Senin, 15 April 2013

Evaluasi Tragedi Lion Air


Evaluasi Tragedi Lion Air
A Wiman Wibisana  Mantan Ketua Saka Dirgantara Lanud Ngurah Rai 
JAWA POS, 15 April 2013
  

Setelah beberapa tahun dunia penerbangan kita relatif aman dari kecelakaan fatal, Sabtu (13/4) kita kembali digedor insiden serius. Lion Air JT-904 overshoot (keluar landasan) di Bandara Ngurah Rai. Kita patut bersyukur karena tak ada korban jiwa. 

Adalah sebuah kemestian dalam dunia penerbangan, setelah sebuah insiden ada dua hal yang harus dilakukan. Yakni, mengevaluasi apa yang telah terjadi dan menggunakan hasil evaluasi itu untuk penyempurnaan ke depan.

Dalam investigasi kecelakaan penerbangan dikenal metode SHEL (software, hardware, environment, liveware) yang dikembangkan Edwards. 

Software atau perangkat lunak pada pesawat memegang peran penting karena menjadi bahan bagi pilot dalam mengambil keputusan. Jika informasi pada perangkat lunak akurat, keputusan penerbang biasanya tepat. 

Sebagai contoh tragedi pendaratan darurat Qantas di Singapura pada 4 November 2010. Akuratnya informasi yang ada pada kokpit pesawat Airbus A-380 itu membuat sang pilot, Richard de Crespigny, mengambil keputusan yang tepat dan mampu menghindarkan penerbangan QF32 yang mengalami problem mesin itu masuk catatan musibah terburuk penerbangan.

Hardware (perangkat keras) yang ada di pesawat adalah kontributor lain dari laik atau tidaknya untuk menghadapi kondisi apa pun. Dari gambar-gambar yang beredar dan jumlah korban selamat, setidaknya kita bisa mendapat gambaran bahwa Lion Air yang tergelincir memiliki alat-alat keselamatan yang bekerja relatif baik. Ingat, peristiwa kecelakaan Lion Air 538 di Solo pada 30 November 2004 mengorbankan 26 orang. 

Environment, misalnya kondisi cuaca, selalu jadi kambing hitam. Memang faktor cuaca tak selalu mudah diprediksi. Prakiraan cuaca mungkin saja mengindikasikan cuaca baik-baik saja dan cerah, namun sering juga ada fenomena pergerakan udara di luar kewajaran. 

Kecelakaan Garuda Indonesia di Jogjakarta pada Maret 2007, misalnya, diduga terkait dengan perubahan aliran udara atau yang lazim dikenal dengan istilah wind shear. Perubahan aliran itu bisa membuat pesawat terguncang dan kehilangan arah. 

Biasanya, faktor wind shear menjelang mendarat itulah yang mengakibatkan penerbang keliru mengambil keputusan. Wind shear menyebabkan kenaikan kecepatan pesawat secara tiba-tiba. Jika tidak menyadari indikasi adanya wind shear, secara naluriah pilot akan mengurangi kecepatan pesawat. Akan tetapi, begitu melewati zona wind shear, pesawat kehilangan daya angkat. Sangat mungkin pesawat jatuh mengingat ketinggian pada saat itu tidak mencukupi untuk melakukan recovery.

Dampak cuaca lainnya terjadi jika landasan basah. Sistem pengereman pesawat biasanya akan terganggu atau dikenal dengan istilah hydroplaning.

Faktor manusia atau liveware mungkin merupakan sebuah faktor penentu di antara tiga faktor sebelumnya. Penerbang dan awak yang terlatih memungkinkan sebuah bencana dapat dihindari dan misi penerbangan berjalan lancar.

Musibah Lion Air di Ngurah Rai setidaknya menunjukkan kepada kita bahwa pelatihan emergency yang diadakan Lion Air bagi krunya berjalan baik. Terhindarinya korban jiwa adalah hal yang patut kita syukuri. Tentu investigasi menyeluruh tetap diperlukan untuk mengetahui apa sejatinya yang menjadi penyebab insiden tersebut.

Status Lion Air yang memborong 234 Airbus dan 178 Boeing mungkin merupakan sebuah kebanggaan karena mencatatkan sejarah sebagai order pesawat terbanyak Boeing dan Airbus. Namun, ambisi tersebut mesti disesuaikan dengan peningkatan faktor keselamatan. Mengacu pada Komisi Penerbangan Uni Eropa, Lion Air masih digolongkan sebagai maskapai yang berkategori "tidak aman". 

Tengok saja Singapore Airlines, maskapai tetangga kita yang rekor catatan kecelakaannya bisa dihitung dengan sebelah jari tangan saja dalam sejarah pengoperasiannya. Atau jika Lion ingin membandingkan dengan sesama maskapai berkonsep "murah", tengoklah Air Asia yang pengoperasiannya bisa dikatakan mendekati zero accident.

Ambisi menjadi maskapai besar juga merupakan ambisi menjaga faktor keselamatan. Meminjam istilah Marsekal (pur) Chappy Hakim, untuk mengelola maskapai penerbangan, tidak bisa digunakan manajemen angkutan kota yang asal-asalan.

Pemerintah juga harus mengambil pelajaran. Perpanjangan zona penyang­ga yang dikenal dengan istilah runway end safety area (RESA) untuk Bandara Ngurah Rai adalah hal yang mendesak dikerjakan. Salah satu rekomendasi dalam investigasi kecelakaan Garuda Indonesia GA 200 pada 7 Maret 2007 di Jogjakarta adalah perpanjangan zona penyangga di ujung landasan untuk mencegah terulangnya musibah tergelincir. 

Hasil investigasi musibah Lion Air nanti adalah sebuah pelajaran bagi dunia penerbangan. Tak hanya ditangisi, musibah juga merupakan wahana mengambil pelajaran. Kita harus mengubah paradigma dari "mencari siapa yang salah" menjadi "mencari apa yang salah" agar di masa yang akan datang tak ada kekeliruan serupa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar