Jumat, 12 April 2013

Inilah Akibat Berita Kekerasan di TV


Inilah Akibat Berita Kekerasan di TV
Syafiq Basri Assegaff  ;  Konsultan Komunikasi; Pengajar di The London School of PR dan Universitas Paramadina, Jakarta
INILAH.COM, 11 April 2013



Anda pasti miris melihat berbagai kekerasan dan aksi premanisme di negara kita belakangan ini. Bukan hanya di kalangan rakyat biasa, artis, dukun, dan tukang santet, tetapi kejadian itu sudah melanda ke tengah keluarga, terhadap anak-anak dan remaja, bahkan di antara petugas keamanan negara.

Tentu semuanya bukan masalah sederhana yang bisa dengan mudah dicarikan solusinya, karena berbagai kejadian itu menyangkut aspek sosial, ekonomi dan budaya mereka yang terlibat. Tetapi dari sisi komunikasi, kita bisa melihat adanya peran media massa terhadap kekerasan -- khususnya televisi (TV). Banyak pendapat soal ini yang dikemukakan para ahli komunikasi; sebagian di antaranya mengedepankan perspekstif bahwa ada kemungkinan bahwa penonton TV secara sadar atau tidak sadar meniru adegan yang ditontonnya di layar kaca.
Sebagian pendapat lain menyatakan bahwa banyaknya aksi kekerasan di media mendorong munculnya suasana ketakutan di tengah penduduk, sehingga muncullah ketegangan di ‘dunia yang kejam’ dalam benak banyak orang.
Beberapa ahli seperti Gerbner dan kawan-kawan menyatakan, bahwa akibat adanya anggapan 'dunia yang kejam' itu, maka pecandu TV (heavy viewers, dalam istilah Gerbner) akan melebih-lebihkan tingginya angka kekerasan atau kriminalitas yang terjadi di dunia nyata.
Bila pendapat itu bisa diterima, barangkali kita jadi paham mengapa dalam praktek sehari-hari orang lalu mengambil sikap seperti, 'berhubung dunia ini kejam, maka jalan terbaik untuk menghindarkan diri dari kebatilan adalah dengan mempersenjatai diri, dan jika perlu menyerang lebih dulu ketimbang diserang orang lain.'
Itulah sebabnya barangkali, mengapa saat terjadi kecelakaan di jalan, meski dalam level hanya 'serempetan' sekali pun, maka salah satu yang terlibat cenderung buru-buru 'menyerang' pihak lainnya, walaupun pihak pertama itu yang sebenarnya bersalah.
Kita belum tahu bagaimana sebenarnya efek program TV di Indonesia terhadap meruyaknya kekerasan, karena hal itu memang patut diteliti secara seksama. Tetapi jika mengamati secara lebih serius, dan Anda bisa membuktikannya sendiri, betapa sering TV kita menayangkan berita kekerasan di sana-sini, bahkan dalam takaran yang terkesan agak berlebihan. Over dosis. Sehingga puluhan teman saya belakangan lebih suka menonton program TV asing yang disediakan TV cable berbayar.
Jangan langsung percaya pendapat ini, tetapi saksikanlah sendiri. Hitung dan kajilah. Perhatikan apa yang sering muncul di layar kaca Anda: penduduk marah dan melabrak petugas Pemda, remaja tawuran, polemik sesama politisi, artis ricuh dengan dukunnya, calon hakim ‘membela’ pemerkosa, orang tua menggagahi anak sendiri, guru ‘ngerjain’ muridnya, suami memutilasi isteri sendiri gara-gara perselingkuhannya terbongkar, ricuh di pengadilan, keributan di lapangan bola, oknum aparat menyerang rekannya, dan preman serta penjahat yang kian nekad.
Tak hanya itu. Di saat lain, kita melihat sekelompok orang mengusir, membakar, bahkan membunuh saudara atau warga tak berdosa sekampungnya (hanya gara-gara warga itu menganut aliran agama yang berbeda), demonstran merusak fasilitas umum, dan pedagang kaki lima (PKL) memecundangi aparat yang menertibkan mereka.
Sering di antara kekerasan itu dilakukan secara tidak semena-mena oleh pihak yang sebenarnya bersalah -- misal PKL yang menempati tanah negara, atau pengusir warga seagama yang beda aliran -- terhadap korban yang tak berdosa dengan tegangan amarah sangat tinggi, meledak-ledak.
Boleh jadi banyak di antara kejadian itu berkait dengan makin demokratisnya negara kita -- sehingga orang merasa bebas untuk melakukan apa saja, termasuk 'bebas melabrak' pihak lain, tak peduli apakah pihak lain itu aparat keamanan, teman, atau bahkan keluarga sendiri.
Tetapi dari sisi komunikasi, banyak ahli mensinyalir besarnya peran media, film dan hiburan terhadap berbagai tindak kekerasan dan kekejaman itu. Belakangan, sinyalemen itu juga menuding peran program berita, seperti hard news, buletin dan tayangan ‘current affairs’ kabar berbagai peristiwa.
Di antara ahli ada yang menduga bahwa berita kekerasan – violent news – yang ditayangkan TV menyebabkan meluasnya kekuatiran akan munculnya tindak kriminal. Menurut mereka, ingatan pada tayangan violent news di TV cenderung lebih kuat ketimbang jenis informasi lain, sehingga menjadikan perilaku kriminalitas dan kekerasan kian berperan pada penonton.
Sebagaimana dikatakan Johnston & Davey dalam buku ‘Media Psychology’ yang ditulis David Giles (2008), pada level pribadi, berita negatif terbukti meningkatkan kekuatiran personal, meski pun berita itu tidak langsung berhubungan dengan isi program yang sedang tayang.
Secara umum sering muncul kekuatiran adanya ‘copycat violence’ (kekerasan yang dilakukan gara-gara meniru-niru belaka), khususnya yang terkait dengan kericuhan masyarakat. Berbagai kericuhan di jalanan pada beberapa wilayah perkotaan di Inggris, misalnya, seringkali muncul pada saat berbarengan, dan jelas berperan sebagai katalisator bagi kericuhan-kericuhan di wilayah-wilayah lain.
Barangkali begitu pula yang terjadi di Indonesia. Entahlah. Yang jelas, di Jerman, hasil penelitian lain menunjukkan bahwa serangan kelompok rasis ‘sayap kanan’ terhadap etnik minoritas kentara sekali memiliki pola yang berkaitan dengan peliputan media terhadap penyerangan-penyerangan sebelumnya.
Dalam kaitan itu, para peneliti juga melihat hasil serangan-serangan yang terjadi. Pada serangan gelombang pertama, misalnya, korban cenderung untuk pindah atau mengungsi ke daerah yang lebih aman – yang boleh jadi merupakan tujuan utama yang diinginkan penyerang. Ternyata, berita tentang pengungsian para korban itu menjadi pemantik bagi gelombang penyerangan berikutnya.
Hal itu sangat mirip dengan yang disebut priming effect, yakni semacam dampak ajakan yang seolah disengaja, saat mana para preman ‘sayap kanan’ di Jerman lebih mungkin melakukan penyerangan terhadap kelompok minoritas jika mereka mendengar adanya serangan serupa telah berhasil memaksa korban untuk mengamankan diri ke tempat lain.
Sejalan dengan yang di atas, Anderson dan Bushman dalam 'The Effects of Media Violence on Society' (dan dimuat dalam sciencemag.org) menyatakan, bahwa berbagai bentuk riset secara jelas menunjukkan adanya kaitan positif antara kekerasan yang ditampilkan media dan peningkatan agresi yang terjadi.
Studi eksperimental membuktikan hubungan kasual yang nyata. Percobaan laboratorium pun menghasilkan bukti yang jelas. Sementara, eksperimen di lapangan juga mengarahkan adanya dampak sebab-akibat dalam setting yang lebih alami. Selain itu, ini yang tidak kalah penting, studi lintas-cara (cross-sectional studies) menunjukkan hubungan erat antara media violence dengan jenis agresi di dunia nyata.
Memang ada yang meremehkan dampak program berita TV, khususnya karena anggapan bahwa program berita adalah ‘refleksi kebenaran realitas sehari-hari’, dan bahwa ia merupakan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai kekerasan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Tetapi, bila banyak studi belakangan kian menunjukkan bukti bahwa media violence memengaruhi kekerasan di tengah masyarakat, tidakkah perlu ada usaha pencegahan yang lebih serius terhadap hal itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar