Sabtu, 20 April 2013

Hancurnya Peradaban


Hancurnya Peradaban
Khamami Zada  ;  Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
SUARA KARYA, 19 April 2013
  

Serangan pasukan koalisi terhadap Libia tahun lalu dan juga intervensi dunia Barat membantu pasukan oposisi dalam krisis Suriah, belakangan ini telah memorak-porandakan kedua negara Timur Tengah itu. Korban materiil dan jiwa telah menjadi fakta yang tidak terbantahkan. Tetapi, apa sesungguhnya yang sedang dipertaruhkan oleh bangsa Libia dan juga bangsa Suriah?

Tentu saja, kedaulatan kedua bangsa itu telah terkoyak-koyak. Transisi politik di Timur Tengah dalam bentuk penggulingan rezim melalui serangan militer telah menjadi pola baku yang dilakukan negara-negara Barat. Maka, hasil yang didapat adalah hilangnya kedaulatan sebuah bangsa, termasuk Libia dan Suriah, tentunya.

Pasukan koalisi yang dipimpin Amerika Serikat (AS), Prancis, dan Inggris telah menjadi kolonialisme baru dalam wajah reformasi dan demokratisasi. Kolonialisme lama dalam bentuk serangan militer untuk eksploitasi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) sudah tidak lagi dalam bentuknya yang kuno. Kolonialisme modern dibungkus dalam wajah membela rakyat sipil dari pembantaian rezim penguasa dengan jalan serangan militer. Ibaratnya, "menghentikan pembantaian dengan pembantaian yang serupa".

Irak dan Afganistan sesungguhnya dapat menjadi pelajaran berharga. Jatuhnya rezim otoriter tidak lantas mengubah Irak dan Afganistan ke dalam sosok negara yang berdaulat. Justru intervensi negara-negara Barat terhadap Irak dan Afganistan telah menghancurkan kedaulatan bangsa dalam wajah reformasi politik.

Lantas, apa yang sekarang ini mereka alami? Konflik antarsuku bangsa terus-menerus terjadi. Penggulingan rezim dengan serangan militer asing telah merusak sistem peradaban dan kemanusiaan suatu bangsa. Kejatuhan rezim melalui serangan militer pada masa klasik Islam di Baghdad telah menjadi pelajaran emas betapa kehancuran bangsa dibarengi dengan hancurnya peradaban.

Libia pimpinan Khadafi yang berkuasa terlalu lama telah runtuh setelah menghadapi situasi sulit dalam mempertahankan kedaulatannya. Gelombang demokratisasi di Mesir telah memaksa Khadafi menghadapi tuntutan transisi politik. Namun sayangnya, arah transisi politik di Libia ditentukan oleh kekuatan militer asing, bukan rakyat Libia sendiri. Hasilnya dapat diduga, yakni ada kepentingan politik dalam dan luar negeri Barat dan kepentingan ekonomi.

Tapi, dua kepentingan itu tidaklah cukup. Kebudayaan dan peradaban sebagai identitas kedaulatan bangsa pun ikut dirampas. Pada gilirannya, bangsa Libia "terpaksa" menurut dan mengekor kepentingan Barat, seperti halnya Irak dan Afganistan. Hal yang sama bisa saja dialami bangsa Suriah, yang hingga kini masih dilanda krisis politik. Dan, inilah yang paling mengkhawatirkan dari pola pergantian rezim dari kekuatan asing.

Di sinilah solusi strategis mestinya dapat didorong oleh Pemerintah Indonesia sebagai sesama negara muslim yang sedang berkembang. Pemerintah Indonesia yang direpresentasikan kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diharapkan dapat mendorong PBB untuk menghindari kekuatan militer dalam mencari solusi politik di banyak negara. Biarkanlah kekuatan kultural dan politik rakyat Libia dan Suriah yang menentukan arah perubahan negaranya.

Kekuatan politik luar negeri Indonesia diharapkan dapat memengaruhi opini internasional untuk menghentikan serangan militer ke negara-negara Timteng yang sedang dilanda krisis sehingga rakyatnya sendirilah yang mengubah bangsanya. Kolonialisme baru sudah saatnya dihentikan atas nama peradaban dan kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar