Bulan ini, tepatnya 20 April,
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang merupakan kelanjutan dari Partai
Keadilan merayakan harlah yang ke-15. Dalam waktu lebih dari satu dekade
itu, PKS merupakan sedikit partai dan mungkin satu-satunya partai
menengah-besar yang tidak mengalami perpecahan internal yang
serius.
Lebih dari itu, PKS merupakan
partai yang mampu mengelola faksionalisasi di dalam tubuhnya dengan
relatif baik. Meski beberapa kalangan meyakini adanya faksi, namun
bisa jadi apa yang dimaksud sebagai faksi itu sebetulnya hanya suatu
pengelompokan sementara (temporal) yang sifatnya cair.
Ada baiknya jika kita
luruskan sejenak makna faksi dalam konteks partai politik. Faksi
merupakan hasil dari sebuah perbedaan pandangan, kepentingan, atau
strategi yang tidak terjembatani di antara anggota partai yang mengarah
pada munculnya sebuah klik atau pengkubuan yang bersifat relatif mapan
untuk kemudian saling berlomba menanamkan pengaruhnya.
Momen Kemunculan
Ada beberapa momen dalam PKS
yang kemudian menguatkan dugaan adanya faksi. Momen pertama melibatkan
kalangan yang pro-Amien dan pro- Wiranto pada Pemilu Presiden
2004. Tokoh-tokoh seperti Hidayat Nurwahid, Rahmat Abdullah,
dianggap mewakili kubu yang berbeda dengan kalangan yang mendukung
Wiranto seperti Anis Matta, Fahri Hamzah, atau Aus Hidayat Nur.
Momen kedua terkait dengan kelanjutan koalisi dengan SBY. Situasi ini
dipicu dengan naiknya harga BBM pada 2005. Beberapa kalangan dalam PKS
menyuarakan untuk meninggalkan koalisi. Di sini tokoh-tokoh sepeti Anis
Matta dan Mashadi yang dalam momen tertentu berbeda pandangan, memiliki
suara yang sama. Keduanya menginginkan adanya evaluasi atas koalisi.
Dalam hal ini, sikap Anis
yang menyarankan partai keluar dari kabinet menjadi lebih `idealis',
ketimbang gerbong besar elite partai, termasuk beberapa tokoh yang
berbeda pandangan pada kasus Pemilu 2004. Dalam perkembangannya, di dalam
partai seolah muncul pengelompokan antara yang lebih berorientasi
inklusif-moderat berhadapan dengan kalangan yang lebih hati-hati dan
cenderung text book dalam
pengembangan kerja sama.
Kalangan yang pertama ini
ditengarai digerakkan oleh Anis dan Fahri. Sedangkan kalangan yang kedua
diyakini digerakkan oleh mereka yang non-Anis. Pendukung Anis selanjutnya
kerap disebut sebagai `kalangan muda', yang kemudian dikonfrontasi dengan
tokoh-tokoh `tua' seperti Rahmat Abdullah atau Yusuf Supendi.
Namun, pengelompokan muda versus
tua ini sebenarnya tidak dapat dikatakan sepenuhnya benar. Karena `tokoh
tua' seperti KH Hilmi Aminuddin kenyataannya justru kerap memuluskan
jalan kalangan muda. Sementara figur- figur muda seperti Al-Muzzamil atau
Untung Wahono cenderung bersikap hati-hati dan tidak ekspresif.
Tidak lama setelahnya muncul
stereotip yang lebih fenomenal lagi, yakni akan adanya `Faksi
Kesejahteraan' dan `Faksi Keadilan'. `Faksi Kesejahteraan' dianggap sebagai kalangan extravaganza
yang berbeda dengan kalangan `Faksi Keadilan' yang menunjukkan kesederhanaan.
Dalam perkembangannya Faksi Kesejahteraan terlihat lebih mengambil peran.
Faksi atau Tendensi?
Berbagai fenomena di atas
seolah menguatkan dugaan kemunculan `faksi'.
Namun di sisi lain, berbagai pertanyan mendasar belum terjabarkan. Siapa
saja tokoh dan penggerak utama di antara faksi yang ada? Di mana mereka
biasa mengasah dan mengorganisasi ke kuatan untuk menguasai partai?
Agenda apa yang membedakan dengan jelas antarfaksi? Apakan ada
`konsistensi rivalitas' dalam memperjuangkan hal-hal yang dianggap
penting?
Jika dilihat dari tokoh-tokoh
dan figur yang berperan penting dalam mewarnai keputusan-keputusan partai
secara objektif tidak ada sebentuk pengelompokan yang demikian kokoh
dalam partai ini. Ada suatu masa seseorang itu bisa menjadi anggota satu
faksi, namun ada kalanya mereka berbeda.
Kenyataannya, pengelompokan
itu bersifat `sporadis', bergantung pada isu yang berkembang. Munandar
(2011) menyebutnya sebagai faksionalisasi dinamis yang ditandai
dengan berbagai irisan dan kemiripan antarfaksi dan memungkinkan adanya
perpindahan antar-anggota faksi. Kecuali itu, mereka yang berbeda tampak
keburu tersingkir atau menyingkirkan diri.
Kemudian, masing-masing
partai juga tidak secara jelas menyebutkan jati dirinya. Sebagai
perbandingan pada Partai Konservatif Inggris, misalnya, salah satu faksi
dalam tubuh partai itu menyebut diri sebagai The Monday Club, yang menaungi kalangan muda sayap kanan
militan, berdiri 1961; atau Tory
Reform Group yang berdiri tahun 1975 yang beorientasi perlunya
intervensi negara.
Dalam perkembangannya memang
muncul Forum Kader Peduli
(FKP), namun forum ini lebih tepat disebut sebagai sempalan, yang kerap
melontarkan wacana kritis namun beroperasi di luar partai. Situasi yang
kurang lebih sama muncul dalam kasus Yusuf Supendi.
Terakhir, situasi internal
partai pascapenangkapan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq (LHI)
menunjukkan lemahnya faksionalisasi dalam partai ini. Seandainya
faksi itu ada, kasus LHI ini akan dijadikan pintu masuk bagi faksi
tertentu untuk menguasai partai, sebagaimana yang misalnya terjadi di
Partai Demokrat. Di sisi lain, upaya itu tentu saja akan memicu
perlawanan faksi saingan untuk mempertahankan kedudukan pendukung LHI.
Namun, semua dapat menyaksikan bahwa proses pergantian pimpinan partai di
PKS berjalan mulus. Bahkan, konsolidasi internal relatif tidak terganggu.
Terbukti kemudian mesin partai berjalan dengan baik untuk memenangkan kursi
gubernur di Jawa Barat dan Sumatra Utara.
Berbagai kecenderungan di
atas sedikit banyak menunjukkan bahwa potensi faksi dalam PKS tetap
ada. Namun, berbagai kenyataan juga menunjukkan keberadaan faski
masih dalam level embriotik, sehingga lebih tepat menyebutnya sebagai
tendensi. Dan tampaknya di sinilah konsistensi pengaderan yang
sistematis yang dimiliki partai ini menuai hasilnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar