Jumat, 19 April 2013

Saat “Negara Hukum” Tidak Lagi Dipercaya


Saat “Negara Hukum” Tidak Lagi Dipercaya
Benny Susetyo  ;  Pemerhati Sosial
SINAR HARAPAN, 18 April 2013


Kian hari kekerasan kian jadi solusi setiap masalah. Publik disuguhi sebuah pendidikan kehidupan bahwa dalam menghadapi masalah, kekerasanlah yang menjadi jalan terbaik. Penghormatan tertinggi hidup bernegara dan berbangsa kepada supremasi hukum hanya menjadi pemanis bibir.
Ketidakpuasan diselesaikan dengan pembunuhan. Pembunuhan dituntaskan dengan pembakaran dan pembantaian. Bila identitas kelompok merasa terlecehkan oleh satu tindakan, segala cara pasti dilakukan, tak peduli lagi dengan hukum dan kewibawaan negara. Semua akan dibantai demi kepuasan batin kelompok.

Itu terjadi bukan hanya di level masyarakat bawah. Yang lebih mengerikan ketika banalitas ini juga terjadi di tingkat aparat. Mereka yang didamba masyarakat sebagai penegak hukum, justru oknum-oknum di dalamnya sering mempertontonkan tindakan tidak terpuji. Bakar, bunuh dan teror menjadi pemandangan sehari-hari yang semakin lazim terjadi di tengah masyarakat.

Tanpa kita sadari terorisme terjadi di mana-mana. Kantor pemerintah dan kantor aparat pun mulai kehilangan kewibawaannya sebagai simbol negara yang harus dihargai. Hukum pada akhirnya hanya menjadi topeng di tengah nafsu angkara dan keberingasan.

Konflik-konflik horizontal antarwarga juga terjadi secara berulang di berbagai wilayah Indonesia. Masyarakat lawan masyarakat, aparat lawan masyarakat. Tapi semua belum mendapatkan perhatian serius, padahal sudah menimbulkan hilangnya jiwa, kerugian materi dan nonmateri tak terhingga.
Kekerasan begitu mudah terjadi bahkan dipicu masalah-masalah sepele. Masyarakat mudah marah dan meluapkan kemarahannya dengan tindakan-tindakan anarkistis yang membahayakan keselamatan jiwa orang lain.

Saluran Komunikasi Tersumbat

Akar masalah kekerasan pun semakin beragam, kendati semuanya bermuara pada satu masalah utama, yakni tersumbatnya jalur komunikasi dalam memecahkan masalah. Satu demi satu berbagai persoalan pelanggaran HAM mengemuka.

Konflik industrial perburuhan, konflik atas nama agama, konflik perebutan aset sumber daya alam, premanisme, kekerasan terhadap anak, pemerkosaan dan konflik-konflik lain yang semua berujung dengan kekerasan.

Berbagai fenomena kekerasan tersebut menunjukkan peran pemerintah semakin melemah dalam menciptakan harmoni kehidupan berbangsa. Bahkan, dapat dinilai pemerintah seolah tidak memiliki kemauan politik untuk mengatasi masalah mendasar sebab-sebab timbulnya kekerasan. Itu dapat dilihat dari intensitas kekerasan yang semakin meningkat dan menyebar ke seluruh penjuru Tanah Air.

Apa yang dikhawatirkan adalah kekerasan semakin membudaya dan dijadikan contoh satu-satunya pemecahan masalah yang efektif. Kondisi ini tentu saja amat berbahaya ketika masyarakat menilai bahwa hanya dengan cara kekerasan masalah bisa diatasi. Masyarakat menilai bahwa saluran hukum sudah tidak bisa lagi dipercaya menjadi jembatan untuk mencari keadilan.

Hukum tak lagi memiliki kekuatan untuk menciptakan keadilan dan kemakmuran masyarakat. Hukum dipercaya berpihak hanya kepada mereka yang memiliki kekuasaan dan mereka yang memiliki harta berlimpah. Hukum bisa dibeli dan diintervensi. Pasal-pasalnya mudah dibengkokkan untuk memihak. Keadilan digadaikan untuk kepentingan pribadi. Pemilik keadilan dalam hukum adalah gerombolan mafia.

Dari itu semua, kekerasan menjadi jalan pintas yang efektif dipilih guna memecahkan masalah yang ada. Saluran komunikasi untuk mendapatkan keadilan sudah dikuasai mafioso. Budaya kekerasan pun berkembang semakin meluas baik dalam kehidupan publik maupun privat. Akibatnya rasa aman menjadi barang langka di Nusantara ini. Segala kehidupan kita begitu dekat dengan aroma kekerasan.

Bukan Solusi

Kekerasan dalam berbagai bentuk menjadi motif sebagian perilaku budaya masyarakat hingga kini merupakan mainstream yang mereduksi tata nila kepribadian dan memberikan kesan betapa iklim solidaritas manusia belum sepenuhnya mampu memiliki kepribadian saling mencintai.

Dalam konteks agama, walaupun wacana pluralisme dan toleransi ini sudah sering dikemukakan dalam berbagai wacana publik, praktiknya tidaklah semudah yang dipikirkan dan dibicarakan.
Walaupun sudah terdapat kesadaran bahwa bangsa ini dibangun bukan atas dasar agama, melainkan oleh kekuatan bersama, namun pandangan atas “agamaku”, “keyakinanku” justru sering menjadi dasar dari berbagai perilaku sehari-hari yang bermuatan kekerasan.

Sekalipun kita menyadari pentingnya slogan Bhinneka Tunggal Ika, namun praktik di lapangan tak seindah dan semudah pengucapan slogan itu. Masih banyak persoalan keagamaan dan kemasyarakatan di Indonesia yang menghantui dan menghambat terwujudnya solidaritas, soliditas dan toleransi antarumat beragama di Indonesia.

Walau sudah sering dinyatakan bahwa kita merupakan bangsa yang sangat menghargai perbedaan dan tidak menggunakan jalan kekerasan untuk menyelesaikan masalah, namun itu semua di lapangan kerap hanyalah merupakan sebuah kebohongan. Begitu mudahnya menistakan perbedaan dengan cara membakar tempat suci ibadah agama tertentu, menghakimi keyakinan lain sebagai sesat dan seterusnya.

Akar masalah dari semua ini adalah kebencian. Kebencian inilah awal mula dari sektarianisme. Kita tidak mengakui adanya sektarianisme di negeri Pancasila ini. Tapi kenyataan di lapangan, justru semangat sektarianisme dan kebencian itulah yang selalu hidup dan mengobarkan aroma kekerasan.
Mengamati berbagai kekerasan yang terjadi di Tanah Air, beragam kegundahan pun muncul. Kita bertanya mengapa bangsa ini begitu mudah kehilangan kesantunan, keramahan, dan penghargaan terhadap perbedaan.

Mengapa sebagai anak bangsa kita mudah marah, tersinggung, merusak milik orang lain, membunuh dan membakar? Mengapa perilaku kekerasan begitu cepat menjadi model dalam menyelesaikan segala masalah di negeri ini?

Dalam konteks kekerasan yang melibatkan kelompok masyarakat tertentu, waktunya tokoh agama perlu mengingatkan kembali bahwa semua agama mengajarkan cinta kasih antarsesama manusia, untuk itu semua umat beragama menolak berbagai bentuk kekerasan apa pun alasannya.
Tokoh agama perlu menegaskan sebagai sesama manusia warga sebangsa untuk senantiasa menggunakan spirit persaudaraan-kekeluargaan dalam bentuk dialog dari hati-ke-hati dalam menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan.

Kita semua harus menganggap masalah ini darurat karena konflik yang terjadi secara berulang merupakan wujud lemah dan lambannya pemerintah dan aparat keamanan dalam membaca situasi dan kondisi serta dinamika yang berkembang. Pemerintah dan aparat keamanan wajib melindungi segenap warga negara dan memberi rasa aman sebagai perwujudan hak asasi dari setiap warga negara.
Medan kekerasan di negeri ini mudah tercipta karena faktor bawaan secara individual, sedangkan secara kolektif itu terjadi karena pembangunan karakter bangsa yang plural ini tidak pernah menjadi pekerjaan yang serius.

Pembangunan karakter bangsa adalah upaya cita-cita bersama untuk mewujudkan kemanusiaan dan keadilan sebagai alat pemersatu kebangsaan.

Kondisi kesenjangan ekonomi, faktor kebijakan, peran dominan mayoritas yang tidak menghargai minoritas, pelecehan terhadap martabat kemanusiaan dan keadilan membuat manusia mudah frustrasi. Rasa frustrasi akut ini akan membawa bencana bagi negeri ini karena tiadanya harapan akan masa depan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar