Pelaksanaan
ujian nasional (UN) tahun ini mulai dilaksanakan pada tingkat SMA/ MA/SMK
yang dijadwalkan pada 15-18 April 2013. Kemudian, UN dilanjutkan untuk
jenjang SMP/MTs dan SMPLB, serta tingkat SD/MI/SDLB. Berbagai persiapan
telah dilakukan untuk menghadapi UN.
Menurut
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, pelaksanaan UN 2013 akan
diperkuat dari sisi bobot soal. Setiap soal akan memiliki empat tingkat
kesulitan berbeda dan akan dibuat 20 variasi soal. Selain akan dibuat
bervariasi, tahun ini, tingkat kesulitan soal akan dibuat lapis empat
dalam setiap paket soal, yakni mudah, sedang, sulit, dan sangat sulit
atau terintegrasi.
Selain
itu, berdasarkan pada tata aturan pelaksanaan UN dan Permendikbud No 3
Tahun 2013, nilai kelulusan siswa merupakan akumulasi dari nilai UN dan
nilai olahan sekolah. Persentase nilai UN memiliki bobot 60 persen,
sedangkan nilai olahan sekolah berbobot 40 persen.
Meskipun
ada uji petik dari panitia pusat untuk menguji validitas nilai sekolah
karena dilaksanakan setelah proses upload data secara online selesai,
tetap ada banyak waktu bagi satuan pendidikan (sekolah) untuk mengubah
nilai. Manipulasi itu, antara lain, dengan cara mengganti nilai pada buku
rapor dengan buku yang baru.
Kalau
kita amati penyebab terjadinya kecurangan pada setiap pelaksanaan UN
adalah kompleks. Dan, sebenarnya satu sama lain saling terkait (baca:
sistematis). Seorang kepala daerah tentu tidak mengharapkan sekolah
didaerahnya memiliki tingkat kelulusan yang rendah. Lantas, kepala daerah
melakukan penekanan terhadap kepala dinas pendidikan. Sedangkan, kepala
dinas melanjutkan pesan kepala daerah pada kepala sekolah, dan kepala
sekolah akhirnya menekan para guru.
Kecurangan
UN juga bisa dilakukan oleh panitia sekolah, guru, kepala sekolah, atau
tim sukses UN. Kecurangan dalam pelaksanaan UN pada umumnya dilakukan
oleh sekolah-sekolah yang merasa tidak siap menghadapi UN.
Ketidaksiapan ini disebabkan banyak faktor, seperti input peserta didik
sebagian besar memiliki kompetensi akademik yang rendah, tenaga pendidik
kurang, atau cukup tetapi tidak memenuhi kualifikasi yang
dipersayaratkan, dan sebagainya.
Sedangkan,
kecurangan UN lainnya, seperti penyebaran kunci jawaban melalui handphone, pengaturan tempat duduk
peserta UN sedemikian rupa, sehingga letak anak pandai tersebar di setiap
ruang dan memungkinkan dapat membantu temannya yang kurang pandai,
kelonggaran dan keteledoran pengawasan, serta ada tim sukses UN. Apabila
kecurangan UN dibiasakan dan berkelanjutan tiap tahun, tidak mustahil
nantinya menjadi suatu budaya dan bisa mewarnai karakter generasi penerus
bangsa ini.
Satu-satunya
harapan agar UN memiliki arti adalah dilaksanakan dengan penuh kejujuran,
menjunjung tinggi moralitas, dan keyakinan memperoleh prestasi yang
memuaskan. UN harus dihadapi dengan ketenangan jiwa dan kematangan dalam
berpikir, berlogika, dan menikmati suatu peristiwa sebagai bentuk
evaluasi diri yang dilakukan secara bersama.
Siswa
harus mampu melampaui sistem evaluasi secara jujur sesuai dengan
kemampuan. Meskipun kepala daerah, kepala dinas pendidikan, atau kepala
sekolah, atau siapa pun yang membocorkan soal ujian itu, peserta ujian
harus merasa malu menerima bocoran. Aparat yang berwajib harus
menjatuhkan sanksi bagi pembocor ujian secara serius, bukan basa-basi,
apalagi sekadar aksi di depan publik. Semua pihak harus memberi roh kejujuran
kepada siswa agar mereka merasa malu melakukan tindakan curang, bukan
sebaliknya, malah mengajarkan siswa menempuh jalan pintas. Sebab, sekolah
pada hakikatnya adalah simulasi hidup bernegara dan bertanah air.
Pada
kehidupan nyata, bangsa Indonesia sedang dihantui oleh sikap unfair, seperti korupsi, kolusi,
dan nepotisme yang nyaris membangkrutkan negara.
Jika tindak kecurangan tidak diputus sejak anak mengenyam pendidikan,
niscaya gerakan hidup bersih, pemberantasan korupsi, dan pemberantasan
mafia hukum percuma saja.
Pelaksanaan
UN yang benar tidak bisa dilepaskan dari tegaknya nilai moral para insan
pendidikan, mulai dari pejabat di dinas pendidikan, kepala sekolah, guru,
penjaga sekolah, para siswa, wali murid, bahkan pimpinan daerah dan
pimpinan negara. Dibutuhkan kemauan yang keras dari para guru dan kepala
sekolah untuk dapat mewujudkan UN yang jujur dan berprestasi.
Mewujudkan
UN yang jujur dan breprestasi juga diperlukan adanya sanksi tegas
terhadap setiap bentuk kecurangan dalam UN. Maka, perlu penerapan sanksi
yang tegas kepada siswa, sekolah, dan siapa saja yang telah terlibat membantu
atau melakukan kecurangan UN. Tidak hanya sebatas teguran atau
peringatan, tetapi sanksi yang mampu membuat jera. Karena, salah satu
persoalan kronis di negara kita adalah hukum belum mampu mewujudkan
ketertiban yang disebabkan sanksi yang tidak tegas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar