Senin, 08 April 2013

Gejala Setuju Main Hakim Sendiri


Gejala Setuju Main Hakim Sendiri
Richo Andi Wibowo ;   Dosen FH UGM; Peneliti di Institute of Constitutional and Administrative Law, Utrecht University, the Netherlands
JAWA POS, 08 April 2013

  
Pengungkapan kasus penyerbuan ke Lapas Cebongan, Jogjakarta, diiringi gejala menarik dalam persepsi masyarakat. Seperti diberitakan, investigasi internal TNI menemukan 11 orang anggota Group 2 Kopassus Kandang Menjangan menjadi tersangka penyerangan -sembilan orang di antara mereka mengaku terlibat langsung. 

Ada yang berpendapat, temuan itu menunjukan bahwa TNI mau membuka diri dan tidak melindungi anggota yang salah. Namun, ada yang menginginkan investigasi tidak berhenti pada operator lapangan saja, melainkan perlu dilanjutkan untuk mencari kemungkinan tokoh intelektual (intellectuele dader) di belakang penyerbuan tersebut. 

Berdasar hasil uji petik di portal berita online (hingga per 07/04/2013 pukul 15.31) persepsi masyarakat tampak mengejutkan: mayoritas justru mendukung pembantaian preman di lapas yang dilakukan oleh anggota Kopassus!

Sebagai contoh, berita TNI: Prajurit Mengaku setelah 2 Hari Tim Investigasi Dibentuk yang dimuat di Detiknews, mendapat 90 respons. Lebih dari setengah komentar tersebut menyatakan mendukung tindakan Kopassus dalam membunuh preman. Hanya 13 persen yang bernuansa mengutuk insiden Cebongan. Sisanya adalah komentar netral. 

Berita lain yang ditayangkan oleh vivanews.com yang berjudul Ungkap Kasus Cebongan, Ada Budaya Baru di Militer? mendapat 27 komentar. Sebanyak 70 persen mendukung Kopassus dalam eksekusi preman. Sisanya adalah komentar yang tidak relevan dan komentar netral. Tidak ada yang menghujat Kopassus. 

Terhadap hal itu, filsof hukum terkemuka Jeremy Bentham berpendapat bahwa opini publik memang dapat berpotensi salah (error or misleading). Namun, opini tersebut tidak akan mungkin bersikap koruptif (Baume and Papadopoulos, 2012). Pandangan masyarakat tersebut cenderung polos, jujur, dan apa adanya. 

Hukum jelas tidak membenarkan sikap publik yang mendukung pembantaian Hendrik cs. Kopassus tidak memiliki kewenangan mengeksekusi/menghukum masyarakat sipil sekalipun mereka adalah preman. Terlebih lagi jika yang bersangkutan belum mendapat haknya atas free trial di pengadilan. 

Merebut Kepercayaan 

Lalu, mengapa para komentator tersebut mendukung penyerangan lapas? Sebab, mereka gamang dalam bersikap. Dari sudut pandang filosofis, diyakini bahwa sikap gamang itu dipicu oleh kegagalan institusi penegak hukum dalam menjalankan peran pembelajarannya. Lemahnya penegakan hukum serta maraknya putusan hakim yang bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat membuat kekecewaan. 

Tak heran, masyarakat (bahkan aparat negara sendiri) kehilangan kepercayaan (trust) terhadap hukum. Jika melihat rekam jejak Hendrik Sahetapy alias Dicky Ambon, pentolan preman yang dibunuh oleh oknum Kopassus itu; tampak bahwa dia memiliki catatan hitam seperti membunuh dan memerkosa. Vonisnya ringan, hanya 2,5 tahun dan 3,5 tahun penjara.

Secara common sense, masyarakat awam pun dapat merasakan bahwa dua vonis pengadilan tersebut terlampau ringan. Putusan hakim itu, baik secara sadar maupun tidak sadar, juga menjadi pemicu pergerakan ''liar'' oknum Kopassus. Wajar bila terpahat keyakinan bahwa hukuman Hendirk akan kembali tidak setimpal. Karena itu, mereka tidak perlu berharap lagi kepada hukum. Dan, mereka akhirnya memutuskan untuk ''menegakkan hukum'' ala mereka sendiri. 

Akibat lanjutannya, masyarakat pun menoleransi, bahkan menyetujui penggunaan penyelesaian masalah hukum secara ilegal. Simpulan ini seakan memperkuat hasil penelitian Marien dan Hooghe di berbagai negara Uni Eropa (2011). Negara yang gagal membangun kepercayaan terhadap sistem hukum biasanya memiliki masyarakat yang lebih toleran terhadap kegiatan yang melanggar hukum. 

Berkaca dari ini semua, hendaknya seluruh elemen masyarakat melakukan refleksi atas insiden Cebongan tersebut. Jangan sampai kita telampau fokus kepada masalah ''permukaan'' seperti masalah pergerakan pasukan liar, masalah HAM, atau lainnya.

Kita juga perlu menyelesaikan PR yang lebih besar, yaitu akar masalah distrust atau ketidakpercayaan publik terhadap sistem dan aparat hukum. Hal itu penting karena selama akar masalah tersebut belum diselesaikan secara memadai, selama itu pula kejadian serupa akan terulang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar