Impor
produk pertanian kisruh. Daging sapi, bawang merah, dan bawang putih
harganya bergejolak. Inflasi pun terkerek. Lebih jauh, kisruh impor
daging menyeret Presiden PKS (LHI) menjadi tahanan KPK. Presiden SBY
pun dibuat kesal atas kinerja menteri-menterinya yang kurang serius dan
saling menyalahkan. Kisruh kemudian melebar akibat keterangan BPK yang
memicu kemarahan Mentan Suswono dan protes Aspidi.
Sesungguhnya
kisruh impor produk pertanian sudah sering terjadi. Namun, kisruh
kali ini paling gaduh. Mentan mengindikasikan ada yang memolitisasi
(Republika, 12/4). Nabiel Al Musawa, anggota tim perumus RUU Pangan, mengindikasikan
adanya kartel (Republika, 21/3). Sedangkan, mantan anggota DPR Ali
Mubarak meragukan keberhasilan upaya memutus impor hortikultura
(Republika, 10/4).
Swasembada
hasil tani seharusnya sudah terlaksana lama karena persyaratannya cukup.
Indonesia negara agraris yang tanahnya sangat subur. Rakyatnya banyak
yang pandai. Di lingkungan Kementan, yang bergelar doktor tidak sedikit. Anggaran
yang tersedia juga besar. Belum lagi yang tersedia di dinas-dinas
daerah.
Bila
terlaksana swasembada, impor tentu tidak diperlukan. Devisa bisa dihemat.
Harga-harga dapat diupayakan stabil. Konsumen, industri pengguna, dan
petani produsen tidak susah. Pemerintah Indonesia harus dapat mewujudkan
swasembada. Kapan pun dan di bawah siapa pun.
Sambil
mempercepat swasembada, kisruh yang terjadi harus dituntaskan.
Dimulai dengan pembenahan di lingkungan pemerintah. Tata niaga impor
ditata ulang, pembagian tugas jelas, dan sesuai bidang atau sektornya.
Masing-masing fokus. Misalnya, Kementan fokus pada bidang produksi,
Kemendag pada bidang impor (pemasaran). Tiap pekerjaan diputuskan dan
dilaksanakan cepat dengan penanggung jawab yang jelas. Bila salah, yang
`digebuk' juga jelas.
Dalam
lingkungan Kementan terdapat Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian. Mungkin diperlukan terkait UU Pertanian. Tetapi, kesannya Kementan
tidak fokus. Banyak garapannya yang tumpang tindih: pengolahan tugas Kemenperin,
sedangkan pemasaran bagian Kemendag. Dengan tidak fokus, pelaksanaan
tugas memproduksi menjadi tidak optimal. Pengembangan industri agro pun
terasa jalan di tempat.
Meskipun
fokus pada bidangnya sendiri, koordinasi antarpelaku justru perlu ditingkatkan.
Kontak-kontak diintensifkan tanpa mengharuskan sering duduk bersama.
Transparansi antarpihak dikembangkan melalui semacam local area network (LAN). Semua kegiatan dan hasilnya dapat
diakses oleh semua anggota jaringan agar dapat bergerak serempak dan
saling menunjang.
Penentuan
impor dimulai dengan pendataan dan penghitungan serius atas kebutuhan dan
pasokannya. Kebutuhan diperhitungkan sekaligus untuk konsumsi dan bahan
baku industri. Termasuk untuk rumah makan yang sekarang berkembang pesat.
Ekspor bahan mentah ditekan sekecil mungkin. Kecuali akurat, data harus
sering di-update.
Memperhitungkan
kebutuhan impor tugas Kemendag, tetapi datanya disuplai dari semua pihak
yang bersangkutan. Baik dari pusat, daerah, dan dunia usaha. Pihak lain
harus dapat mengakses hasilnya, apa saja dan kapan saja.
Impor memang sering makan waktu karena faktor negara asing, jarak tempuh,
dan hal-hal lain.
Apalagi, di dalam negeri sering ada hambatan
birokrasi. Contohnya, seperti yang dikemukakan Ketua APPHI Marina Ratna. Surat rekomendasi pemasukan (SRP) impor daging yang seharusnya diterima
November 2012, diterima 29 Desember. Bahkan, ada yang baru diterima
Januari 2013 dengan realisasi Maret (Republika, 13/4). Belum lagi bila
ada masalah di negara asal atau di Indonesia sendiri, terkait gelombang
laut, bongkar di pelabuhan, demo buruh, solar kurang, dan lainnya.
Hambatan
memang banyak, tetapi swasembada bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
Maka, Kementan ditantang membuktikan diri mampu dan fokus pada produksi.
Menggarap bidang lain hanya kalau ada hubungannya dengan tugas pokok. Terkait
pemasaran, misalnya, Kementan bisa melakukan adaptasi dan pengembangan
produk. Kalau Thailand bisa mengembangkan durian yang buahnya hampir tak
kenal musim, seragam dalam bentuk (rupa), warna, isi, dan rasanya,
mengapa kita tidak?
Melalui
rekayasa genetika, kita tentu bisa asalkan pemerintah melakukan pembinaan
yang tepat. Termasuk diterapkannya keadilan untuk semua PNS.
Ibaratnya PNS Kementan dan kementerian pembina usaha yang menanam dan
memelihara pohon, tetapi saat berbuah, yang memetik (remunerasi/gaji
tinggi) PNS Kemenkeu. Wamen PAN Eko Prasojo menyatakan untuk
mencegah korupsi (Republika, 12/4). Apa benar? Gaji PNS sekarang
sudah tinggi. Apa masih perlu remunerasi tinggi? Gaji dalam Anggaran
2013 Rp 51,6 triliun, sangat besar. Sama dengan penghasilan sekitar 14
juta penduduk miskin.
Sedangkan
whistle blower, siapa
berani? Susno Duaji yang jenderal bintang tiga saja tersuruk. Namun,
reformasi birokrasi tentu harus maju terus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar