Kian
hari kekerasan kian jadi solusi setiap masalah. Publik disuguhi sebuah pendidikan
kehidupan bahwa dalam menghadapi masalah, kekerasanlah yang menjadi jalan
terbaik. Penghormatan tertinggi hidup bernegara dan berbangsa kepada
supremasi hukum hanya menjadi pemanis bibir.
Ketidakpuasan diselesaikan dengan pembunuhan.
Pembunuhan dituntaskan dengan pembakaran dan pembantaian. Bila identitas
kelompok merasa terlecehkan oleh satu tindakan, segala cara pasti
dilakukan, tak peduli lagi dengan hukum dan kewibawaan negara. Semua akan
dibantai demi kepuasan batin kelompok.
Itu terjadi bukan hanya di level masyarakat bawah.
Yang lebih mengerikan ketika banalitas ini juga terjadi di tingkat
aparat. Mereka yang didamba masyarakat sebagai penegak hukum, justru
oknum-oknum di dalamnya sering mempertontonkan tindakan tidak terpuji.
Bakar, bunuh dan teror menjadi pemandangan sehari-hari yang semakin lazim
terjadi di tengah masyarakat.
Tanpa kita sadari terorisme terjadi di mana-mana.
Kantor pemerintah dan kantor aparat pun mulai kehilangan kewibawaannya
sebagai simbol negara yang harus dihargai. Hukum pada akhirnya hanya
menjadi topeng di tengah nafsu angkara dan keberingasan.
Konflik-konflik horizontal antarwarga juga terjadi
secara berulang di berbagai wilayah Indonesia. Masyarakat lawan
masyarakat, aparat lawan masyarakat. Tapi semua belum mendapatkan
perhatian serius, padahal sudah menimbulkan hilangnya jiwa, kerugian
materi dan nonmateri tak terhingga.
Kekerasan begitu mudah terjadi bahkan dipicu
masalah-masalah sepele. Masyarakat mudah marah dan meluapkan kemarahannya
dengan tindakan-tindakan anarkistis yang membahayakan keselamatan jiwa
orang lain.
Saluran Komunikasi Tersumbat
Akar masalah kekerasan pun semakin beragam, kendati
semuanya bermuara pada satu masalah utama, yakni tersumbatnya jalur
komunikasi dalam memecahkan masalah. Satu demi satu berbagai persoalan
pelanggaran HAM mengemuka.
Konflik industrial perburuhan, konflik atas nama
agama, konflik perebutan aset sumber daya alam, premanisme, kekerasan
terhadap anak, pemerkosaan dan konflik-konflik lain yang semua berujung
dengan kekerasan.
Berbagai fenomena kekerasan tersebut menunjukkan
peran pemerintah semakin melemah dalam menciptakan harmoni kehidupan
berbangsa. Bahkan, dapat dinilai pemerintah seolah tidak memiliki kemauan
politik untuk mengatasi masalah mendasar sebab-sebab timbulnya kekerasan.
Itu dapat dilihat dari intensitas kekerasan yang semakin meningkat dan
menyebar ke seluruh penjuru Tanah Air.
Apa yang dikhawatirkan adalah kekerasan semakin
membudaya dan dijadikan contoh satu-satunya pemecahan masalah yang
efektif. Kondisi ini tentu saja amat berbahaya ketika masyarakat menilai
bahwa hanya dengan cara kekerasan masalah bisa diatasi. Masyarakat
menilai bahwa saluran hukum sudah tidak bisa lagi dipercaya menjadi
jembatan untuk mencari keadilan.
Hukum tak lagi memiliki kekuatan untuk menciptakan
keadilan dan kemakmuran masyarakat. Hukum dipercaya berpihak hanya kepada
mereka yang memiliki kekuasaan dan mereka yang memiliki harta berlimpah.
Hukum bisa dibeli dan diintervensi. Pasal-pasalnya mudah dibengkokkan
untuk memihak. Keadilan digadaikan untuk kepentingan pribadi. Pemilik
keadilan dalam hukum adalah gerombolan mafia.
Dari itu semua, kekerasan menjadi jalan pintas yang
efektif dipilih guna memecahkan masalah yang ada. Saluran komunikasi
untuk mendapatkan keadilan sudah dikuasai mafioso. Budaya kekerasan pun
berkembang semakin meluas baik dalam kehidupan publik maupun privat.
Akibatnya rasa aman menjadi barang langka di Nusantara ini. Segala
kehidupan kita begitu dekat dengan aroma kekerasan.
Bukan Solusi
Kekerasan dalam berbagai bentuk menjadi motif
sebagian perilaku budaya masyarakat hingga kini merupakan mainstream yang
mereduksi tata nila kepribadian dan memberikan kesan betapa iklim
solidaritas manusia belum sepenuhnya mampu memiliki kepribadian saling
mencintai.
Dalam konteks agama, walaupun wacana pluralisme dan
toleransi ini sudah sering dikemukakan dalam berbagai wacana publik,
praktiknya tidaklah semudah yang dipikirkan dan dibicarakan.
Walaupun sudah terdapat kesadaran bahwa bangsa ini
dibangun bukan atas dasar agama, melainkan oleh kekuatan bersama, namun
pandangan atas “agamaku”, “keyakinanku” justru sering menjadi dasar dari
berbagai perilaku sehari-hari yang bermuatan kekerasan.
Sekalipun kita menyadari pentingnya slogan Bhinneka
Tunggal Ika, namun praktik di lapangan tak seindah dan semudah pengucapan
slogan itu. Masih banyak persoalan keagamaan dan kemasyarakatan di
Indonesia yang menghantui dan menghambat terwujudnya solidaritas,
soliditas dan toleransi antarumat beragama di Indonesia.
Walau sudah sering dinyatakan bahwa kita merupakan
bangsa yang sangat menghargai perbedaan dan tidak menggunakan jalan
kekerasan untuk menyelesaikan masalah, namun itu semua di lapangan kerap
hanyalah merupakan sebuah kebohongan. Begitu mudahnya menistakan
perbedaan dengan cara membakar tempat suci ibadah agama tertentu,
menghakimi keyakinan lain sebagai sesat dan seterusnya.
Akar masalah dari semua ini adalah kebencian.
Kebencian inilah awal mula dari sektarianisme. Kita tidak mengakui adanya
sektarianisme di negeri Pancasila ini. Tapi kenyataan di lapangan, justru
semangat sektarianisme dan kebencian itulah yang selalu hidup dan
mengobarkan aroma kekerasan.
Mengamati berbagai kekerasan yang terjadi di Tanah
Air, beragam kegundahan pun muncul. Kita bertanya mengapa bangsa ini begitu
mudah kehilangan kesantunan, keramahan, dan penghargaan terhadap
perbedaan.
Mengapa sebagai anak bangsa kita mudah marah,
tersinggung, merusak milik orang lain, membunuh dan membakar? Mengapa
perilaku kekerasan begitu cepat menjadi model dalam menyelesaikan segala
masalah di negeri ini?
Dalam konteks kekerasan yang melibatkan kelompok
masyarakat tertentu, waktunya tokoh agama perlu mengingatkan kembali
bahwa semua agama mengajarkan cinta kasih antarsesama manusia, untuk itu
semua umat beragama menolak berbagai bentuk kekerasan apa pun alasannya.
Tokoh agama perlu menegaskan sebagai sesama manusia
warga sebangsa untuk senantiasa menggunakan spirit
persaudaraan-kekeluargaan dalam bentuk dialog dari hati-ke-hati dalam
menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan.
Kita semua harus menganggap masalah ini darurat
karena konflik yang terjadi secara berulang merupakan wujud lemah dan
lambannya pemerintah dan aparat keamanan dalam membaca situasi dan
kondisi serta dinamika yang berkembang. Pemerintah dan aparat keamanan
wajib melindungi segenap warga negara dan memberi rasa aman sebagai
perwujudan hak asasi dari setiap warga negara.
Medan kekerasan di negeri ini mudah tercipta karena
faktor bawaan secara individual, sedangkan secara kolektif itu terjadi
karena pembangunan karakter bangsa yang plural ini tidak pernah menjadi
pekerjaan yang serius.
Pembangunan karakter bangsa adalah upaya cita-cita
bersama untuk mewujudkan kemanusiaan dan keadilan sebagai alat pemersatu
kebangsaan.
Kondisi kesenjangan ekonomi, faktor kebijakan, peran
dominan mayoritas yang tidak menghargai minoritas, pelecehan terhadap
martabat kemanusiaan dan keadilan membuat manusia mudah frustrasi. Rasa
frustrasi akut ini akan membawa bencana bagi negeri ini karena tiadanya
harapan akan masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar