terbatas sehingga kehangatan sebagai komunitas sungguh nyaris tak ada. Bibit kekerasan ada dalam diri kita masing-masing dan karena itu kita perlu selalu diingatkan untuk mengembangkan bibit kelemahlembutan, keikhlasan, dan pengampunan. 

Dalam bermasyarakat kita perlu sadar betul tak ada relasi yang mulus dan sempurna sepanjang masa; hanya kelemahlembutan, keikhlasan, dan pengampunan yang bisa memperbaiki tatanan masyarakat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar