Pengungkapan kasus penyerbuan ke Lapas
Cebongan, Jogjakarta, diiringi gejala menarik dalam persepsi masyarakat.
Seperti diberitakan, investigasi internal TNI menemukan 11 orang anggota
Group 2 Kopassus Kandang Menjangan menjadi tersangka penyerangan
-sembilan orang di antara mereka mengaku terlibat langsung.
Ada yang berpendapat, temuan itu menunjukan bahwa TNI mau membuka
diri dan tidak melindungi anggota yang salah. Namun, ada yang
menginginkan investigasi tidak berhenti pada operator lapangan saja,
melainkan perlu dilanjutkan untuk mencari kemungkinan tokoh intelektual (intellectuele
dader) di belakang penyerbuan tersebut.
Berdasar hasil uji petik di portal berita online (hingga per 07/04/2013 pukul
15.31) persepsi masyarakat tampak mengejutkan: mayoritas justru mendukung
pembantaian preman di lapas yang dilakukan oleh anggota Kopassus!
Sebagai contoh, berita TNI:
Prajurit Mengaku setelah 2 Hari Tim Investigasi Dibentuk yang dimuat di Detiknews, mendapat 90
respons. Lebih dari setengah komentar tersebut menyatakan mendukung
tindakan Kopassus dalam membunuh preman. Hanya 13 persen yang bernuansa
mengutuk insiden Cebongan. Sisanya adalah komentar netral.
Berita lain yang ditayangkan oleh vivanews.com yang berjudul Ungkap Kasus Cebongan, Ada
Budaya Baru di Militer? mendapat
27 komentar. Sebanyak 70 persen mendukung Kopassus dalam eksekusi preman.
Sisanya adalah komentar yang tidak relevan dan komentar netral. Tidak ada
yang menghujat Kopassus.
Terhadap hal itu, filsof hukum terkemuka Jeremy Bentham berpendapat bahwa
opini publik memang dapat berpotensi salah (error or misleading). Namun, opini tersebut tidak akan
mungkin bersikap koruptif (Baume and Papadopoulos, 2012).
Pandangan masyarakat tersebut cenderung polos, jujur, dan apa adanya.
Hukum jelas tidak membenarkan sikap publik yang mendukung pembantaian
Hendrik cs. Kopassus tidak memiliki kewenangan mengeksekusi/menghukum
masyarakat sipil sekalipun mereka adalah preman. Terlebih lagi jika yang
bersangkutan belum mendapat haknya atas free
trial di pengadilan.
Merebut Kepercayaan
Lalu, mengapa para komentator tersebut mendukung penyerangan lapas?
Sebab, mereka gamang dalam bersikap. Dari sudut pandang filosofis,
diyakini bahwa sikap gamang itu dipicu oleh kegagalan institusi penegak
hukum dalam menjalankan peran pembelajarannya. Lemahnya penegakan hukum
serta maraknya putusan hakim yang bertentangan dengan rasa keadilan
masyarakat membuat kekecewaan.
Tak heran, masyarakat (bahkan aparat negara sendiri) kehilangan
kepercayaan (trust) terhadap hukum. Jika melihat
rekam jejak Hendrik Sahetapy alias Dicky Ambon, pentolan preman yang
dibunuh oleh oknum Kopassus itu; tampak bahwa dia memiliki catatan hitam
seperti membunuh dan memerkosa. Vonisnya ringan, hanya 2,5 tahun dan 3,5
tahun penjara.
Secara common sense,
masyarakat awam pun dapat merasakan bahwa dua vonis pengadilan tersebut
terlampau ringan. Putusan hakim itu, baik secara sadar maupun tidak
sadar, juga menjadi pemicu pergerakan ''liar'' oknum Kopassus. Wajar bila
terpahat keyakinan bahwa hukuman Hendirk akan kembali tidak setimpal.
Karena itu, mereka tidak perlu berharap lagi kepada hukum. Dan, mereka akhirnya memutuskan
untuk ''menegakkan hukum'' ala mereka sendiri.
Akibat lanjutannya, masyarakat pun menoleransi, bahkan menyetujui
penggunaan penyelesaian masalah hukum secara ilegal. Simpulan ini seakan
memperkuat hasil penelitian Marien dan Hooghe di berbagai negara Uni
Eropa (2011). Negara yang gagal membangun kepercayaan terhadap sistem
hukum biasanya memiliki masyarakat yang lebih toleran terhadap kegiatan
yang melanggar hukum.
Berkaca dari ini semua, hendaknya seluruh elemen masyarakat melakukan
refleksi atas insiden Cebongan tersebut. Jangan sampai kita telampau
fokus kepada masalah ''permukaan'' seperti masalah pergerakan pasukan
liar, masalah HAM, atau lainnya.
Kita juga perlu menyelesaikan PR yang lebih besar, yaitu akar masalah distrust atau ketidakpercayaan publik
terhadap sistem dan aparat hukum. Hal itu penting karena selama akar
masalah tersebut belum diselesaikan secara memadai, selama itu pula
kejadian serupa akan terulang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar