Senin, 08 April 2013

Komitmen Gubernur Baru BI


Komitmen Gubernur Baru BI
Ahmad Erani Yustika ;   Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (UB); Direktur Eksekutif Indef
JAWA POS, 08 April 2013
  

DPR lewat voting di komisi XI akhirnya menyetujui Agus Martowardojo sebagai gubernur Bank Indonesia (BI) menggantikan Darmin Nasution yang habis masa jabatannya pada Mei 2013. Pemilihan Agus lumayan dramatis. Pertama, pada 2008, dia pernah diajukan untuk posisi yang sama oleh presiden (bersama dengan Raden Pardede), tapi ditolak oleh DPR (komisi XI). Kedua, kali ini presiden hanya mengajukan satu nama sehingga terbetik rumor. Salah satu di antaranya, Agus memang hendak ''disingkirkan'' dari kabinet karena beberapa kebijakan dan sikapnya tidak seirama dengan ''kepentingan'' pemerintah. Masih banyak rumor lain, namun tentu sulit memverifikasi kebenarannya. Oleh karena itu, lebih berfaedah bila menganalisis figur Agus Martowardojo terkait dengan tugas baru dan komitmennya sebagai gubernur BI.

Isu Strategis 

Hal penting adalah adanya perubahan tugas pokok BI pasca terbentuknya OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Pada Januari 2014, tugas pengawasan perbankan (pada level mikro-prudensial) dialihkan ke OJK, tidak lagi oleh BI. Fungsi pokok BI ke depan lebih banyak diarahkan untuk menjaga stabilitas makroekonomi, kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan makro-prudensial perbankan. Tugas gubernur BI tecermin pada tugas pokok tersebut. Selain itu, perlu kecakapan berkoordinasi dengan OJK terkait dengan aspek makro dan mikro-prudensial karena, meski mudah dipetakan, dalam implementasi tidaklah gampang. Diperlukan kesamaan pandangan antara BI dan OJK, serta lebih penting daripada itu koordinasi yang sungguh-sungguh mesti dijalankan (bukan basa-basi seperti yang kerap terjadi). 

Dari tugas pokok tersebut bisa diturunkan menjadi isu-isu strategis yang lebih operasional agar misi BI bermanfaat bagi penguatan kinerja ekonomi nasional.Pertama, dari sisi stabilitas makroekonomi, dukungan terhadap kualitas pertumbuhan ekonomi dan pengendalian inflasi merupakan hal yang niscaya. Di luar itu, dorongan kepada sektor riil (pertanian dan industri) juga terpantul dari keseluruhan kebijakan BI agar problem kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan lebih mudah diurai. Kedua, dari aspek kebijakan moneter, sasaran yang utama ialah merumuskan tatanan kebijakan aliran modal yang memiliki implikasi terhadap fluktuasi nilai tukar dan cadangan devisa, plus kebijakan penentuan BI rate yang diharapkan berkorelasi dengan tingkat suku bunga perbankan. Ketiga, pada sistem pembayaran, hal yang diperlukan oleh perbankan dan masyarakat adalah perbaikan teknologi, efisiensi pembayaran, dan kepercayaan mata uang nasional. 

Dengan bersandar kepada isu strategis di atas, gubernur BI mendatang diharapkan bisa mendesain lima kebijakan berikut: (i) menjaga suku bunga pada level rendah, khususnya mempercepat gerak sektor riil; (ii) membuat stabilitas nilai tukar melalui kebijakan moneter yang solid dan progresif, misalnya mengendalikan sistem lalu lintas devisa bebas; (iii) mengombinasikan tiga kebijakan yang saling terkait, yakni penentuan giro wajib minimum (makro-prudensial), sistem devisa, dan perkreditan. Itu tantangan yang rumit sehingga diperlukan figur yang kompeten dan punya sensitivitas makroekonomi yang mumpuni; (iv) memperbaiki kepercayaan mata uang rupiah pada level internasional, yang tidak dapat disederhanakan hanya dengan kebijakan redenominasi; dan (v) mengawal masa transisi kewenangan pengawasan perbankan dari BI ke OJK, khususnya terkait dengan stabilitas sistem keuangan yang diharuskan bekerja sama dengan Kemenkeu, OJK, dan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). 

Menjawab Keraguan 

Mencermati hal-hal di atas, saya sejak awal berpendapat, Agus bukan figur yang tepat sebagai gubernur BI. Pertama, kompetensi Agus yang memiliki jam terbang lama di dunia perbankan (khususnya mikro-prudensial) tidak kompatibel dengan tugas pokok BI saat ini. Justru dia lebih tepat jika duduk di lembaga semacam OJK atau LPS. Kedua, sampai sekarang belum pernah ada gubernur BI yang memiliki latar belakang industri (perbankan) seperti Agus. Pada saat kritik terhadap operasi perbankan mencuat seperti saat ini, diperlukan figur yang kalis dari benturan kepentingan agar perbaikan perbankan lebih dimungkinkan, terutama lewat kebijakan makro-prudensial. Ketiga, pada saat ekonomi berawan dan tugas di Kemenku tinggal 1,5 tahun, rasanya terlalu riskan jika posisi itu ditinggalkan dan harus digantikan orang lain yang perlu beradaptasi. 

Pertimbangan kedua dan ketiga di atas memang berbobot opini, tapi ada potensi terjadi. Selebihnya, DPR (lewat komisi XI) sudah mengambil keputusan, yang diimbuhi dengan 14 catatan yang harus dilakukan oleh Agus Martowardojo. Terkait dengan catatan itu, komitmen yang harus ditagih adalah: (a) menjaga stabilitas sektor keuangan yang tidak sekadar dipahami dengan model seperti selama ini, namun butuh pendekatan baru yang lebih strukturalis, seperti yang dilakukan Tiongkok atau Malaysia, khususnya terkait aliran modal; (b) dukungan terhadap sektor riil yang konkret, seperti alokasi kredit ke sektor pertanian dan UMKM; dan (c) menyusun kebijakan penurunan NIM (net interest margin) yang terkait dengan suku bunga dan penurunan BOPO (biaya operasional terhadap pendapatan operasional) yang berhubungan dengan efisiensi perbankan lewat kebijakan makro-prudensial. Jika tiga hal tersebut bisa dilakukan dalam jangka pendek, keraguan terhadap kemampuan nakhoda baru BI menjadi batal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar