Selasa, 16 April 2013

Mewujudkan UN yang Jujur


Mewujudkan UN yang Jujur
Sutrisno  Guru SMPN 1 Wonogiri,
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta 
REPUBLIKA, 15 April 2013


Pelaksanaan ujian nasional (UN) tahun ini mulai dilaksanakan pada tingkat SMA/ MA/SMK yang dijadwalkan pada 15-18 April 2013. Kemudian, UN dilanjutkan untuk jenjang SMP/MTs dan SMPLB, serta tingkat SD/MI/SDLB. Berbagai persiapan telah dilakukan untuk menghadapi UN.

Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, pelaksanaan UN 2013 akan diperkuat dari sisi bobot soal. Setiap soal akan memiliki empat tingkat kesulitan berbeda dan akan dibuat 20 variasi soal. Selain akan dibuat bervariasi, tahun ini, tingkat kesulitan soal akan dibuat lapis empat dalam setiap paket soal, yakni mudah, sedang, sulit, dan sangat sulit atau terintegrasi.

Selain itu, berdasarkan pada tata aturan pelaksanaan UN dan Permendikbud No 3 Tahun 2013, nilai kelulusan siswa merupakan akumulasi dari nilai UN dan nilai olahan sekolah. Persentase nilai UN memiliki bobot 60 persen, sedangkan nilai olahan sekolah berbobot 40 persen.

Meskipun ada uji petik dari panitia pusat untuk menguji validitas nilai sekolah karena dilaksanakan setelah proses upload data secara online selesai, tetap ada banyak waktu bagi satuan pendidikan (sekolah) untuk mengubah nilai. Manipulasi itu, antara lain, dengan cara mengganti nilai pada buku rapor dengan buku yang baru.

Kalau kita amati penyebab terjadinya kecurangan pada setiap pelaksanaan UN adalah kompleks. Dan, sebenarnya satu sama lain saling terkait (baca: sistematis). Seorang kepala daerah tentu tidak mengharapkan sekolah didaerahnya memiliki tingkat kelulusan yang rendah. Lantas, kepala daerah melakukan penekanan terhadap kepala dinas pendidikan. Sedangkan, kepala dinas melanjutkan pesan kepala daerah pada kepala sekolah, dan kepala sekolah akhirnya menekan para guru.
Kecurangan UN juga bisa dilakukan oleh panitia sekolah, guru, kepala sekolah, atau tim sukses UN. Kecurangan dalam pelaksanaan UN pada umumnya dilakukan oleh sekolah-sekolah yang merasa tidak siap menghadapi UN.
Ketidaksiapan ini disebabkan banyak faktor, seperti input peserta didik sebagian besar memiliki kompetensi akademik yang rendah, tenaga pendidik kurang, atau cukup tetapi tidak memenuhi kualifikasi yang dipersayaratkan, dan sebagainya.

Sedangkan, kecurangan UN lainnya, seperti penyebaran kunci jawaban melalui handphone, pengaturan tempat duduk peserta UN sedemikian rupa, sehingga letak anak pandai tersebar di setiap ruang dan memungkinkan dapat membantu temannya yang kurang pandai, kelonggaran dan keteledoran pengawasan, serta ada tim sukses UN. Apabila kecurangan UN dibiasakan dan berkelanjutan tiap tahun, tidak mustahil nantinya menjadi suatu budaya dan bisa mewarnai karakter generasi penerus bangsa ini.

Satu-satunya harapan agar UN memiliki arti adalah dilaksanakan dengan penuh kejujuran, menjunjung tinggi moralitas, dan keyakinan memperoleh prestasi yang memuaskan. UN harus dihadapi dengan ketenangan jiwa dan kematangan dalam berpikir, berlogika, dan menikmati suatu peristiwa sebagai bentuk evaluasi diri yang dilakukan secara bersama.

Siswa harus mampu melampaui sistem evaluasi secara jujur sesuai dengan kemampuan. Meskipun kepala daerah, kepala dinas pendidikan, atau kepala sekolah, atau siapa pun yang membocorkan soal ujian itu, peserta ujian harus merasa malu menerima bocoran. Aparat yang berwajib harus menjatuhkan sanksi bagi pembocor ujian secara serius, bukan basa-basi, apalagi sekadar aksi di depan publik. Semua pihak harus memberi roh kejujuran kepada siswa agar mereka merasa malu melakukan tindakan curang, bukan sebaliknya, malah mengajarkan siswa menempuh jalan pintas. Sebab, sekolah pada hakikatnya adalah simulasi hidup bernegara dan bertanah air.
Pada kehidupan nyata, bangsa Indonesia sedang dihantui oleh sikap unfair, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme yang nyaris membangkrutkan negara.
Jika tindak kecurangan tidak diputus sejak anak mengenyam pendidikan, niscaya gerakan hidup bersih, pemberantasan korupsi, dan pemberantasan mafia hukum percuma saja.
Pelaksanaan UN yang benar tidak bisa dilepaskan dari tegaknya nilai moral para insan pendidikan, mulai dari pejabat di dinas pendidikan, kepala sekolah, guru, penjaga sekolah, para siswa, wali murid, bahkan pimpinan daerah dan pimpinan negara. Dibutuhkan kemauan yang keras dari para guru dan kepala sekolah untuk dapat mewujudkan UN yang jujur dan berprestasi.

Mewujudkan UN yang jujur dan breprestasi juga diperlukan adanya sanksi tegas terhadap setiap bentuk kecurangan dalam UN. Maka, perlu penerapan sanksi yang tegas kepada siswa, sekolah, dan siapa saja yang telah terlibat membantu atau melakukan kecurangan UN. Tidak hanya sebatas teguran atau peringatan, tetapi sanksi yang mampu membuat jera. Karena, salah satu persoalan kronis di negara kita adalah hukum belum mampu mewujudkan ketertiban yang disebabkan sanksi yang tidak tegas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar