Jumat, 19 April 2013

‘Faksi’ dalam PKS


‘Faksi’ dalam PKS
Firman Noor  ;  Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI, Dosen Ilmu Politik FISIP UI
REPUBLIKA, 18 April 2013


Bulan ini, tepatnya 20 April, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang merupakan kelanjutan dari Partai Keadilan merayakan harlah yang ke-15. Dalam waktu lebih dari satu dekade itu, PKS merupakan sedikit partai dan mungkin satu-satunya partai menengah-besar yang tidak mengalami perpecahan internal yang serius. 

Lebih dari itu, PKS merupakan partai yang mampu mengelola faksionalisasi di dalam tubuhnya dengan relatif baik. Meski beberapa kalangan meyakini adanya faksi, namun bisa jadi apa yang dimaksud sebagai faksi itu sebetulnya hanya suatu pengelompokan sementara (temporal) yang sifatnya cair. 

Ada baiknya jika kita luruskan sejenak makna faksi dalam konteks partai politik. Faksi merupakan hasil dari sebuah perbedaan pandangan, kepentingan, atau strategi yang tidak terjembatani di antara anggota partai yang mengarah pada munculnya sebuah klik atau pengkubuan yang bersifat relatif mapan untuk kemudian saling berlomba menanamkan pengaruhnya. 

Momen Kemunculan

Ada beberapa momen dalam PKS yang kemudian menguatkan dugaan adanya faksi. Momen pertama melibatkan kalangan yang pro-Amien dan pro- Wiranto pada Pemilu Presiden 2004. Tokoh-tokoh seperti Hidayat Nurwahid, Rahmat Abdullah, dianggap mewakili kubu yang berbeda dengan kalangan yang mendukung Wiranto seperti Anis Matta, Fahri Hamzah, atau Aus Hidayat Nur.
Momen kedua terkait dengan kelanjutan koalisi dengan SBY. Situasi ini dipicu dengan naiknya harga BBM pada 2005. Beberapa kalangan dalam PKS menyuarakan untuk meninggalkan koalisi. Di sini tokoh-tokoh sepeti Anis Matta dan Mashadi yang dalam momen tertentu berbeda pandangan, memiliki suara yang sama. Keduanya menginginkan adanya evaluasi atas koalisi.

Dalam hal ini, sikap Anis yang menyarankan partai keluar dari kabinet menjadi lebih `idealis', ketimbang gerbong besar elite partai, termasuk beberapa tokoh yang berbeda pandangan pada kasus Pemilu 2004. Dalam perkembangannya, di dalam partai seolah muncul pengelompokan antara yang lebih berorientasi inklusif-moderat berhadapan dengan kalangan yang lebih hati-hati dan cenderung text book dalam pengembangan kerja sama. 

Kalangan yang pertama ini ditengarai digerakkan oleh Anis dan Fahri. Sedangkan kalangan yang kedua diyakini digerakkan oleh mereka yang non-Anis. Pendukung Anis selanjutnya kerap disebut sebagai `kalangan muda', yang kemudian dikonfrontasi dengan tokoh-tokoh `tua' seperti Rahmat Abdullah atau Yusuf Supendi. 

Namun, pengelompokan muda versus tua ini sebenarnya tidak dapat dikatakan sepenuhnya benar. Karena `tokoh tua' seperti KH Hilmi Aminuddin kenyataannya justru kerap memuluskan jalan kalangan muda. Sementara figur- figur muda seperti Al-Muzzamil atau Untung Wahono cenderung bersikap hati-hati dan tidak ekspresif.

Tidak lama setelahnya muncul stereotip yang lebih fenomenal lagi, yakni akan adanya `Faksi Kesejahteraan' dan `Faksi Keadilan'. `Faksi Kesejahteraan' dianggap sebagai kalangan extravaganza yang berbeda dengan kalangan `Faksi Keadilan' yang menunjukkan kesederhanaan. Dalam perkembangannya Faksi Kesejahteraan terlihat lebih mengambil peran.

Faksi atau Tendensi?

Berbagai fenomena di atas seolah menguatkan dugaan kemunculan `faksi'.
Namun di sisi lain, berbagai pertanyan mendasar belum terjabarkan. Siapa saja tokoh dan penggerak utama di antara faksi yang ada? Di mana mereka biasa mengasah dan mengorganisasi ke kuatan untuk menguasai partai?
Agenda apa yang membedakan dengan jelas antarfaksi? Apakan ada `konsistensi rivalitas' dalam memperjuangkan hal-hal yang dianggap penting?

Jika dilihat dari tokoh-tokoh dan figur yang berperan penting dalam mewarnai keputusan-keputusan partai secara objektif tidak ada sebentuk pengelompokan yang demikian kokoh dalam partai ini. Ada suatu masa seseorang itu bisa menjadi anggota satu faksi, namun ada kalanya mereka berbeda.
Kenyataannya, pengelompokan itu bersifat `sporadis', bergantung pada isu yang berkembang. Munandar (2011) menyebutnya sebagai faksionalisasi dinamis yang ditandai dengan berbagai irisan dan kemiripan antarfaksi dan memungkinkan adanya perpindahan antar-anggota faksi. Kecuali itu, mereka yang berbeda tampak keburu tersingkir atau menyingkirkan diri.

Kemudian, masing-masing partai juga tidak secara jelas menyebutkan jati dirinya. Sebagai perbandingan pada Partai Konservatif Inggris, misalnya, salah satu faksi dalam tubuh partai itu menyebut diri sebagai The Monday Club, yang menaungi kalangan muda sayap kanan militan, berdiri 1961; atau Tory Reform Group yang berdiri tahun 1975 yang beorientasi perlunya intervensi negara.
Dalam perkembangannya memang muncul Forum Kader Peduli (FKP), namun forum ini lebih tepat disebut sebagai sempalan, yang kerap melontarkan wacana kritis namun beroperasi di luar partai. Situasi yang kurang lebih sama muncul dalam kasus Yusuf Supendi. 

Terakhir, situasi internal partai pascapenangkapan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) menunjukkan lemahnya faksionalisasi dalam partai ini.  Seandainya faksi itu ada, kasus LHI ini akan dijadikan pintu masuk bagi faksi tertentu untuk menguasai partai, sebagaimana yang misalnya terjadi di Partai Demokrat. Di sisi lain, upaya itu tentu saja akan memicu perlawanan faksi saingan untuk mempertahankan kedudukan pendukung LHI. Namun, semua dapat menyaksikan bahwa proses pergantian pimpinan partai di PKS berjalan mulus. Bahkan, konsolidasi internal relatif tidak terganggu. Terbukti kemudian mesin partai berjalan dengan baik untuk memenangkan kursi gubernur di Jawa Barat dan Sumatra Utara.

Berbagai kecenderungan di atas sedikit banyak menunjukkan bahwa potensi faksi dalam PKS tetap ada. Namun, berbagai kenyataan juga menunjukkan keberadaan faski masih dalam level embriotik, sehingga lebih tepat menyebutnya sebagai tendensi. Dan tampaknya di sinilah konsistensi pengaderan yang sistematis yang dimiliki partai ini menuai hasilnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar