Jumat, 12 April 2013

Thatcher, Disintegrasi Membayangi


Thatcher, Disintegrasi Membayangi
Toeti Prahas Adhitama  ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 12 April 2013

  
Margaret Thatcher telah berpulang. Negarawan Inggris yang cemerlang itu meninggalkan warisan berupa pesan untuk kita dalam bukunya Statecraft: Strategies for a Changing World (2002). Indonesia telah menarik perhatiannya karena negara ini masuk wilayah Asia yang meliputi sepertiga daratan dunia dan berpenduduk lebih dari separuh warga dunia. Dia meyakini bahwa di masa depan peran Asia makin penting.

Tentang Indonesia, antara lain, dia mengatakan, Barat bersikap sempit terhadap Indonesia karena informasi yang keliru. Masyarakat Barat seharusnya jangan tergoda untuk menggusur rezim yang tidak memuaskan bagi mereka tanpa memikirkan bagaimana akibat-akibatnya. Dia ingat kata-kata Duta Besar Amerika Jeane Kirkpatrick (19262006), “Dalam otokrasi tradisional, jaringan kekuasaan cepat rusak ketika kekuasaan dan status pimpinan tertinggi dirongrong atau dihapuskan.” 

Thatcher sangat tidak senang melihat negara-negara Barat, yang semula mendukung HM Soeharto ketika dia masih bermanfaat bagi dunia Barat, kemudian ikut mengumandangkan slogan-slogan pembela HAM tanpa mengakui sisi positif pemerintahan HM Soeharto untuk negaranya dan untuk Barat. “Maka selama kita (Barat) masih mampu, sekarang kita harus berusaha agar Indonesia bisa menjaga kelangsungannya dan terus berkembang.”

Satu wanti-wanti yang disampaikannya, walaupun ancaman subversi komunis di Asia Tenggara dan tempat-tempat lain sudah tidak ada lagi, adalah ancaman disintegrasi. Lebih dari dua dasawarsa yang lalu Thatcher sudah memiliki bayangan disintegrasi itu, terutama oleh daerah-daerah di Indonesia yang kaya akan sumber daya alam seperti Aceh, Papua, Riau, dan Kali mantan Timur. Sampai sekarang terbukti pembangkangan sekalisekali meletup antara lain akibat rasa ketidakadilan.

Menengarai Bibit-Bibit Disintegrasi

Selain karena rasa ketidakadilan, pembangkangan dan kerusuhan pada dasarnya dilandasi kecemburuan sosial akibat ketimpangan yang berlebihan, kemiskinan, sempitnya wawasan, dan kebodohan. Primordialisme marak karena alasan-alasan tersebut. Begitu pula premanisme. Migrasi penduduk ke tempat-tempat menjanjikan menjadi gejala di mana-mana. Tentu semula sebagian para migran itu tidak ada niat untuk membuat onar di tempat barunya. Tetapi desakan kenyataan hidup membuat mereka bersikap lain.
Tindakan nekat sering kali dilakukan kelompok-kelompok mereka dalam usaha mempertahankan kelangsungan hidup. Seperti kata jubir Polri, pihak kepolisian menyadari kenyataan itu dengan menyelenggarakan program-program untuk mengatasi pengangguran, walaupun tentu usaha mendamaikan suasana bukan tugas negara semata. Masyarakat pun wajib ikut meredam atau menghapus ancaman kerusuhan dan keresahan yang mengancam ketertiban.

Serangan di LP Cebongan, misalnya, tentu bukan bentuk usaha melawan ancaman terhadap ketertiban yang dikehendaki karena serangan itu melanggar hukum dan HAM. Tetapi dalam suasana kacau, tindakan balas dendam `an eye for an eye' tidak terhindarkan. Kusnanto Anggoro, pengajar masalah-masalah keamanan nasional dan strategi pertahanan dan kemiliteran, dalam Kolom Pakar Media Indonesia awal minggu ini antara lain menyatakan bahwa tidak mudah menjaga keseimbangan antara menegakkan keadilan terhadap para pelaku dan para korban penyerangan Cebongan. Karena keterbatasan politik ataupun perundangan, keadilan dari proses peradilan memang bersifat relatif.

Tantangan Ekonomi dan Sosial

Thatcher dalam tulisannya juga menyebutkan, dia tahu Indonesia tidak ingin membuat rakyatnya menderita. Tujuan kemerdekaan memang menyejahterakan rakyat. Tetapi tekanan-tekanan dalam negeri ataupun luar negeri, khususnya di bidang ekonomi, telah menciptakan suasana memprihatinkan yang mengancam integrasi bangsa. Mengatasi kesulitan ekonomi menjadi tantangan terbesar.

Di lain pihak, pertumbuhan ekonomi yang mengesankan seharusnya bisa dinikmati seluruh rakyat. Pemerataan pendapatan menjadi keniscayaan, yang hanya bisa diwujudkan dengan bangkitnya rasa kepedulian. Departemen Sosial pernah mengadakan diskusi tentang perlunya menumbuhkan kesadaran dan kepedulian sosial.

Kepedulian sosial antarindividu, antarkelompok, antaranggota masyarakat ataupun antarwilayah bisa dipakai sebagai antidot untuk kecemburuan sosial yang menjadi salah satu bibit disintegrasi dan ekses-eksesnya, termasuk primordialisme dan premanisme di semua bidang dan tingkat. Tentu sekali bila idealistis bisa membangkitkan kepedulian sosial, tetapi sulit dilaksanakan dan bukannya belum pernah dicoba.

Buruknya, perkembangan ekonomi dan politik makin lama membuat kita makin bersikap individualistis. Dalam tahun menjelang pemilu ini, heboh mengejar kekuasaan dan materi marak di manamana. Banyak yang mengambil jalan pintas dengan korupsi. Globalisasi menjadi kambing hitam. Bagaimana mengatasinya? Sejarawan Inggris Arnold Toynbee (18891975) pernah mengatakan : “...penyakit masyarakat modern hanya dapat disembuhkan oleh revolusi spiritual dalam hati dan pikiran umat manusia.” Untuk masyarakat kita, yang diperlukan adalah landasan spiritual--ajaran agama dan falsafah Pancasila, misalnya--yang berkaitan secara mendalam dengan nilai-nilai masyarakat kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar