Jumat, 12 April 2013

Redam Preman Lewat Kultur Yogya


Redam Preman Lewat Kultur Yogya
Purwadmadi  ;  Penulis Lepas, Pemerhati Seni-Budaya;
Pengelola Toyamillet Art & Edu Promo, Yogyakarta
KORAN TEMPO, 12 April 2013


Makin menguat, semacam gerakan anti-premanisme di Yogyakarta. Antara anti-premanisme dan anti-preman terdapat beda makna yang signifikan. Preman identik persona yang dekat dengan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan psikologis. Inti gerakan anti-premanisme, hasrat hidup tanpa kekerasan. Melawan kekerasan tidak dengan kekerasan. Mungkinkah? Mungkin, karena Yogya (baca: Jawa) punya semacam "ajian", "sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti". Artinya, seberani, sekejam, dan sekuat apa pun keunggulan kejahatan kekerasan pasti akan takluk oleh perbuatan luhur dan lembut berkesantunan.

Secara historis-kultural, pangkal premanisme selalu ada dalam perjalanan sejarah masyarakat mana pun. Dalam masyarakat tradisional agraris di masa lalu maupun masyarakat modern-industri saat ini, perilaku premanisme selalu ada. Premanisme seakan telah menjadi fakta permanen yang tidak lagi sekadar gejala. Namun aksi preman selalu menyubur di antara kelengahan kultural, kesalehan sosial yang meredup, dan penegakan hukum yang melemah atau bahkan praktek penegakan hukum yang justru menyerupai aksi preman. 

Perilaku preman sering dimaknai perbuatan menyimpang yang jahat, bersifat kekerasan, serta mengganggu ketenteraman, ketertiban, dan rasa aman masyarakat. Pelaku premanisme sering ditujukan kepada manusia bebas (free man), seseorang atau sekelompok kecil rakyat biasa, padahal bisa saja tabiat premanisme juga dilakukan oleh alat negara atau mereka yang punya kewenangan terinstitusi seperti aparat keamanan, penguasa ekonomi, dan pejabat birokrasi.

Yang jauh lebih penting bukanlah "memberantas preman", melainkan membasmi perilaku premanisme. Sebab, premanisme tidak selalu hanya dilakukan oleh para preman, dalam arti preman sebagaimana dimaknai selama ini. Membasmi premanisme tidak identik dengan "membasmi preman". Penembakan misterius (petrus) atas gali (gabungan anak liar) alias preman pada 1980-an di Yogya dan di sejumlah kota lainnya adalah contoh nyata pemberantasan premanisme sekaligus pembasmian preman. Memang sesaat tampak mujarab, namun hanya meredam gejala, tidak menyentuh penyelesaian akar masalahnya. Sampai kini, peristiwa itu menyisakan catatan hitam, menumpas kekerasan lewat jalan kekerasan pula.

Ketika fungsi negara tidur, peran pemerintah melemah, tangan aparat keamanan kesemutan, anggota parlemen mengigau, penegakan hukum melempem dan kinerjanya compang camping, inisiasi dan keswadayaan masyarakat terbunuh, maka naluri premanisme menyubur di semua lapisan. Sedangkan kemunculan dan praktek hitam sosok preman hanyalah salah satu imbas merebaknya premanisme. Kebermunculan dan kiprah sosok preman sangat mungkin sebagai bentuk ekspresi ketidakpuasan terhadap keadaan, di samping tuduhan utamanya sebagai oknum biang kerok tindak kriminal sehari-hari dalam masyarakat.

Membasmi premanisme wajib dan harus. Tetapi, membasmi "preman"? Hukum harus tegak. Penegakan hukum harus tidak dengan melawan hukum. Bersamaan dengan itu, preman sebagai sosok pribadi bagian dari anggota masyarakat selayaknya "dirumahkan" ke dalam kerahiman jati dirinya sebagai makhluk sosial, insan berbudaya, bagian dari peradaban. Namun, jauh lebih penting dari itu, "desain rumah budaya" dalam masyarakat semestinya mampu meredam perebakan kelahiran preman. Dan, Yogyakarta bersama masyarakatnya selayaknya mampu memainkan peran-peran pencegahan berkembangnya premanisme dan/atau lahirnya preman-preman baru, yaitu dengan memanfaatkan kekuatan budaya berkeyogyaan. Mungkin saja, "rumah budaya berkeyogyaan" itu selama ini terlewatkan dan tak terawat.

Sebagai "rumah budaya", Yogyakarta punya kekuatan akulturatif. Kekuatan ini mensyaratkan kesediaan "memberi dan menerima" (sithik edhing), saling menghargai (rasa-rumangsa), dan saling jaga-ukur diri (tepa slira). Yogya sejak zaman Mataram telah bisa dan terbiasa menerima kehadiran liyan (the others) yang beragam etnis Nusantara dan manca. Mereka yang datang umumnya punya pegangan "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung". Sementara itu, Yogya punya prinsip dasar pergaulan sesama, manjing ajur ajer, melebur menyatu berkesetaraan. Dua prinsip dasar bekal akulturasi itu bisa diperkawinkan, klop. Namun, sejarah membuktikan, selalu ada penyimpangan dan penolakan atas perjodohan kultural itu. Dan, sejarah juga mencatat, ada banyak penumpasan lewat jalan kekerasan atas pembangkangan kultural ini. Bertemunya prinsip manjing ajur ajer dengan "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung" adalah resep dasar peredam lahirnya preman berbasis etnis. Walau, sejatinya, akar masalah preman dan premanisme tidak langsung terkait dengan etnis.

Premanisme oleh preman sebenarnya kalah banyak dibanding premanisme oleh bukan preman (preman sebagaimana diartikan selama ini). Namun keyakinan pada prinsip "sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti" harus terus diaktualisasi. Musuh utama prinsip ini adalah sikap yang membuang jauh prinsip hidup "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung", "manjing ajur ajer", serta menggantinya dengan sikap tidak tahu diri dan abai terhadap prinsip dasar sithik edhing, rasa rumangsa, dan tepa slira. Preman memang sosok yang sedang kehilangan prinsip dan sikap hidup berbagi. Kehilangan kasih kepada sesama. Lewat kasih sayang (pangastuti), para preman (tanpa sekat etnisitas), bersama-sama diajak kembali ke "rumah budaya berkeyogyaan". Barangkali saja, rumah yang dimaksudkan telah tiada, dilupakan oleh pemangku dan pamengkunya. Siapa mereka?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar