Makin menguat, semacam gerakan anti-premanisme di
Yogyakarta. Antara anti-premanisme dan anti-preman terdapat beda makna
yang signifikan. Preman identik persona yang dekat dengan kekerasan, baik
kekerasan fisik maupun kekerasan psikologis. Inti gerakan
anti-premanisme, hasrat hidup tanpa kekerasan. Melawan kekerasan tidak
dengan kekerasan. Mungkinkah? Mungkin, karena Yogya (baca: Jawa) punya
semacam "ajian",
"sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti". Artinya,
seberani, sekejam, dan sekuat apa pun keunggulan kejahatan kekerasan
pasti akan takluk oleh perbuatan luhur dan lembut berkesantunan.
Secara historis-kultural, pangkal premanisme selalu
ada dalam perjalanan sejarah masyarakat mana pun. Dalam masyarakat
tradisional agraris di masa lalu maupun masyarakat modern-industri saat
ini, perilaku premanisme selalu ada. Premanisme seakan telah menjadi
fakta permanen yang tidak lagi sekadar gejala. Namun aksi preman selalu
menyubur di antara kelengahan kultural, kesalehan sosial yang meredup,
dan penegakan hukum yang melemah atau bahkan praktek penegakan hukum yang
justru menyerupai aksi preman.
Perilaku preman sering dimaknai perbuatan menyimpang
yang jahat, bersifat kekerasan, serta mengganggu ketenteraman,
ketertiban, dan rasa aman masyarakat. Pelaku premanisme sering ditujukan
kepada manusia bebas (free man),
seseorang atau sekelompok kecil rakyat biasa, padahal bisa saja tabiat
premanisme juga dilakukan oleh alat negara atau mereka yang punya
kewenangan terinstitusi seperti aparat keamanan, penguasa ekonomi, dan
pejabat birokrasi.
Yang jauh lebih penting bukanlah "memberantas preman", melainkan membasmi perilaku
premanisme. Sebab, premanisme tidak selalu hanya dilakukan oleh para
preman, dalam arti preman sebagaimana dimaknai selama ini. Membasmi
premanisme tidak identik dengan "membasmi preman". Penembakan
misterius (petrus) atas gali (gabungan anak liar) alias preman pada
1980-an di Yogya dan di sejumlah kota lainnya adalah contoh nyata
pemberantasan premanisme sekaligus pembasmian preman. Memang sesaat
tampak mujarab, namun hanya meredam gejala, tidak menyentuh penyelesaian
akar masalahnya. Sampai kini, peristiwa itu menyisakan catatan hitam,
menumpas kekerasan lewat jalan kekerasan pula.
Ketika fungsi negara tidur, peran pemerintah melemah,
tangan aparat keamanan kesemutan, anggota parlemen mengigau, penegakan
hukum melempem dan kinerjanya compang camping, inisiasi dan keswadayaan
masyarakat terbunuh, maka naluri premanisme menyubur di semua lapisan.
Sedangkan kemunculan dan praktek hitam sosok preman hanyalah salah satu
imbas merebaknya premanisme. Kebermunculan dan kiprah sosok preman sangat
mungkin sebagai bentuk ekspresi ketidakpuasan terhadap keadaan, di
samping tuduhan utamanya sebagai oknum biang kerok tindak kriminal
sehari-hari dalam masyarakat.
Membasmi premanisme wajib dan harus. Tetapi, membasmi
"preman"? Hukum harus
tegak. Penegakan hukum harus tidak dengan melawan hukum. Bersamaan dengan
itu, preman sebagai sosok pribadi bagian dari anggota masyarakat
selayaknya "dirumahkan" ke dalam kerahiman jati dirinya sebagai
makhluk sosial, insan berbudaya, bagian dari peradaban. Namun, jauh lebih
penting dari itu, "desain
rumah budaya" dalam masyarakat semestinya mampu meredam
perebakan kelahiran preman. Dan, Yogyakarta bersama masyarakatnya
selayaknya mampu memainkan peran-peran pencegahan berkembangnya
premanisme dan/atau lahirnya preman-preman baru, yaitu dengan
memanfaatkan kekuatan budaya berkeyogyaan. Mungkin saja, "rumah budaya berkeyogyaan"
itu selama ini terlewatkan dan tak terawat.
Sebagai "rumah
budaya", Yogyakarta punya kekuatan akulturatif. Kekuatan ini
mensyaratkan kesediaan "memberi dan menerima" (sithik edhing), saling menghargai
(rasa-rumangsa), dan saling
jaga-ukur diri (tepa slira).
Yogya sejak zaman Mataram telah bisa dan terbiasa menerima kehadiran liyan (the others) yang beragam etnis Nusantara dan manca. Mereka
yang datang umumnya punya pegangan "di
mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung". Sementara itu,
Yogya punya prinsip dasar pergaulan sesama, manjing ajur ajer, melebur menyatu berkesetaraan. Dua prinsip
dasar bekal akulturasi itu bisa diperkawinkan, klop. Namun, sejarah
membuktikan, selalu ada penyimpangan dan penolakan atas perjodohan
kultural itu. Dan, sejarah juga mencatat, ada banyak penumpasan lewat
jalan kekerasan atas pembangkangan kultural ini. Bertemunya prinsip manjing ajur ajer dengan "di mana bumi dipijak, di situ
langit dijunjung" adalah resep dasar peredam lahirnya preman
berbasis etnis. Walau, sejatinya, akar masalah preman dan premanisme
tidak langsung terkait dengan etnis.
Premanisme oleh preman sebenarnya kalah
banyak dibanding premanisme oleh bukan preman (preman sebagaimana
diartikan selama ini). Namun keyakinan pada prinsip "sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti"
harus terus diaktualisasi. Musuh utama prinsip ini adalah sikap yang
membuang jauh prinsip hidup "di
mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung", "manjing ajur
ajer", serta menggantinya dengan sikap tidak tahu diri dan abai
terhadap prinsip dasar sithik
edhing, rasa rumangsa, dan tepa slira. Preman memang sosok yang
sedang kehilangan prinsip dan sikap hidup berbagi. Kehilangan kasih
kepada sesama. Lewat kasih sayang (pangastuti), para preman (tanpa sekat
etnisitas), bersama-sama diajak kembali ke "rumah budaya berkeyogyaan". Barangkali saja, rumah
yang dimaksudkan telah tiada, dilupakan oleh pemangku dan pamengkunya.
Siapa mereka? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar