Dalam minggu-minggu ini,
jika berkunjung ke wilayah DIY, terutama kota Yogyakarta Kabupaten
Sleman, Anda menemukan suguhan menarik di ruang publik yang layak
diperbincangkan lebih serius, yaitu kebertebaran spanduk di sejumlah ruas
jalan utama ataupun hanya selebaran kecil yang disebarkan melalui kertas
fotokopi seadanya.
Nada pesan
pada spanduk atau selebaran itu sama, yaitu rakyat Yogyakarta menolak
premanisme. Penjabaran itu antara lain lewat kalimat, ’’Sejuta Preman Mati, Rakyat Jogja
Tidak Rugi’’, ’’Anda Sopan Kami Hormat, Anda Preman Kami Sikat’’, dan
agaknya ada pesan khusus untuk pelajar, ’’Ke Jogja Belajarlah yang Baik dan Jadilah Warga yang Baik.
Jogja Nyaman Tanpa Preman’’.
Selain
spanduk dan selebaran, di Yogyakarta banyak aksi yang secara khusus
menolak segala bentuk kekerasan dan premanisme, baik yang dilakukan oleh
kelompok pemuda maupun antaraliansi. Respons yang ditunjukkan
warga Yogyakarta, jika bisa dikatakan demikian, adalah buntut dari
kemerebakan kasus premanisme dalam satu tahun terakhir ini. Pemicunya
adalah penganiayaan yang menewaskan anggota Kopassus Grup II Kandang
Menjangan Kartasura Sukoharjo Serka Heru Santoso di Hugo’s Cafe Sleman
pada Selasa (19/3). Insiden itu berlanjut pada eksekusi beraroma balas
dendam terhadap 4 pelaku di LP Cebongan Sleman.
Mencermati
respons masyarakat Yogyakarta terhadap premanisme, saya ingin kembali
menelisik litani sejarah senada, yaitu operasi khusus yang dikenal
sebagai penembakan misterius (petrus) tahun 1980-an yang bertujuan
memberantas preman di Yogyakarta. Sejarah mencatat bahwa operasi itu
konon dilancarkan oleh pemerintah, dan merembet ke beberapa kota di
Jateng.
Yogyakarta
menjadi salah satu daerah operasi pembunuhan banyak orang ’’tertuduh’’
preman, yang waktu itu kerap disebut gali (dari akronim gabungan anak
liar) kelas kakap, tanpa melalui proses peradilan atau pembuktian
semestinya. Terapi kejut berhasil menyiutkan nyali para gali, sekaligus
menebar ancaman bagi warga.
Menarik
mengutip penjelasan Muh Najib Azca, peneliti dari Pusat Studi Keamanan
dan Perdamaian (PSKP) UGM yang tersiar pada beberapa media massa dalam
dua minggu terakhir. Ia mengatakan bahwa sejarah gali (preman) di
Yogyakarta berawal dari massa satuan tugas (satgas) partai pada masa
Orba, yang merekrut preman untuk kepentingan politik. Semisal Golkar pada
masa lalu memiliki organisasi sayap Satgas Pasukan Khusus Cakra, PPP
dengan Gerakan Pemuda Kakbah (GBK), dan PDI merekrut preman berbasis
wilayah di Yogyakarta.
Dalam
perkembangannya, premanisme di Yogyakarta berafiliasi dengan sejumlah
kelas sosial yang bisa dikategorisasikan dalam beberapa kelompok menurut
basis mereka; dari preman berbasis etnis, preman pasar, preman mahasiswa
(biasa dilakoni mahasiswa drop out), hingga preman siswa/ pelajar. Basis
dan kelompok mereka berjejaring satu sama lain menurut jenjang dan
pengalaman masing-masing.
Di tengah
fenomena pembiaran terhadap gejala patologi sosial berkelanjutan itu,
bibit premanisme terus berkembang sejalan eksklusivitas kota. Akhirnya
premanisme, ataupun gembong kekerasan lain, yang ’’dipelihara’’ oleh
negara menjadi bom waktu yang hanya menunggu meledak atau diledakkan.
Fakta di Jakarta pada akhir 2012 menjadi salah satu indikator bagaimana
modus operandi premanisme sangat mengancam keamanan dan perdamaian warga
Ibu Kota.
Respons warga
Yogyakarta dengan membentangkan spanduk dan slogan mengecam premanisme
adalah perspektif tindakan simbolik tentang perdamaian sipil. Perdamaian
sipil dalam konteks Yogyakarta bisa dipahami sebagai proses peacemaking
yang ditunjukkan secara persisten untuk mendialogkan tragedi kekerasan
dan teror yang mengancam rasa aman mereka.
Rakyat
Yogyakarta ingin menjaga perdamaian sebagai bentuk self-defense terhadap
aneka bentuk kekerasan. Kekerasan masif tersebut muncul sebagai tindakan
di luar kultur mereka, di tengah kemelemahan dan ketidakhadiran negara
dalam banyak kasus kekerasan di akar rumput.
Mediasi Terbuka
Sikap rakyat
Yogyakarta yang ditunjukkan secara simbolik adalah sebentuk upaya awal
yang coba mendekatkan diri pada proses dialog, mediasi, dan konsolidasi,
terutama dalam internal masyarakat. Namun, slogan seperti itu, dan bahkan
selebaran yang disampaikan langsung oleh Hamengku Buwono X, harus
cepat-cepat dimediasi secara terbuka.
Artinya tak
cukup hanya itu, tapi perlu menghadirkan kelompok-kelompok yang sedang
dalam ketegangan dan perselisihan (dispute).
Artinya, rakyat Yogyakarta dan pemda jangan hanya bersembunyi di balik
slogan dan spanduk yang mengutuk dan menolak segala bentuk premanisme.
Sebagai
sebuah inisiai, saya sepakat dengan respons masyarakat Yogyakarta sejauh
ini. Artinya, mereka menunjukkan diri sebagai pihak yang ingin menjaga
dan mempromosikan perdamaian, baik untuk warga sendiri maupun pendatang.
Bila langkah mereka hanya berhenti pada sebentuk slogan dan spanduk, saya
khawatir tindakan ini tidak akan selesai. Publik akan menilai
sebagai langkah tanggung, bahkan bisa menganggap sebagai ìprovokasiî yang
lebih halus melalui media. Akibatnya, proses rekonsiliasi dan dialog
asertif yang terbuka tidak pernah tercapai. Jika kekhawatiran terakhir
ini yang mewujud maka akan melahirkan kecurigaan sosial dan prasangka
yang menjurus pada segregasi dan pengkotak-kotakkan sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar