Sabtu, 20 April 2013

30% Kuota dalam Spirit Kartini


30% Kuota dalam Spirit Kartini
Toeti Prahas Adhitama  ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 19 April 2013


Kita sedang menanti bagaimana hasil penyediaan kuota 30% untuk perempuan dalam perwakilan rakyat. Apakah kuota itu bisa terpenuhi atau tidak, bisa dipakai tolok ukur untuk menentukan seberapa besar dunia perpolitikan menarik perhatian perempuan; selain tentu untuk menilai kecanggihan partai-partai politik menjaring perempuan untuk mewakili partainya di parlemen. Dari sudut pandang mana pun, perwakilan perempuan, terutama yang berkualitas, akan bermanfaat untuk masa depan masyarakat kita umumnya.

Bagaimana kinerja mereka nantinya, kita masih harus menunggu. Tetapi jelas kehadiran mereka di parlemen dalam jumlah lebih besar dari sekarang memang kita perlukan untuk mendapatkan perspektif perempuan dalam kebijakan negara. Bila berhasil, kita termasuk salah satu negara yang memiliki jumlah terbesar wakil perempuan di parlemen. Ratarata, hanya 14% perempuan terwakili di parlemen dunia. Di negara-negara Timur Tengah, umumnya perwakilan perempuan sangat minim. Hanya perempuan-perempuan Skandinavia yang memiliki perwakilan sekitar 40%.

Dari komentar sejumlah politikus, terbukti partai-partai politik di Indonesia tidak mudah memenuhi kuota tersebut. Tetapi ketentuan bahwa persyaratan 30% kuota akan menentukan apakah partai politik memenuhi syarat untuk pemilu, mau tidak mau membuat partai-partai itu berjuang keras untuk mendapatkannya.

Selain masalah budaya, termasuk agama, ada alasanalasan lain yang menjebak kaum perempuan dalam peran tradisi onalnya selama ini. Menurut pengarang Inggris Wollstonecraft (1759-1797) dalam buku Vindications of the Right of Woman, yang dianggap karya besar untuk gerakan feminisme, perempuan umumnya terjebak oleh faktor-faktor biologis, fisiologis, dan psikologis. Maka tidak terelakkan bila dia memperkuat diri dalam situasi dan kondisi itu demi kekuasaan dan kenyamanan hidup. Spirit ‘keindahan’ merajai hidupnya karena memang dari dialah masyarakat berharap bisa lebih banyak mendapatkan hiburan dan kenyamanan, termasuk dalam kehidupan keluarga.

Kenyataan tersebut menjadi dilema bagi perempuan modern Indonesia. Dia terpaksa berkiprah antara peran tradisio nalnya dan tuntutan-tuntutan kehidupan modern. Tentu mereka akan mencari mana yang lebih cocok bagi pribadinya. Maka tidak mengherankan bila bisnis kosmetik, mode, dan panti-panti pijat berbagai jenis umumnya digarap perempuan. Merekalah yang mendominasi dunia bisnis itu.

Khusus untuk perempuan Timur, ada ajaran lama yang menyatakan bahwa bagian gelap dan misterius dalam kehidupan ini dianalogikan dengan perempuan. Air menjadi lambangnya karena dia memiliki kedalaman yang misterius. Dari sanalah lahir kehidupan. Itu beranalog dengan perempuan yang bersifat mendalam dan tidak agresif sebab perempuan sejati tahu bahwa sikap paling luhur adalah bila dia tanpa agresi; karena kebaikan dan kebijakan tertinggi ibarat air--hanya mengisi, merendah, dan melimpah; mengairi semuanya.

Tuntutan Modernisasi

Modernisasi kehidupan membawa akibat-akibat yang sebenarnya sudah bisa diduga. Dialog-dialog di seputar Hari Kartini mencerminkan suasana tersebut. Evolusi nilai-nilai, keyakinan, dan norma-norma yang bergulir ke arah baru dan modern dibahas, sekalipun umumnya masih terfokus pada perjuangan emansipasi kaum perempuan. Itu pun tidak semata-mata mempertanyakan atau menginginkan penempatan perempuan agar sederajat dengan laki-laki. Lagi pula, sekalipun di Indonesia jumlah warga negara perempuan melebihi yang laki-laki, pendidikan mereka masih jauh dari setara. Itu yang antara lain menjelaskan bahwa perempuan kita umumnya memilih peran tradisionalnya.

Menurut catatan sejarah peradaban manusia, benihbenih egaliter antara laki-laki dan perempuan tumbuh dan berkembang sejak abad ke19, dan persamaan hak bagi perempuan baru dalam abad ke-20 berangsur-angsur dilembagakan. Proses itu meliputi hak terjun dalam masyarakat, hak bersuara dalam politik, hak memperoleh pendidikan yang sama, dan hak memperoleh penilaian atau upah yang sama. Namun, sampai saat ini, perempuan Indonesia khususnya masih rikuh dan dibuat rikuh menggunakan hak-hak itu.

Memang terdapat kesan kuat bahwa laki-laki umumnya, khususnya laki-laki Indonesia, enggan disamai perempuan dalam banyak hal. Masih terdapat diskriminasi yang bersifat 1) horizontal, 2) vertikal, dan 3) sosial. Yang pertama terjadi bila terdapat diskriminasi dalam pilihan jenis pekerjaan; yang mana pantas untuk laki-laki, yang mana untuk perempuan.
Diskriminasi kedua terjadi bila jenis pekerjaannya sama, tetapi perempuan mendapat status lebih rendah. Yang ketiga terjadi bila dalam kehidupan sosial masih saja terjadi pengelompokan yang beda; kelompok laki-laki dan kelompok perempuan.

Kartini Menjadi Ikon

Di Indonesia, bukan hanya Kartini yang menjadi pahlawan dalam perjuangan, yang secara langsung atau tidak langsung, meningkatkan harkat dan martabat perempuan. Ada tokohtokoh seperti Cut Mutiah, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyi Achmad Dahlan dan Rasuna Said. Bahwa Kartini kemudian menjadi ikon, mungkin karena tulisan-tulisannya menyebarluaskan keadaan perempuan Indonesia pada waktu itu, juga usaha Kartini meningkatkan pendidikan mereka. Itu membangkitkan pengertian dan simpati dari masyarakat dalam dan luar negeri.

Kartini, yang hidup dalam masa mulainya pergolakan menuntut persamaan hak, pada usianya yang masih muda sudah melihat betapa jauhnya perempuan kita dari pemenuhan hak-haknya sebagai manusia. Dia mulai memperjuangkan perbaikan lewat pendidikan yang mungkin menurut pemikirannya bisa dipakai sebagai senjata dan perisai menghadapi hidup masa depan. Dalam hal ini gagasannya beranalog dengan perjuangan mengegolkan 30% kuota untuk keterwakilan perempuan dalam parlemen demi menghadapi masa depan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar