Kita sedang menanti
bagaimana hasil penyediaan kuota 30% untuk perempuan dalam perwakilan
rakyat. Apakah kuota itu bisa terpenuhi atau tidak, bisa dipakai tolok
ukur untuk menentukan seberapa besar dunia perpolitikan menarik perhatian
perempuan; selain tentu untuk menilai kecanggihan partai-partai politik
menjaring perempuan untuk mewakili partainya di parlemen. Dari sudut
pandang mana pun, perwakilan perempuan, terutama yang berkualitas, akan
bermanfaat untuk masa depan masyarakat kita umumnya.
Bagaimana kinerja mereka nantinya, kita
masih harus menunggu. Tetapi jelas kehadiran mereka di parlemen dalam
jumlah lebih besar dari sekarang memang kita perlukan untuk mendapatkan
perspektif perempuan dalam kebijakan negara. Bila berhasil, kita termasuk
salah satu negara yang memiliki jumlah terbesar wakil perempuan di parlemen.
Ratarata, hanya 14% perempuan terwakili di parlemen dunia. Di
negara-negara Timur Tengah, umumnya perwakilan perempuan sangat minim. Hanya
perempuan-perempuan Skandinavia yang memiliki perwakilan sekitar 40%.
Dari komentar sejumlah politikus,
terbukti partai-partai politik di Indonesia tidak mudah memenuhi kuota
tersebut. Tetapi ketentuan bahwa persyaratan 30% kuota akan menentukan
apakah partai politik memenuhi syarat untuk pemilu, mau tidak mau membuat
partai-partai itu berjuang keras untuk mendapatkannya.
Selain masalah budaya, termasuk agama,
ada alasanalasan lain yang menjebak kaum perempuan dalam peran tradisi
onalnya selama ini. Menurut pengarang Inggris Wollstonecraft (1759-1797)
dalam buku Vindications of the
Right of Woman, yang dianggap karya besar untuk gerakan feminisme,
perempuan umumnya terjebak oleh faktor-faktor biologis, fisiologis, dan
psikologis. Maka tidak terelakkan bila dia memperkuat diri dalam situasi
dan kondisi itu demi kekuasaan dan kenyamanan hidup. Spirit ‘keindahan’
merajai hidupnya karena memang dari dialah masyarakat berharap bisa lebih
banyak mendapatkan hiburan dan kenyamanan, termasuk dalam kehidupan
keluarga.
Kenyataan tersebut menjadi dilema bagi
perempuan modern Indonesia. Dia terpaksa berkiprah antara peran tradisio
nalnya dan tuntutan-tuntutan kehidupan modern. Tentu mereka akan mencari
mana yang lebih cocok bagi pribadinya. Maka tidak mengherankan bila
bisnis kosmetik, mode, dan panti-panti pijat berbagai jenis umumnya
digarap perempuan. Merekalah yang mendominasi dunia bisnis itu.
Khusus untuk perempuan Timur, ada ajaran
lama yang menyatakan bahwa bagian gelap dan misterius dalam kehidupan ini
dianalogikan dengan perempuan. Air menjadi lambangnya karena dia memiliki
kedalaman yang misterius. Dari sanalah lahir kehidupan. Itu beranalog
dengan perempuan yang bersifat mendalam dan tidak agresif sebab perempuan
sejati tahu bahwa sikap paling luhur adalah bila dia tanpa agresi; karena
kebaikan dan kebijakan tertinggi ibarat air--hanya mengisi, merendah, dan
melimpah; mengairi semuanya.
Tuntutan
Modernisasi
Modernisasi kehidupan membawa
akibat-akibat yang sebenarnya sudah bisa diduga. Dialog-dialog di seputar
Hari Kartini mencerminkan suasana tersebut. Evolusi nilai-nilai,
keyakinan, dan norma-norma yang bergulir ke arah baru dan modern dibahas,
sekalipun umumnya masih terfokus pada perjuangan emansipasi kaum
perempuan. Itu pun tidak semata-mata mempertanyakan atau menginginkan
penempatan perempuan agar sederajat dengan laki-laki. Lagi pula,
sekalipun di Indonesia jumlah warga negara perempuan melebihi yang
laki-laki, pendidikan mereka masih jauh dari setara. Itu yang antara lain
menjelaskan bahwa perempuan kita umumnya memilih peran tradisionalnya.
Menurut catatan sejarah peradaban
manusia, benihbenih egaliter antara laki-laki dan perempuan tumbuh dan
berkembang sejak abad ke19, dan persamaan hak bagi perempuan baru dalam
abad ke-20 berangsur-angsur dilembagakan. Proses itu meliputi hak terjun
dalam masyarakat, hak bersuara dalam politik, hak memperoleh pendidikan
yang sama, dan hak memperoleh penilaian atau upah yang sama. Namun,
sampai saat ini, perempuan Indonesia khususnya masih rikuh dan dibuat
rikuh menggunakan hak-hak itu.
Memang terdapat kesan kuat bahwa
laki-laki umumnya, khususnya laki-laki Indonesia, enggan disamai perempuan
dalam banyak hal. Masih terdapat diskriminasi yang bersifat 1)
horizontal, 2) vertikal, dan 3) sosial. Yang pertama terjadi bila
terdapat diskriminasi dalam pilihan jenis pekerjaan; yang mana pantas
untuk laki-laki, yang mana untuk perempuan.
Diskriminasi kedua terjadi bila jenis pekerjaannya sama, tetapi perempuan
mendapat status lebih rendah. Yang ketiga terjadi bila dalam kehidupan
sosial masih saja terjadi pengelompokan yang beda; kelompok laki-laki dan
kelompok perempuan.
Kartini
Menjadi Ikon
Di Indonesia, bukan hanya Kartini yang
menjadi pahlawan dalam perjuangan, yang secara langsung atau tidak
langsung, meningkatkan harkat dan martabat perempuan. Ada tokohtokoh
seperti Cut Mutiah, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyi Achmad
Dahlan dan Rasuna Said. Bahwa Kartini kemudian menjadi ikon, mungkin
karena tulisan-tulisannya menyebarluaskan keadaan perempuan Indonesia
pada waktu itu, juga usaha Kartini meningkatkan pendidikan mereka. Itu
membangkitkan pengertian dan simpati dari masyarakat dalam dan luar
negeri.
Kartini, yang hidup dalam masa mulainya
pergolakan menuntut persamaan hak, pada usianya yang masih muda sudah
melihat betapa jauhnya perempuan kita dari pemenuhan hak-haknya sebagai
manusia. Dia mulai memperjuangkan perbaikan lewat pendidikan yang mungkin
menurut pemikirannya bisa dipakai sebagai senjata dan perisai menghadapi
hidup masa depan. Dalam hal ini gagasannya beranalog dengan perjuangan
mengegolkan 30% kuota untuk keterwakilan perempuan dalam parlemen demi
menghadapi masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar