Sabtu, 20 April 2013

Jalan Keempat Pendidikan


Jalan Keempat Pendidikan
Doni Koesoema A  ;  Pemerhati Pendidikan,
Master Alumnus Boston College Lynch School of Education
MEDIA INDONESIA, 19 April 2013
  

Andy Hargreaves dan Shirley Dennis (2009) menyebut jalan ke empat pendidikan sebagai proses perubahan pendidikan yang inspiratif di masa depan. Belum banyak negara yang mengarah ke sana. Namun, menurut Hargreaves dalam artikelnya, Singapore: The Fourth Way in Action? (2012), Singapura dianggap sedang melalui jalan keempat itu karena prestasinya yang luar biasa di bidang pendidikan. Bagaimana dengan Indonesia?

Perubahan pendidikan secara teoretis bisa ditelaah melalui pengamatan jejak sejarah (historical patterns) dari kebijakan, implementasi dan praksis yang ada. Hargreaves dan Shirley melacak jejakjejak perubahan kebijakan dan praksis pendidikan di beberapa negara, terutama Amerika, sejak 1960 dan berhasil membuat pemetaan jalan pendidikan secara menarik.

Inovasi dan inkonsistensi

Inovasi dan inkonsistensi kebijakan pendidikan merupakan ciri khas jalan pertama. Periode itu berlangsung dari masa setelah perang dunia sampai tahun 1970-an. Di Amerika Serikat, Australia, Kanada, Inggris, dan Selandia Baru, terdapat gerakan masif pembangunan pendidikan yang sifatnya dari bawah ke atas (bottom-up).

Gerakan itu didukung pemerintah yang ditandai dengan menjamurnya pendidikan menengah dan tinggi. Belanja pendidikan dianggap sebagai investasi daripada pemborosan ekonomi (the drain of economy). Filsafat yang digunakan ialah persamaan, keadilan, dan kesempatan. Dalam beberapa hal, jalan pertama bersifat eksperimental dan inovatif.

Jalan pertama memuncak pada 1970, saat gerakan bersama itu berbalik arah dan inovasi-inovasi penting justru muncul secara terfragmentasi dalam gugus-gugus kecil sekolah. Perubahan massal secara kelembagaan tidak mungkin lagi. Inovasi itu dibarengi dengan tidak adanya koherensi dalam kepemimpinan sekolah, makin melebarnya jurang prestasi antarsekolah, jurang sekolah kaya dan miskin. Akhirnya, runtuhlah fase jalan pertama pendidikan.

Pasar dan Standardisasi

Kegagalan jalan pertama sering kali dikambinghitamkan pada pengambilan kebijakan pendidikan yang sifatnya lebih ideologis ketimbang berdasarkan hasil riset yang memadai. Untuk mengatasi kebangkrutan pendidikan di jalan pertama, serta memperoleh kualitas pendidikan istimewa secara menyeluruh dalam satu sistem yang konsisten dan stabil, diperlukan kebijakan pendidikan yang lebih kaku. Dengan tata kelola yang ketat disertai dengan pembatasan-pembatasan melalui regulasi disertai promosi melalui persaingan.

Sebagai akibatnya, sejak awal tahun 1970-an sampai akhir 1990-an, kebijakan pendidikan cenderung mengalami pergeseran dan perubahan dari negara ke pasar. Pengelolaan pendidikan diserahkan kepada pasar dan lembaga privat agar belanja negara untuk pendidikan bisa dikurangi, serta ditetapkannya kerangka kerja pendidikan yang berlaku secara terpusat disertai dengan ujian standar.

Kebijakan pendidikan di satu sisi lebih terdesentralisasi dari sisi pembiayaan, tapi dari segi kebijakan evaluasi pendidikan, terdapat sentralisasi dengan standardisasi yang ketat. Sentralisasi itu tampak dari berbagai macam kebijakan yang wajib diterapkan di sekolah-sekolah, misalnya promosi persaingan sekolah melalui sistem pemeringkatan, dikuranginya alokasi anggaran bagi pengembangan profesional guru, kurikulum tertulis serta ujian standar yang mengikat seluruh sekolah. Akibatnya, hanya sekolah-sekolah yang memiliki sarana prasarana bagus yang bisa bersaing, mampu menarik masuk banyak peserta didik. Sementara itu, sekolah-sekolah miskin semakin tergusur karena miskin prestasi dan sarana, serta kualitas guru.

Negara membayar mahal buah-buah kebijakan pendidikan yang bersifat persaingan pasar bebas, egaliter, dan seragam berupa hilangnya motivasi guru untuk mengajar, rendahnya semangat siswa dalam belajar secara autentik, serta miskinnya kualitas kepemimpinan. Jalan pendidikan kedua itu pun berakhir.

Performa dan Rekanan

Jalan ketiga muncul sebagai situasi transisi, antara jalan pertama dan kedua, tapi ia mengatasi kedua jalan tersebut dari segi teori dan strategi. Pada jalan ketiga ini, ada dukungan perubahan pendidikan yang berasal dari bawah (bottom-up support). Namun, juga disertai penyediaan kebutuhan pendidikan dari atas, dengan menyertakan sistem pengawasan yang ketat.

Itu tampak nyata dari disediakannya sarana-sarana dan kesempatan bagi guru untuk mengembangkan kinerja profesionalnya, meningkatnya kolaborasi lateral antarguru, baik di sekolah maupun antara guru mata pelajaran, dan meningkatnya kepemimpinan inspiratif yang muncul di kalangan pendidik. Melalui strategi itu, muncullah komunitas profesional guru, kuatnya jaringan profesional antarguru, serta sekolah dapat belajar satu sama lain sepanjang waktu.

Meskipun terdapat semacam kebangkitan kembali, jalan ketiga ini tidak tanpa masalah. Mereka menghadapi godaan yang bisa berdampak pada keberhasilan pendidikan. Seperti profesionalisme salah sasaran.

Pengembangan profesional yang mulanya ialah sarana pertemuan guru untuk mendiskusikan tentang pengajaran dan pembelajaran, lama-lama berubah menjadi kegiatan teknis, seperti membuat soal, mempelajari hasil tes, analisis kisi-kisi, dll yang jauh dari tujuan semula.

Menuju Jalan Keempat

Kegagalan dan `kelelahan' tiga jalan pertama membangkitkan pertanyaan baru tentang prinsip-prinsip pendidikan dan pilar-pilar penting apa bagi perubahan pendidikan yang menawarkan sebuah proses perubahan yang lebih lestari (sustainable) dan bertahan di masa depan. Belajar dari pengalaman di berbagai macam negara yang berhasil dalam mengelola pendidikan, Hargreaves dan Shirley mengidentifikasi beberapa hal fundamental yang menandai terbukanya jalan keempat pendidikan.

Ciri utama jalan keempat ini ialah adanya koherensi antara visi nasional pendidikan, partisipasi profesional, serta dukungan publik dalam rangka peningkatan prestasi dan performa pembelajaran. Jalan keempat diperkuat dengan enam pilar tujuan dan kerja sama yang mendukung perubahan pendidikan, tiga prinsip profesionalisme, dan empat katalis koherensi yang menyokong perubahan yang lestari.

Keenam pilar itu ialah visi inklusif dan inspiratif, partisipasi publik dalam pendidikan, investasi, tanggung jawab sosial dunia bisnis bagi dunia pendidikan, siswa sebagai partner dan pemimpin, serta pembelajaran dan pengajaran yang bernas (mindful). Keenam pilar itu menjadi dasar bagi sebuah perubahan pendidikan yang efektif.

Selain enam pilar, ada tiga prinsip profesionalisme yang menjadi ciri jalan keempat. Mereka ialah kualitas pembelajaran yang tinggi, dengan negara mampu menarik banyak calon guru dari para kandidat yang bermutu tinggi. Kedua, dinamisme tinggi dalam organisasi guru maupun asosiasi profesi.
Ketiga, lahirnya komunitas belajar yang hidup di lingkungan sekolah sehingga dalam diri guru terdapat jaringan kerja sama yang kuat, baik bagi guru baru maupun guru yang mau pensiun.

Semua itu bisa lestari bila disertai empat katalis berikut ini. Pertama, kepemimpinan yang lestari. Artinya, sistem pendidikan yang baik bisa mengatasi pergantian atau rotasi kepemimpinan. Bukan ganti menteri ganti kebijakan! Ke dua, adanya jaringan kerja sama terintegrasi yang mengatasi perubahan di level individual. Ketiga, menempatkan tanggung jawab pendidik di jawab pendidik di atas akuntabilitas. Akuntabilitas mesti menjadi pengingat yang tersisa ketika pendidik gagal memenuhi tanggung jawabnya. Keempat, diferensiasi dan perbedaan dalam proses pengajaran dan pembelajaran.
Prinsipnya, siswa yang khusus harus mendapat perlakuan khusus serta penghargaan terhadap keanekaragaman model dan cara belajar siswa.

Jalan Indonesia?

Indonesia tentu tidak dapat disamakan dengan Singapura. Namun, pemetaan jalan pendidikan berdasarkan jejak sejarah kebijakan pendidikan bisa menjadi titik pijak reflektif bagi pengembangan pendidikan kita.

Indonesia mengalami jalan pertama pendidikan pada masa kemerdekaan dan dilanjutkan dengan masa Orde Baru. Itu saja masih pada level sekolah dasar! Era Orde Baru masih menyisakan jejak kehadirankehadiran sekolah inpres yang sekarang sebagian besar sudah roboh. Robohnya sekolah-sekolah inpres era HM Soeharto mengantar Indonesia pada jalan kedua.

Era reformasi lebih mengarah pada ciri pendidikan jalan kedua. Yang terdapat desentralisasi semu, sentralisasi kebijakan pendidikan berupa evaluasi standar, merebaknya sistem pemeringkatan, dan persaingan antarsekolah tampak nyata. Sekolah banyak ditentukan melalui mekanisme pasar, sedangkan standardisasi melalui ujian nasional, dan uji coba RSBI, telah gagal menyetarakan kualitas pendidikan di Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Namun, ada beberapa tanda Indonesia telah memasuki jalan ketiga, seperti hidupnya jaringan antarguru, lahirnya berbagai macam organisasi dan asosiasi guru, peningkatan profesionalisme guru melalui sertifikasi, serta meningkatnya partisipasi publik, terutama orangtua dan perusahaan dalam peningkatan pendidikan. Tampaknya, Indonesia sedang berada dalam transisi antara jalan kedua dan ketiga menurut terminologi Hargreaves dan Shirley.

Jalan keempat? Tampaknya masih jauh.... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar