Serangan pasukan koalisi terhadap Libia tahun lalu dan
juga intervensi dunia Barat membantu pasukan oposisi dalam krisis Suriah,
belakangan ini telah memorak-porandakan kedua negara Timur Tengah itu.
Korban materiil dan jiwa telah menjadi fakta yang tidak terbantahkan.
Tetapi, apa sesungguhnya yang sedang dipertaruhkan oleh bangsa Libia dan
juga bangsa Suriah?
Tentu saja, kedaulatan kedua bangsa itu telah
terkoyak-koyak. Transisi politik di Timur Tengah dalam bentuk
penggulingan rezim melalui serangan militer telah menjadi pola baku yang
dilakukan negara-negara Barat. Maka, hasil yang didapat adalah hilangnya
kedaulatan sebuah bangsa, termasuk Libia dan Suriah, tentunya.
Pasukan koalisi yang dipimpin Amerika Serikat (AS),
Prancis, dan Inggris telah menjadi kolonialisme baru dalam wajah
reformasi dan demokratisasi. Kolonialisme lama dalam bentuk serangan
militer untuk eksploitasi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia
(SDM) sudah tidak lagi dalam bentuknya yang kuno. Kolonialisme modern
dibungkus dalam wajah membela rakyat sipil dari pembantaian rezim
penguasa dengan jalan serangan militer. Ibaratnya, "menghentikan pembantaian dengan pembantaian yang
serupa".
Irak dan Afganistan sesungguhnya dapat menjadi
pelajaran berharga. Jatuhnya rezim otoriter tidak lantas mengubah Irak
dan Afganistan ke dalam sosok negara yang berdaulat. Justru intervensi
negara-negara Barat terhadap Irak dan Afganistan telah menghancurkan
kedaulatan bangsa dalam wajah reformasi politik.
Lantas, apa yang sekarang ini mereka alami? Konflik
antarsuku bangsa terus-menerus terjadi. Penggulingan rezim dengan
serangan militer asing telah merusak sistem peradaban dan kemanusiaan
suatu bangsa. Kejatuhan rezim melalui serangan militer pada masa klasik
Islam di Baghdad telah menjadi pelajaran emas betapa kehancuran bangsa
dibarengi dengan hancurnya peradaban.
Libia pimpinan Khadafi yang berkuasa terlalu lama
telah runtuh setelah menghadapi situasi sulit dalam mempertahankan
kedaulatannya. Gelombang demokratisasi di Mesir telah memaksa Khadafi menghadapi
tuntutan transisi politik. Namun sayangnya, arah transisi politik di
Libia ditentukan oleh kekuatan militer asing, bukan rakyat Libia sendiri.
Hasilnya dapat diduga, yakni ada kepentingan politik dalam dan luar
negeri Barat dan kepentingan ekonomi.
Tapi, dua kepentingan itu tidaklah cukup. Kebudayaan
dan peradaban sebagai identitas kedaulatan bangsa pun ikut dirampas. Pada
gilirannya, bangsa Libia "terpaksa" menurut dan mengekor
kepentingan Barat, seperti halnya Irak dan Afganistan. Hal yang sama bisa
saja dialami bangsa Suriah, yang hingga kini masih dilanda krisis
politik. Dan, inilah yang paling mengkhawatirkan dari pola pergantian
rezim dari kekuatan asing.
Di sinilah solusi strategis mestinya dapat didorong
oleh Pemerintah Indonesia sebagai sesama negara muslim yang sedang
berkembang. Pemerintah Indonesia yang direpresentasikan kepemimpinan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diharapkan dapat mendorong PBB untuk
menghindari kekuatan militer dalam mencari solusi politik di banyak
negara. Biarkanlah kekuatan kultural dan politik rakyat Libia dan Suriah
yang menentukan arah perubahan negaranya.
Kekuatan politik luar negeri Indonesia diharapkan
dapat memengaruhi opini internasional untuk menghentikan serangan militer
ke negara-negara Timteng yang sedang dilanda krisis sehingga rakyatnya
sendirilah yang mengubah bangsanya. Kolonialisme baru sudah saatnya
dihentikan atas nama peradaban dan kemanusiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar