Masyarakat mengeluhkan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China
(ACFTA) lebih banyak menguntungkan China dan mematikan produksi dalam
negeri. Kondisi ini sebenarnya muncul akibat kurangnya upaya pemerintah
dan dunia usaha menjelaskan mengenai peluang yang terbuka dari perjanjian
ini dan bagaimana meningkatkan daya saing perekonomian Indonesia agar dapat
memanfaatkannya.
Karena ketidakmampuannya menghadapi persaingan dengan pihak luar
negeri, dunia usaha minta proteksi. Karena tidak lagi dapat menaikkan
tarif bea masuk (BM), permintaan proteksi oleh dunia usaha dijawab
pemerintah dengan mengintroduksi sejumlah kebijakan nontarif yang populer
selama masa Orde Baru, termasuk kebijakan perdagangan yang distortif yang
membatasi langsung impor. Kebijakan ini antara lain berupa kuota, standar
nasional, serta penunjukan pelabuhan impor yang tak memiliki fasilitas
(seperti lemari pendingin) dan jauh dari pasar. Seperti halnya pada masa
Orde Baru, kebijakan nontarif tersebut sangat rawan pada praktik korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN) oleh pemangsa rente yang dekat dengan penguasa
politik, sebagaimana tecermin dari impor daging sapi serta hasil
pertanian lainnya.
Prinsip ACFTA
ACFTA merupakan salah satu dari rangkaian perjanjian perdagangan
bebas yang ditandatangani secara sukarela oleh Pemerintah Indonesia.
ACFTA ditandatangani pada KTT ASEAN-China di Phnom Penh, November
2002. ACFTA terdiri dari perdagangan atas barang, jasa, dan investasi.
Perjanjian atas perdagangan barang dan mekanisme penyelesaian perbedaan
(dispute settlement mechanism) ditandatangani November 2004. Perjanjian
mengenai jasa-jasa ditandatangani 14 Januari 2007 di Cebu, Filipina.
Sementara, perjanjian tentang investasi ditandatangani di Bangkok, 15
Agustus 2009.
Penurunan tarif BM dalam perjanjian perdagangan atas barang
dilakukan secara bertahap dengan jadwal waktu penyesuaian yang cukup
panjang, selama 14 tahun, yakni 1 Januari 2004 hingga 1 Januari 2018.
Jadwal penurunan tarif dibedakan antara kelompok barang dan tingkat
perkembangan ekonomi negara ASEAN. Ada tiga kelompok penurunan tarif BM
dalam rangka ACFTA, yakni panen awal (Early Harvest Programme/ EHP),
jalur biasa (normal track), dan jalur sensitif (sensitive track).
Penurunan tarif BM diawali antara China dan ASEAN6 atas perdagangan
hasil pertanian dan industri manufaktur tertentu antara 1 Januari 2004
dan Desember 2006. Ini yang disebut dengan panen awal atau EHP. Kepada
kelompok negara ASEAN lainnya, yakni bekas negara-negara sosialis
(Kamboja, Laos, Vietnam, dan Myanmar) diberikan masa penyesuaian lebih
lama hingga 2010. Untuk jalur biasa, negara-negara ASEAN6 akan mengurangi
setidaknya 40 persen dari tarif BM menjadi 0-5 persen hingga Juli 2005
dan sisanya yang 60 persen hingga Januari 2007, kecuali untuk berbagai
kelompok tarif tertentu yang diharapkan sudah dapat ditiadakan pada
Januari 2010. Tarif atas kelompok barang tertentu ini diharapkan akan
ditiadakan mulai 2012.
Jalur sensitif dibedakan jadi dua kelompok: daftar sensitif serta
daftar sangat sensitif. Jumlah tarif yang masuk jalur sensitif dibatasi
sebesar 400 pada kelompok tarif HS-6 senilai 10 persen dari nilai impor
2001. Tarif BM kelompok sensitif akan dikurangi menjadi maksimum 20
persen pada 2012 dan berkisar 0-5 persen mulai 1 Januari 2018. Termasuk
dalam kelompok sensitif, antara lain mobil serta suku cadang dan
komponennya.
Akses pada tarif jalur normal yang menurun hanya bisa dinikmati
jika memenuhi persyaratan negara asal (rules of origin). Penurunan tarif ekspor ke China hanya
diberikan pada komoditas yang nilai tambahnya setidaknya 40 persen
diproduksi di negara-negara anggota ASEAN. Biaya pengurusan pembuktian
negara asal ini memakan waktu dan biaya, terutama pada komoditas yang
sangat terfragmentasi (fragmented).
Adakalanya, biaya pengurusan surat negara asal itu justru lebih mahal
daripada keringanan BM yang dinikmati dari penurunan tarif BM.
Perdagangan ASEAN dengan China telah meningkat dengan pesat setelah
berlakunya ACFTA. Ekspor ASEAN ke China meningkat dari 2 persen pada 1993
menjadi 11 persen dari total ekspor pada 2010. Dalam periode sama, impor
ASEAN dari China meningkat dari 2 persen menjadi 12 persen dari total
impor. Menurut negara serta perusahaan pengekspornya, ada berbagai jenis
barang yang diekspor oleh negara-negara ASEAN ke China. Ekspor Indonesia
ke China hanya berupa bahan mentah serta energi (batubara, minyak, dan
gas bumi) serta bahan makanan seperti minyak goreng dan hasil laut.
Ekonomi China yang tumbuh pesat, rata-rata 9-10 persen per tahun
selama lebih dari 30 tahun terakhir dengan proses mekanisasi, motorisasi,
serta urbanisasi yang terus-menerus terjadi di negara itu, memerlukan
segala jenis bahan mentah dan energi. Rakyatnya yang semakin makmur
menuntut kualitas makanan yang lebih baik. Beberapa perusahaan Jepang dan
Korsel mengekspor sedikit komponen dan suku cadang alat-alat listrik
serta otomotif. Karena sudah memiliki industri manufaktur yang lebih
maju, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina mengekspor hasil
industri manufaktur, terutama komponen dan suku cadang barang-barang
listrik dan otomotif.
Pada gilirannya, komponen serta suku cadang tersebut dirakit di
China untuk menghasilkan produk akhir yang dipasarkan ke negara tujuan,
terutama ke AS dan Uni Eropa. Transaksi antar-industri seperti ini
dilakukan oleh perusahaan multinasional dari Jepang, Korsel, Taiwan
maupun AS dan Eropa yang mempunyai pabrik di ASEAN dan di China.
Perdagangan antarnegara untuk komponen dan suku cadang
barang-barang elektronik semakin meningkat karena adanya Perjanjian
mengenai Teknologi Informasi (Information
Technology Agreement/ITA) di bawah Organisasi Perdagangan Dunia yang
telah membebaskan tarif BM antarnegara untuk beberapa jenis di antaranya.
Untuk menarik penanaman modal asing, sejumlah negara juga membebaskan BM
atas komponen impor yang diolah di zona pemrosesan ekspor.
Melalui
kegiatan usaha perusahaan multinasional, keempat negara ASEAN di atas
sudah masuk dalam mata rantai pasokan global. Untuk menghemat biaya
produksi, produksi komponen dan suku cadang dalam mata rantai ini dibagi
antarnegara untuk dirakit di negara lain. Indonesia belum masuk dalam
jaringan itu dan hingga kini masih tetap merupakan pemasok bahan mentah
dan tenaga kerja dengan kualitas pendidikan serta keahlian yang rendah ke
seluruh dunia.
Kurs Devisa dan Produktivitas
Berbeda dengan tetangga (seperti Thailand, Malaysia, dan
Singapura), Pemerintah Indonesia tak dapat memanfaatkan masa penyesuaian
yang cukup panjang itu. Negara-negara lain memanfaatkannya untuk
meningkatkan daya saing perekonomiannya melalui kebijakan kurs dan
meningkatkan produktivitas teknis. Dalam teori ekonomi dikenal konsep
kurs riil efektif atau Real
Effective Exchange Rate (REER) yang merupakan perbandingan tingkat
harga internasional dengan tingkat harga dalam negeri, diukur dalam
satuan mata uang yang sama (REER>e.P*/P, di mana e merupakan kurs
devisa atau harga satu mata uang asing dalam mata uang nasional, P* merupakan
tingkat harga di pasar dunia, dan P adalah tingkat harga komoditas yang
sama di dalam negeri).
Ekspor akan terangsang jika tingkat harga di pasar dunia (E.P*)
lebih tinggi dari tingkat harga komoditas yang sama di pasar dalam negeri
(P), atau e.P*/P > 1 yakni jika REER lebih besar dari satu. Dari
konsep ini ada dua kebijakan yang diperlukan untuk merangsang ekspor,
yakni melemahkan nilai tukar mata uang nasional dan menurunkan tingkat
harga produksi dalam negeri (P) melalui peningkatan efisiensi.
Sejak krisis ekonomi Asia 1997, tingkat laju pertumbuhan ekonomi
Indonesia meningkat menjadi sekitar 6-7 persen per tahun. Namun,
pertumbuhan ini terutama ditopang meningkatnya harga-harga komoditas
primer di pasar dunia yang kita ekspor, terutama ke China dan India.
Akibat dari pemasukan devisa dari hasil ekspor tersebut, ditambah dengan
pemasukan modal asing jangka pendek, adakalanya Bank Indonesia membiarkan
nilai tukar rupiah menguat dengan REER yang lebih kecil dari satu. Pada
gilirannya, penguatan nilai tukar rupiah telah menimbulkan Penyakit
Belanda (the Dutch disease)
pada perekonomian nasional.
Artinya, kurs yang menguat itu telah menyebabkan produksi dalam
negeri kehilangan daya saingnya terhadap komoditas yang sama yang berasal
dari impor. Keadaan menjadi lebih parah karena China dengan sengaja
melemahkan nilai tukar mata uangnya (renminbi/RMB) untuk mendorong
ekspor. Karena kebijakan seperti itu, hingga saat ini China dituduh oleh
dunia melakukan perang kurs (currency
war). Dengan demikian, selain menikmati penurunan tarif BM, eksportir
China juga menikmati kurs RMB yang lemah dan kurs rupiah yang menguat.
Harga komoditas impor yang lebih murah tersebut memudahkan BI mencapai
sasaran tingkat laju inflasinya.
Juga berbeda dengan negara-negara tetangga, Indonesia kurang
mengajarkan kepada eksportirnya bagaimana memasuki pasar luar negeri dan
meningkatkan produktivitas produksi. Di negara-negara tetangga,
pemerintah menerapkan berbagai program mengenai cara memanfaatkan pasar
global, terutama perjanjian perdagangan bebas. Program tersebut antara
lain penelitian dan pengembangan produk baru di sektor pertanian,
industri manufaktur, serta jasa. Hasil pertanian berupa buah, sayur, dan
padi di negara-negara tetangga itu merupakan hasil dari penelitian serta
pengembangan produknya. Filipina memiliki General Santos di Mindanao yang
merupakan pusat industri hortikultura (seperti mangga, nanas, dan pisang)
dan perikanan laut. Vietnam sekarang merupakan eksportir kopi yang cukup
besar.
Negara-negara tetangga itu memberikan sosialisasi tentang standar
teknis barang serta kesehatan yang berlaku di negara tujuan.
Pemerintahnya pun memberikan bantuan bagaimana memenuhi standar tersebut.
Petani sayur, misalnya, diajari agar tak kebanyakan menggunakan pupuk
atau pestisida yang membahayakan kesehatan konsumen. Pemerintah
negara-negara tetangga diajari bagaimana caranya memenuhi ketentuan
aturan negara asal barang dan sekaligus membantu eksportir bagaimana agar
dapat menikmati tarif BM yang lebih rendah tersebut. Negara-negara tetangga
juga mengajari dan membantu produsennya di bidang angkutan serta logistik
agar produk buah, sayur dan hasil pertanian serta perikanan tidak cepat
rusak dan membusuk.
Itulah sebabnya kenapa sayur dan kembang serta makanan dari
Kunming, China, bisa masuk pasar Singapura dan Indonesia, sedangkan sayur
serta kembang dari Tanah Karo serta Sumatera Barat tidak bisa masuk ke
negara tetangga dekat itu. Kerak nasi dari Solo hanya dibungkus plastik,
sedangkan dari Thailand satu per satu dikemas di kertas aluminium dan
baru kemudian dikemas dalam kantong karton. Buah durian dari Thailand dan
Malaysia dijual dengan harga mahal di seluruh dunia, demikian pula
dodolnya. Buah, kembang, dan makanan kita hanya dijual di pasar dalam
negeri dan kalah bersaing dengan saingannya yang dari impor.
Kondisi infrastruktur listrik, jalan, serta pelabuhan darat ataupun
laut di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan. Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) baru angan-angan
belaka. Kawasan Industri Makassar hanya berisi pergudangan dan industri
yang ada hanya berupa cuci mobil. Proyek MP3EI Sei Mangkei di Sumut hanya
berupa hutan perkebunan PTP3. Indonesia juga terbelakang dalam indeks
kebebasan ekonomi, kualitas regulasi, dan kebebasan berusaha. Rasio stok
modal asing terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang terendah di ASEAN
dan investasi asing itu juga terpusat pada sektor pertambangan yang
menghasilkan bahan baku serta energi. Ekonomi Indonesia relatif tertutup
sebagaimana tecermin pada rendahnya rasio nilai ekspor dan impor terhadap
PDB. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar