Rabu, 17 April 2013

Menyiapkan Mental Jejaring Sosial Presiden


Menyiapkan Mental Jejaring Sosial Presiden
Tasroh  Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan
MEDIA INDONESIA, 16 April 2013


Setelah menunggu lama, akhirnya Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono memiliki akun jejaring sosial Twitter dengan nama @SBYudhoyono.

Konon niat untuk memiliki akun jejaring sosial itu sudah lama direnungkan SBY, baik secara pribadi maupun kelembagaan presiden. Juru Bicara Presiden J Pasha menyebutkan pilihan kepada jejaring sosial Twitterland bukan sekadar latah atau Presiden hendak ‘bernarsisria’ ala masyarakat Indonesia lainnya dengan berbagai jenis jejaring sosial.

Hal itu semata-mata untuk membangun komunikasi dengan seluruh rakyat Indonesia tanpa pandang bulu secara online-interaktif. Selama ini telah banyak media komunikasi yang dikembangkan Presiden Yudhoyono, tetapi jejaring sosial Twitter dinilai ‘mewakili’ suara kebanyakan rakyat Indonesia di samping jejaring sosial lain seperti Facebook, Two, dan Hi5.

Diakui atau tidak, pengaruh jejaring sosial di dunia maya memang telah mewabah ke semua relung kebutuhan pribadi-pribadi manusia di berbagai belahan dunia. Presiden Amerika Barack Obama ialah sosok figur global yang dapat disebut pemimpin dunia pertama yang dipopulerkan, bahkan nasibnya diubah, berkat peran jejaring sosial, seperti Facebook dan sejenisnya. Berawal dari seorang imigran biasa yang tak pernah dipandang sebagai sosok yang memiliki kemampuan memimpin bangsa sebesar Amerika, impian menjadi presiden negara adidaya Amerika terwujud berkat jejaring sosial tersebut.

Cerita ‘sukses’ pemanfaatan jejaring sosial memang amat ditentukan kondisi ‘mental sosial’ para penggunanya. Pakar teknologi informasi dari Northern Illinois University, AS, Sigmund Murray, dalam Beyond Unlimited Information (2009), menyebutkan bahwa masyarakat-bangsa yang cerdas secara komunikasi-informasi telah mengambil manfaat luar biasa atas perkembangan jejaring sosial.
Hal itu terbukti tidak hanya mampu mendongkrak aset dan laju investasi di berbagai bidang, tetapi juga menjadi media marketing yang amat mujarab.

Sebaliknya, jejaring sosial yang tumbuh subur dalam masyarakat-bangsa dengan mental ‘cekak’, alias terbelakang secara teknologi, tidak hanya menjadi media perusakan mental sosial, tetapi juga menjadi media paling produktif dalam memicu kekacauan, konflik, kekerasan, fitnah hingga trigger disharmoni pribadi dan sosialnya. Peluang itu, seperti disebutkan Murray, bahkan jauh lebih mudah tumbuh subur jika dibandingkan dengan kemudahan dan manfaat sosialnya.

Atas dasar demikian, di negara-negara maju Asia Selatan seperti Jepang dan Korea, jejaring sosial melulu dibatasi untuk kepentingan ‘individu’, tanpa melibatkan simbol, label, dan wibawa kelembagaan, apalagi selevel pejabat negara/ pemerintahan. Nah, berangkat dari hal demikian, launching jejaring sosial `pribadi' Susilo Bambang Yudhoyono semestinya bukan dijadikan sebagai `milik negara/pemerintah sah' seperti asumsi pihak pemerintahan SBY selama ini. Namun, itu sekadar media pembantu presiden dalam `membaca, memahami, dan menerapkan' prinsip-prinsip keterbukaan informasi dan komunikasi di era digital selama ini.

Siap Mental

Klarifikasi demikian menjadi penting dan strategis dalam lingkaran Presiden Yudhoyono. Sebab diakui atau tidak, jika seseorang telah `berani bermain-main' dalam dunia maya (digital surfing), ia harus mempersiapkan mental `sosial' dengan bugil (naked information). Artinya, para pelaku dalam dunia maya harus merelakan diri dan identitas pribadi mereka menjadi konsumsi publik serta rela dicaci maki, dicemooh, bahkan dinistakan (Murray, 2009).

Karena itu, persiapan `mental' presiden jauh lebih urgen dilakukan ketimbang sibuk mempersiapkan `jawaban' sporadis dari para pembantunya. Hemat penulis, ada dua langkah mendesak terkait persiapan mental Presiden ketika sudah berani memutuskan surfing di dunia maya semacam jejaring sosial.
Pertama, sesuai fungsi dasar sebagai `jembatan pribadi', meskipun berbagai isi jejaring sosial itu bernada `fitnah' dan caci maki', SBY harus menerjemahkannya sebagai risiko politik dari sosok yang juga kebetulan menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Kedua, terkait dengan keberanian untuk berselancar tanpa batas (borderless) dalam jejaring sosial, regulasi dan aneka aturan protokoler dalam sistem pemerintahan/kenegaraan juga harus berani ‘menyesuaikan diri’ dengan lanskap jejaring sosial. Dalam level itu, UU atau regulasi negara, seperti dalam KUHP/ KUHAP tentang ‘penghinaan’ dan ‘penistaan’ terhadap presiden (selaku kepala negara dan pemerintahan) yang sedang digodok DPR bersama pemerintah (Kemenkum dan HAM RI), harus diformat ulang dengan isu aktual presiden membuka jejaring sosial pribadinya.
Tanpa langkah tersebut, kehadiran Presiden Yudhoyono dalam jejaring sosial hanya akan melahirkan kisruh komunikasi dan informasi yang pada gilirannya hanya akan menambah ‘kesibukan’ baru yang tak produktif bagi kerja dan kinerja SBY selaku kepala negara dan pemerintahan serta ketua umum parpol.

Maksud hati hendak menyapa dengan lembut rakyat Indonesia sepanjang waktu, justru yang diperoleh ialah aneka kritik pedas yang tak jarang menciptakan disharmoni komunikasi.
Oleh karena itu, jejaring sosial presiden harus dicegah ke arah penyebaran berita dan informasi ‘sampah’ (hoax), seperti sekadar latah, informasi tanpa makna, dan basa-basi pengangguran. Itu jelas butuh analisis kritis yang jujur dan adil dari para pembantu presiden dan jajarannya. Jangan sampai sedikit-sedikit dimaknai penghinaan atau pelecehan terhadap presiden! Justru yang harus dikembangterapkan secara masif lewat jejaring sosial ialah agenda-agenda serta langkah nyata Presiden Yudhoyono dalam merespons semua saran, kritik, dan masukan dari rakyat langsung itu dengan lebih cepat, cekatan, dan tuntas. Pun bukan sekedar jawaban `ngambang' normatif seperti jawaban asbun (asal bunyi) di Twitterland rakyat kebanyakan selama ini.

Jadi, jadikan jejaring sosial Presiden Yudhoyono itu sebagai media `kepastian' merespons harapan dan kebutuhan publik Indonesia di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Diharapkan, Presiden tahu dan paham berita dan informasi langsung dari tangan pertama (rakyat), dan selanjutnya segera meresponsnya dengan kebijakan dan tindakan nyata sesuai kebutuhan dan harapan rakyat. So, selamat datang Pak Presiden ke Twitterland yang penuh kebuasan itu! Siapkan mental Anda...! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar