Selasa, 16 April 2013

Jerat Memperebutkan Kue Birokrasi


Jerat Memperebutkan Kue Birokrasi
Didik G Suharto  Dosen FISIP dan Magister Administrasi Publik (MAP) UNS Surakarta
SUARA MERDEKA, 16 April 2013
  

Ikhtiar untuk menarik dan memanfaatkan birokrasi pemerintahan dalam pertarungan kepentingan pilkada hampir selalu muncul. Isu mobilisasi birokrasi (PNS), politisasi birokrasi, atau istilah lain yang senada sering menggema seiring dengan penyelenggaraan pilkada, termasuk dalam Pilgub Jateng 2013. 

Bagaimanapun, birokrasi pemerintahan menyimpan kekuatan besar untuk memengaruhi peta kemenangan. Dalam pilgub di provinsi ini, birokrasi juga tidak terlepas dari kemungkinan pusaran pertarungan politik. Apalagi empat kandidat, Bibit Waluyo, Hadi Prabowo, Heru Sudjatmoko, dan Don Murdono, berasal dari internal birokrasi pemerintahan.

Mengandalkan birokrasi dalam pilgub secara logika cukup realistis. Paling tidak terdapat tiga alasan. Pertama; dari sisi kuantitas, di Jateng sedikitnya ada 400 ribu PNS. Jika diasumsikan tiap keluarga pegawai terdiri atas tiga calon pemilih maka ada 1,2 juta pemilih yang menjadi kekuatan yang bisa diandalkan. 

Kedua; bukan hanya jumlah riil aparat yang bisa diandalkan melainkan juga efek domino dari potensi birokrasi itu, yang jauh lebih memberi daya ungkit. Semisal potensi dari anggaran atau proyek/program. Sumber daya berupa anggaran, proyek, atau program potensial dimanfaatkan untuk membangun pencitraan publik. Dari seremoni peresmian proyek hingga pengalokasian sejumlah anggaran sosial kemasyarakatan, semua itu dapat ditunggangi untuk lebih memperkenalkan diri kepada publik. Pengucuran anggaran bansos sangat efektif untuk meraih simpati publik (konstituen). 

Ketiga; aparat birokrasi, khususnya di pedesaan, sering menjadi tempat bertanya atau menjadi sumber referensi bagi masyarakat. Aparat birokrasi menjadi anutan sehingga orientasi pilihannya kemungkinan menjadi orientasi pilihan masyarakat di tempat itu. 

Tak sedikit anggota masyarakat yang segan atau pekewuh terhadap aparat birokrasi. Nuansa paternalisme masih kental mewarnai budaya politik masyarakat pedesaan. Pada prinsipnya, pengaruh politik aparat birokrasi tak sebatas lingkup keluarga dan kerabat, namun juga merembet di lingkungan. 

Melalui sejumlah peraturan, keterlibatan birokrasi dalam pilkada/pemilu dibatasi secara tegas. Pasal 4 PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS menyebutkan tiap PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon kepala daerah/ wakil kepala daerah. Bentuk dukungan itu meliputi keterlibatan dalam kampanye; menggunakan fasilitas terkait jabatan dalam kampanye; membuat keputusan dan/ atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye. 

Termasuk dalam kategori memberikan dukungan adalah mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.
Efektivitas pelaksanaan peraturan tersebut sebenarnya dapat diandalkan karena mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi dalam PP Nomor 53 tahun 2010 menggunakan pola berjenjang. Bila pejabat yang berwenang menghukum tidak menjatuhkan hukuman disiplin kepada PNS yang melanggar disiplin, ia dijatuhi hukuman disiplin oleh atasannya (Pasal 21 Ayat (2)).

Timbul masalah ketika antara bawahan dan atasan atau mayoritas pegawai di lingkungan itu sama-sama memiliki afiliasi dan memberikan dukungan kepada calon tertentu. Hal itu mengakibatkan terjadi interaksi antarpihak, saling melindungi atau memaklumi.

Teladan Pemimpin

Persoalan lain, PP Nomor 53 tahun 2010 sulit menjerat PNS yang terlibat dukung-mendukung pada saat sebelum penetapan calon oleh KPU. Membatasi keterlibatan birokrasi dalam dukung-mendukung calon sebelum tahap kampanye dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga sulit dilakukan. Pasal 78, 79, dan 80 UU itu hanya mengatur ketika masa kampanye. Artinya, tindakan yang berlangsung di luar masa kampanye akan sulit dijerat.

Persoalan lain menyangkut sanksi yang relatif ringan. Pelanggaran terhadap Pasal 78 huruf H, hanya dikenai sanksi peringatan tertulis bila penyelenggara kampanye melanggar larangan walaupun belum terjadi gangguan; atau penghentian kegiatan kampanye di tempat pelanggaran atau di seluruh daerah pemilihan bila terjadi gangguan terhadap keamanan yang berisiko menyebar ke daerah pemilihan lain. 

Sanksi lebih berat jika mengacu aturan kepegawaian. Pelanggaran atas  Pasal 4 PP Nomor 53 Tahun 2010 bisa dikenakan sanksi pemberian hukuman disiplin sedang. Bahkan, pelanggaran atas larangan penggunaan fasilitas terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye dan/ atau membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye, bisa dikenai hukuman disiplin berat. 

Pertanyaannya, sejauh mana komitmen internal birokrasi untuk menegakkan aturan? Pimpinan menjadi kunci penting bagi perwujudan netralitas birokrasi. Mayoritas PNS atau birokrasi sesungguhnya dapat menerima konsep netralitas dalam pilkada/pemilu. Mereka akan lebih fokus dan nyaman bekerja seandainya tidak ditarik-tarik di gelanggang pertarungan antarkontestan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar