Anda pasti miris melihat berbagai
kekerasan dan aksi premanisme di negara kita belakangan ini. Bukan hanya
di kalangan rakyat biasa, artis, dukun, dan tukang santet, tetapi
kejadian itu sudah melanda ke tengah keluarga, terhadap anak-anak dan remaja,
bahkan di antara petugas keamanan negara.
Tentu semuanya bukan masalah sederhana yang bisa
dengan mudah dicarikan solusinya, karena berbagai kejadian itu menyangkut
aspek sosial, ekonomi dan budaya mereka yang terlibat. Tetapi dari sisi komunikasi, kita bisa melihat
adanya peran media massa terhadap kekerasan -- khususnya televisi (TV).
Banyak pendapat soal ini yang dikemukakan para ahli komunikasi; sebagian
di antaranya mengedepankan perspekstif bahwa ada kemungkinan bahwa
penonton TV secara sadar atau tidak sadar meniru adegan yang ditontonnya
di layar kaca.
Sebagian pendapat lain menyatakan bahwa
banyaknya aksi kekerasan di media mendorong munculnya suasana ketakutan
di tengah penduduk, sehingga muncullah ketegangan di ‘dunia yang kejam’
dalam benak banyak orang.
Beberapa ahli seperti Gerbner dan kawan-kawan
menyatakan, bahwa akibat adanya anggapan 'dunia yang kejam' itu, maka
pecandu TV (heavy viewers, dalam istilah Gerbner) akan melebih-lebihkan
tingginya angka kekerasan atau kriminalitas yang terjadi di dunia nyata.
Bila pendapat itu bisa diterima, barangkali kita
jadi paham mengapa dalam praktek sehari-hari orang lalu mengambil sikap
seperti, 'berhubung dunia ini kejam, maka jalan terbaik untuk
menghindarkan diri dari kebatilan adalah dengan mempersenjatai diri, dan
jika perlu menyerang lebih dulu ketimbang diserang orang lain.'
Itulah sebabnya barangkali, mengapa saat terjadi
kecelakaan di jalan, meski dalam level hanya 'serempetan' sekali pun,
maka salah satu yang terlibat cenderung buru-buru 'menyerang' pihak
lainnya, walaupun pihak pertama itu yang sebenarnya bersalah.
Kita belum tahu bagaimana sebenarnya efek
program TV di Indonesia terhadap meruyaknya kekerasan, karena hal itu
memang patut diteliti secara seksama. Tetapi jika mengamati secara lebih
serius, dan Anda bisa membuktikannya sendiri, betapa sering TV kita
menayangkan berita kekerasan di sana-sini, bahkan dalam takaran yang
terkesan agak berlebihan. Over dosis. Sehingga puluhan teman saya
belakangan lebih suka menonton program TV asing yang disediakan TV cable
berbayar.
Jangan langsung percaya pendapat ini, tetapi
saksikanlah sendiri. Hitung dan kajilah. Perhatikan apa yang sering
muncul di layar kaca Anda: penduduk marah dan melabrak petugas Pemda,
remaja tawuran, polemik sesama politisi, artis ricuh dengan dukunnya,
calon hakim ‘membela’ pemerkosa, orang tua menggagahi anak sendiri, guru
‘ngerjain’ muridnya, suami memutilasi isteri sendiri gara-gara
perselingkuhannya terbongkar, ricuh di pengadilan, keributan di lapangan
bola, oknum aparat menyerang rekannya, dan preman serta penjahat yang
kian nekad.
Tak hanya itu. Di saat lain, kita melihat
sekelompok orang mengusir, membakar, bahkan membunuh saudara atau warga
tak berdosa sekampungnya (hanya gara-gara warga itu menganut aliran agama
yang berbeda), demonstran merusak fasilitas umum, dan pedagang kaki lima
(PKL) memecundangi aparat yang menertibkan mereka.
Sering di antara kekerasan itu dilakukan secara
tidak semena-mena oleh pihak yang sebenarnya bersalah -- misal PKL yang
menempati tanah negara, atau pengusir warga seagama yang beda aliran --
terhadap korban yang tak berdosa dengan tegangan amarah sangat tinggi,
meledak-ledak.
Boleh jadi banyak di antara kejadian itu berkait
dengan makin demokratisnya negara kita -- sehingga orang merasa bebas
untuk melakukan apa saja, termasuk 'bebas melabrak' pihak lain, tak
peduli apakah pihak lain itu aparat keamanan, teman, atau bahkan keluarga
sendiri.
Tetapi dari sisi komunikasi, banyak ahli
mensinyalir besarnya peran media, film dan hiburan terhadap berbagai
tindak kekerasan dan kekejaman itu. Belakangan, sinyalemen itu juga
menuding peran program berita, seperti hard news, buletin dan tayangan
‘current affairs’ kabar berbagai peristiwa.
Di antara ahli ada yang menduga bahwa berita
kekerasan – violent news – yang
ditayangkan TV menyebabkan meluasnya kekuatiran akan munculnya tindak
kriminal. Menurut mereka, ingatan pada tayangan violent news di TV
cenderung lebih kuat ketimbang jenis informasi lain, sehingga menjadikan
perilaku kriminalitas dan kekerasan kian berperan pada penonton.
Sebagaimana dikatakan Johnston & Davey dalam
buku ‘Media Psychology’ yang
ditulis David Giles (2008),
pada level pribadi, berita negatif terbukti meningkatkan kekuatiran
personal, meski pun berita itu tidak langsung berhubungan dengan isi
program yang sedang tayang.
Secara umum sering muncul kekuatiran adanya ‘copycat violence’ (kekerasan yang
dilakukan gara-gara meniru-niru belaka), khususnya yang terkait dengan
kericuhan masyarakat. Berbagai kericuhan di jalanan pada beberapa wilayah
perkotaan di Inggris, misalnya, seringkali muncul pada saat berbarengan,
dan jelas berperan sebagai katalisator bagi kericuhan-kericuhan di
wilayah-wilayah lain.
Barangkali begitu pula yang terjadi di
Indonesia. Entahlah. Yang jelas, di Jerman, hasil penelitian lain
menunjukkan bahwa serangan kelompok rasis ‘sayap kanan’ terhadap etnik
minoritas kentara sekali memiliki pola yang berkaitan dengan peliputan
media terhadap penyerangan-penyerangan sebelumnya.
Dalam kaitan itu, para peneliti juga melihat
hasil serangan-serangan yang terjadi. Pada serangan gelombang pertama,
misalnya, korban cenderung untuk pindah atau mengungsi ke daerah yang
lebih aman – yang boleh jadi merupakan tujuan utama yang diinginkan
penyerang. Ternyata, berita tentang pengungsian para korban itu menjadi
pemantik bagi gelombang penyerangan berikutnya.
Hal itu sangat mirip dengan yang disebut priming effect, yakni semacam
dampak ajakan yang seolah disengaja, saat mana para preman ‘sayap kanan’
di Jerman lebih mungkin melakukan penyerangan terhadap kelompok minoritas
jika mereka mendengar adanya serangan serupa telah berhasil memaksa
korban untuk mengamankan diri ke tempat lain.
Sejalan dengan yang di atas, Anderson dan
Bushman dalam 'The Effects of Media
Violence on Society' (dan dimuat dalam sciencemag.org) menyatakan, bahwa berbagai bentuk riset
secara jelas menunjukkan adanya kaitan positif antara kekerasan yang
ditampilkan media dan peningkatan agresi yang terjadi.
Studi eksperimental membuktikan hubungan kasual
yang nyata. Percobaan laboratorium pun menghasilkan bukti yang jelas.
Sementara, eksperimen di lapangan juga mengarahkan adanya dampak
sebab-akibat dalam setting yang lebih alami. Selain itu, ini yang tidak
kalah penting, studi lintas-cara (cross-sectional
studies) menunjukkan hubungan erat antara media violence dengan jenis agresi di dunia nyata.
Memang ada yang meremehkan dampak program berita
TV, khususnya karena anggapan bahwa program berita adalah ‘refleksi kebenaran realitas
sehari-hari’, dan bahwa ia merupakan kebutuhan masyarakat untuk
mendapatkan informasi mengenai kekerasan nyata dalam kehidupan
sehari-hari.
Tetapi, bila banyak studi belakangan kian
menunjukkan bukti bahwa media violence
memengaruhi kekerasan di tengah masyarakat, tidakkah perlu ada usaha
pencegahan yang lebih serius terhadap hal itu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar