DPR lewat voting di komisi XI akhirnya
menyetujui Agus Martowardojo sebagai gubernur Bank Indonesia (BI)
menggantikan Darmin Nasution yang habis masa jabatannya pada Mei 2013.
Pemilihan Agus lumayan dramatis. Pertama,
pada 2008, dia pernah diajukan untuk posisi yang sama oleh presiden
(bersama dengan Raden Pardede), tapi ditolak oleh DPR (komisi XI). Kedua, kali ini presiden
hanya mengajukan satu nama sehingga terbetik rumor. Salah satu di
antaranya, Agus memang hendak ''disingkirkan'' dari kabinet karena
beberapa kebijakan dan sikapnya tidak seirama dengan ''kepentingan''
pemerintah. Masih banyak rumor lain, namun tentu sulit memverifikasi
kebenarannya. Oleh karena itu, lebih berfaedah bila menganalisis figur
Agus Martowardojo terkait dengan tugas baru dan komitmennya sebagai
gubernur BI.
Isu Strategis
Hal penting adalah adanya perubahan tugas pokok BI pasca terbentuknya OJK
(Otoritas Jasa Keuangan). Pada Januari 2014, tugas pengawasan perbankan
(pada level mikro-prudensial) dialihkan ke OJK, tidak lagi oleh BI.
Fungsi pokok BI ke depan lebih banyak diarahkan untuk menjaga stabilitas
makroekonomi, kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan makro-prudensial
perbankan. Tugas gubernur BI tecermin pada tugas pokok tersebut. Selain
itu, perlu kecakapan berkoordinasi dengan OJK terkait dengan aspek makro
dan mikro-prudensial karena, meski mudah dipetakan, dalam implementasi
tidaklah gampang. Diperlukan kesamaan pandangan antara BI dan OJK, serta
lebih penting daripada itu koordinasi yang sungguh-sungguh mesti
dijalankan (bukan basa-basi seperti yang kerap terjadi).
Dari tugas pokok tersebut bisa diturunkan menjadi isu-isu strategis yang
lebih operasional agar misi BI bermanfaat bagi penguatan kinerja ekonomi
nasional.Pertama, dari sisi stabilitas makroekonomi, dukungan
terhadap kualitas pertumbuhan ekonomi dan pengendalian inflasi merupakan
hal yang niscaya. Di luar itu, dorongan kepada sektor riil (pertanian dan
industri) juga terpantul dari keseluruhan kebijakan BI agar problem
kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan lebih mudah diurai. Kedua, dari aspek
kebijakan moneter, sasaran yang utama ialah merumuskan tatanan kebijakan
aliran modal yang memiliki implikasi terhadap fluktuasi nilai tukar dan
cadangan devisa, plus kebijakan penentuan BI rate yang diharapkan berkorelasi dengan
tingkat suku bunga perbankan. Ketiga,
pada sistem pembayaran, hal yang diperlukan oleh perbankan dan masyarakat
adalah perbaikan teknologi, efisiensi pembayaran, dan kepercayaan mata
uang nasional.
Dengan bersandar kepada isu strategis di atas, gubernur BI mendatang
diharapkan bisa mendesain lima kebijakan berikut: (i) menjaga suku bunga
pada level rendah, khususnya mempercepat gerak sektor riil; (ii) membuat
stabilitas nilai tukar melalui kebijakan moneter yang solid dan
progresif, misalnya mengendalikan sistem lalu lintas devisa bebas; (iii)
mengombinasikan tiga kebijakan yang saling terkait, yakni penentuan giro
wajib minimum (makro-prudensial), sistem devisa, dan perkreditan. Itu
tantangan yang rumit sehingga diperlukan figur yang kompeten dan punya
sensitivitas makroekonomi yang mumpuni; (iv) memperbaiki kepercayaan mata
uang rupiah pada level internasional, yang tidak dapat disederhanakan
hanya dengan kebijakan redenominasi; dan (v) mengawal masa transisi
kewenangan pengawasan perbankan dari BI ke OJK, khususnya terkait dengan
stabilitas sistem keuangan yang diharuskan bekerja sama dengan Kemenkeu,
OJK, dan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan).
Menjawab Keraguan
Mencermati hal-hal di atas, saya sejak awal berpendapat, Agus bukan figur
yang tepat sebagai gubernur BI. Pertama,
kompetensi Agus yang memiliki jam terbang lama di dunia perbankan
(khususnya mikro-prudensial) tidak kompatibel dengan tugas pokok BI saat
ini. Justru dia lebih tepat jika duduk di lembaga semacam OJK atau LPS. Kedua, sampai sekarang
belum pernah ada gubernur BI yang memiliki latar belakang industri
(perbankan) seperti Agus. Pada saat kritik terhadap operasi perbankan
mencuat seperti saat ini, diperlukan figur yang kalis dari benturan
kepentingan agar perbaikan perbankan lebih dimungkinkan, terutama lewat
kebijakan makro-prudensial. Ketiga,
pada saat ekonomi berawan dan tugas di Kemenku tinggal 1,5 tahun, rasanya
terlalu riskan jika posisi itu ditinggalkan dan harus digantikan orang
lain yang perlu beradaptasi.
Pertimbangan kedua dan ketiga di atas memang berbobot opini, tapi ada
potensi terjadi. Selebihnya, DPR (lewat komisi XI) sudah mengambil
keputusan, yang diimbuhi dengan 14 catatan yang harus dilakukan oleh Agus
Martowardojo. Terkait dengan catatan itu, komitmen yang harus ditagih
adalah: (a) menjaga stabilitas sektor keuangan yang tidak sekadar
dipahami dengan model seperti selama ini, namun butuh pendekatan baru
yang lebih strukturalis, seperti yang dilakukan Tiongkok atau Malaysia,
khususnya terkait aliran modal; (b) dukungan terhadap sektor riil yang
konkret, seperti alokasi kredit ke sektor pertanian dan UMKM; dan (c)
menyusun kebijakan penurunan NIM (net interest margin) yang
terkait dengan suku bunga dan penurunan BOPO (biaya operasional terhadap
pendapatan operasional) yang berhubungan dengan efisiensi perbankan lewat
kebijakan makro-prudensial. Jika tiga hal tersebut bisa dilakukan dalam
jangka pendek, keraguan terhadap kemampuan nakhoda baru BI menjadi batal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar