Margaret Thatcher telah
berpulang. Negarawan Inggris yang cemerlang itu meninggalkan warisan
berupa pesan untuk kita dalam bukunya Statecraft:
Strategies for a Changing World (2002). Indonesia telah menarik
perhatiannya karena negara ini masuk wilayah Asia yang meliputi sepertiga
daratan dunia dan berpenduduk lebih dari separuh warga dunia. Dia
meyakini bahwa di masa depan peran Asia makin penting.
Tentang Indonesia, antara lain, dia
mengatakan, Barat bersikap sempit terhadap Indonesia karena informasi
yang keliru. Masyarakat Barat seharusnya jangan tergoda untuk menggusur
rezim yang tidak memuaskan bagi mereka tanpa memikirkan bagaimana
akibat-akibatnya. Dia ingat kata-kata Duta Besar Amerika Jeane
Kirkpatrick (19262006), “Dalam
otokrasi tradisional, jaringan kekuasaan cepat rusak ketika kekuasaan dan
status pimpinan tertinggi dirongrong atau dihapuskan.”
Thatcher
sangat tidak senang melihat negara-negara Barat, yang semula mendukung HM
Soeharto ketika dia masih bermanfaat bagi dunia Barat, kemudian ikut
mengumandangkan slogan-slogan pembela HAM tanpa mengakui sisi positif
pemerintahan HM Soeharto untuk negaranya dan untuk Barat. “Maka selama kita (Barat) masih mampu,
sekarang kita harus berusaha agar Indonesia bisa menjaga kelangsungannya
dan terus berkembang.”
Satu wanti-wanti yang
disampaikannya, walaupun ancaman subversi komunis di Asia Tenggara dan
tempat-tempat lain sudah tidak ada lagi, adalah ancaman disintegrasi. Lebih
dari dua dasawarsa yang lalu Thatcher sudah memiliki bayangan
disintegrasi itu, terutama oleh daerah-daerah di Indonesia yang kaya akan
sumber daya alam seperti Aceh, Papua, Riau, dan Kali mantan Timur. Sampai
sekarang terbukti pembangkangan sekalisekali meletup antara lain akibat
rasa ketidakadilan.
Menengarai Bibit-Bibit Disintegrasi
Selain karena rasa
ketidakadilan, pembangkangan dan kerusuhan pada dasarnya dilandasi
kecemburuan sosial akibat ketimpangan yang berlebihan, kemiskinan,
sempitnya wawasan, dan kebodohan. Primordialisme marak karena
alasan-alasan tersebut. Begitu pula premanisme. Migrasi penduduk ke
tempat-tempat menjanjikan menjadi gejala di mana-mana. Tentu semula
sebagian para migran itu tidak ada niat untuk membuat onar di tempat
barunya. Tetapi desakan kenyataan hidup membuat mereka bersikap lain.
Tindakan nekat sering kali dilakukan kelompok-kelompok mereka dalam usaha
mempertahankan kelangsungan hidup. Seperti kata jubir Polri, pihak
kepolisian menyadari kenyataan itu dengan menyelenggarakan
program-program untuk mengatasi pengangguran, walaupun tentu usaha
mendamaikan suasana bukan tugas negara semata. Masyarakat pun wajib ikut
meredam atau menghapus ancaman kerusuhan dan keresahan yang mengancam
ketertiban.
Serangan di LP Cebongan, misalnya, tentu
bukan bentuk usaha melawan ancaman terhadap ketertiban yang dikehendaki
karena serangan itu melanggar hukum dan HAM. Tetapi dalam suasana kacau,
tindakan balas dendam `an eye for
an eye' tidak terhindarkan. Kusnanto Anggoro, pengajar
masalah-masalah keamanan nasional dan strategi pertahanan dan
kemiliteran, dalam Kolom Pakar Media Indonesia awal minggu ini antara
lain menyatakan bahwa tidak mudah menjaga keseimbangan antara menegakkan
keadilan terhadap para pelaku dan para korban penyerangan Cebongan.
Karena keterbatasan politik ataupun perundangan, keadilan dari proses
peradilan memang bersifat relatif.
Tantangan
Ekonomi dan Sosial
Thatcher dalam tulisannya juga menyebutkan,
dia tahu Indonesia tidak ingin membuat rakyatnya menderita. Tujuan
kemerdekaan memang menyejahterakan rakyat. Tetapi tekanan-tekanan dalam
negeri ataupun luar negeri, khususnya di bidang ekonomi, telah
menciptakan suasana memprihatinkan yang mengancam integrasi bangsa.
Mengatasi kesulitan ekonomi menjadi tantangan terbesar.
Di lain pihak, pertumbuhan ekonomi yang
mengesankan seharusnya bisa dinikmati seluruh rakyat. Pemerataan
pendapatan menjadi keniscayaan, yang hanya bisa diwujudkan dengan
bangkitnya rasa kepedulian. Departemen Sosial pernah mengadakan diskusi
tentang perlunya menumbuhkan kesadaran dan kepedulian sosial.
Kepedulian sosial antarindividu,
antarkelompok, antaranggota masyarakat ataupun antarwilayah bisa dipakai
sebagai antidot untuk kecemburuan sosial yang menjadi salah satu bibit
disintegrasi dan ekses-eksesnya, termasuk primordialisme dan premanisme
di semua bidang dan tingkat. Tentu sekali bila idealistis bisa
membangkitkan kepedulian sosial, tetapi sulit dilaksanakan dan bukannya
belum pernah dicoba.
Buruknya, perkembangan ekonomi dan
politik makin lama membuat kita makin bersikap individualistis. Dalam
tahun menjelang pemilu ini, heboh mengejar kekuasaan dan materi marak di
manamana. Banyak yang mengambil jalan pintas dengan korupsi. Globalisasi
menjadi kambing hitam. Bagaimana mengatasinya? Sejarawan Inggris Arnold
Toynbee (18891975) pernah mengatakan : “...penyakit masyarakat modern hanya dapat disembuhkan oleh
revolusi spiritual dalam hati dan pikiran umat manusia.” Untuk
masyarakat kita, yang diperlukan adalah landasan spiritual--ajaran agama
dan falsafah Pancasila, misalnya--yang berkaitan secara mendalam dengan
nilai-nilai masyarakat kita sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar