Laurence
Kotlikoff, guru besar ekonomi Boston University, dalam buku barunya,
Jimmy Stewart is Dead, menyarankan konsep limited purpose banking. Konsep ini memilah-milah bank berdasarkan
kapasitas operasional dan leverage-nya.
Kotlikoff menyarankan, bank fokus pada kegiatan utamanya sebagai financial intermediaries dan
menjauhi kegiatan lain seperti memperdagangkan surat berharga dan
kegiatan sampingan lain.
Ia
juga mengingatkan semakin kaburnya batas-batas antarindustri keuangan
mengakibatkan kegagalan di suatu industri akan menular cepat ke seluruh
sistem keuangan. Dalam istilah Kotlikoff, saat ini tidak ada lagi dinding
pembatas api (fire walls) antarindustri
yang dapat melokalisasi kegagalan yang terjadi.
Pada masa Pak Darmin-lah pembentukan OJK yang telah
lama tertunda-tunda akhirnya dapat diwujudkan. Dinamika tarik-ulur alot
yang terjadi dalam proses pembentukan OJK ternyata lebih disebabkan belum
jelasnya pembagian wewenang antara dua otoritas keuangan tersebut. Setelah
jelas pembagian wewenang makroprudensial di BI dan mikroprudensial di
OJK, proses transisi pun berjalan mulus. Hal yang sama sebenarnya juga
terjadi ketika kewenangan Departemen Keuangan sebagai ketua Dewan Moneter
dan sebagai otoritas perizinan industri perbankan dipindahkan ke BI.
Pembagian Wewenang
BI dan OJK membuat arsitektur otoritas keuangan
Indonesia semakin terintegrasi dengan dua pilar utama yang masing-masing
dapat lebih fokus pada tugasnya masing-masing. BI akan lebih fokus pada
pengelolaan moneter dan sistem pembayaran yang telah begitu cepat
berkembang, baik jenis instrumen, jenis kebijakan, dan luas cakupannya.
Pengiriman uang melalui telepon seluler membuat perusahaan telekomunikasi,
juga kantor pos, bahkan perusahaan ekspedisi, akan memainkan peran semakin
besar dalam sistem pembayaran, merupakan tantangan BI.
Pengedaran uang dengan kondisi geografis Indonesia
termasuk ke daerah-daerah perbatasan adalah tantangan BI berikutnya.
Tantangan terbesarnya adalah memanfaatkan keterbukaan perekonomian untuk
menggairahkan perekonomian domestik sekaligus pada saat yang sama men
jaga kekebalan perekonomian domestik dari virus krisis ekonomi global
melalui kebijakan moneter yang tepat.
OJK akan lebih fokus menutup celah-celah regulasi antarindustri
keuangan. Semakin kaburnya batas-batas antarindustri keuangan menuntut
adanya otoritas yang mengelolanya secara terintegrasi. Apalagi, munculnya
konglomerasi industri jasa keuangan semakin memudahkan suatu kelompok
bisnis jasa keuangan bermain di antara celah-celah regulasi yang ada.
Krisis ekonomi global yang masih terus mengancam perekonomian
saat ini merupakan bukti cepatnya inovasi produk keuangan menerobos
batas-batas regulasi sektoral dan sering kali membuat otoritas keuangan
berbagai negara kewalahan mengatasinya. Inovasi
produk keuangan ini ibarat virus yang selalu melakukan mutasi gen, berubah
wujud, mencari negara-negara yang lengah. Integrasi otoritas industri
perbankan, pasar modal, asuransi, dan institusi lembaga keuangan non-bank
di dalam OJK men jadi sangat penting. Di beberapa negara lain bahkan
otoritas perdagangan komoditas berjangka juga diintegrasikan ke dalam
satu atap untuk mengantisipasi masuknya virus krisis dari industri
tersebut.
Tidak semua lembaga sejenis OJK di berbagai negara
sukses menjalankan misinya, sebagaimana tidak semua lembaga bank sentral
di berbagai negara sukses menjalankan misinya. Solusinya bukanlah mengembalikan
pengelolaan terkotak-kotak secara sektoral industri. Yang diperlukan adalah
kemampuan otoritas mengantisipasi berbagai inovasi dan mengatur manajemen
risikonya, termasuk inovasi produk syariah. Itu sebabnya diperlukan
Komite Keuangan Syariah di OJK dan Komite Syariah di BI yang bertugas menafsirkan
fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional MUI menjadi regulasi.
Capaian kedua, pemilahan dan pembatasan kegiatan usaha
bank berdasarkan modalnya yang diatur dalam PBI 14/26. Bank yang modalnya
terbatas, dibatasi pula kegiatannya. Perluasan jaringan cabang juga
dibatasi dengan aturan Alokasi Modal Inti (AMI) untuk tiap cabangnya.
Ada dua komponen penting yang diatur. Pertama, zona
kejenuhan bank. Daerah yang telah jenuh dengan banyaknya bank dikenakan AMI
yang lebih besar. Kedua, besarnya investasi cabang ditentukan oleh jenis
bank, jenis cabang, dan zona.
Zona kejenuhan bank tentu berbeda antara bank konvensional
dan bank syariah. Daerah-daerah yang telah jenuh akan keberadaan bank
konvensional masih sangat kekurangan bank syariah. Bank-bank konvensional
yang memiliki unit usaha syariah (UUS) dapat menghemat banyak sekali AMI
dengan mengalihkan penambahan cabang konvensional menjadi cabang syariah.
Apalagi, investasi riil yang dilakukan bank syariah dalam membuka cabang
jauh lebih kecil daripada yang diatur dalam SE-BI 15/7 untuk bank-bank
konvensional.
Bahkan, bank-bank konvensional yang
memiliki UUS dapat memanfaatkan celah ini untuk tetap menambah cabang di
daerah-daerah yang telah jenuh dengan membuka cabang-cabang syariah.
Bank-bank konvensional bermodal kecil yang berencana memperluas jaringan
cabang layak pula mempertimbangkan untuk melakukan konversi menjadi bank
umum syariah.
Perbedaan tingkat kejenuhan dan perbedaan biaya
investasi cabang menjadi alasan utama perlunya membedakan aturan AMI
antara perbankan konvensional dan perbankan syariah. Bank-bank syariah
saat ini memang berada dalam kategori bank kecil dan menengah (BUKU 1 dan
2) mendapat keringanan beban AMI sebagaimana diatur dalam SEBI 5/8.
Kejelian untuk membedakan AMI perbankan konvensional dan perbankan
syariah akan menjadi berkah bagi industri perbankan syariah di Indonesia.
Semakin kuatnya perbankan syariah yang tidak mengenal negative spread ini sehingga
Indonesia lebih tahan terhadap krisis ekonomi akan melengkapi vaksinasi
kekebalan ekonomi Indonesia. Pengawasan lembaga jasa keuangan
terintegrasi, pemilahan bank berdasarkan kapasitas operasi dan leverage, dan semakin besarnya
kontribusi perbankan syariah akan menjadi trisula Indonesia menghadapi
virus krisis ekonomi.
Saat ini Indonesia telah menjadi kiblat dunia untuk
industri perbankan syariah ritel. Dengan jumlah nasabah mencapai 14 juta,
Indonesia memiliki jumlah bank syariah dan bankir syariah terbanyak di
dunia. Tahun ini pula BI mendapat penghargaan sebagai bank sentral yang paling
aktif mempromosikan perbankan syariah. Terima kasih Pak Darmin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar