Kebijakan bahan bakar minyak terlihat
begitu ambigu. Memang masalah ini begitu kompleks. Namun, bukankah
kebijakan publik selalu berurusan dengan kompleksitas? Dalam banyak hal,
kecepatan mengambil keputusan menjadi kunci. Jika terlalu lama, ketika
keputusan diambil sudah menjadi antiklimaks. Jika semuanya bisa
dipertanggungjawabkan, mengapa mesti takut mengambil keputusan?
Mencari pertanggungjawaban
ekonomi terkait kebijakan bahan bakar minyak (BBM) memang mudah. Namun,
mencari koalisi politik mendekati pemilihan umum tentu sulit. Karena itu,
pemerintah harus keluar dari belenggu segmentasi politik. Legitimasi
harus dicari dari rasionalitas publik. Untuk itu, diperlukan komunikasi
publik yang baik. Dalam hal ini perlu dicari kesamaan ”titik pijak” yang
bisa dipahami dan diterima sebagian besar pihak. Memaksa semua orang
setuju mustahil, kecuali dengan cara otoriter. Kita tidak hidup untuk
hari ini, apalagi masa lalu, melainkan untuk masa depan. Jika subsidi
dianggap tidak bertanggung jawab kepada generasi mendatang, bagaimana
dengan korupsi? Konservasi energi sama pentingnya dengan konservasi
lingkungan. Namun, keduanya tidak ada artinya jika perilaku korupsi masih
merajalela.
Subsidi energi yang berlebihan
sama sekali tidak punya perspektif masa depan. Dengan harga keekonomian
sebesar Rp 9.000, tanpa adanya perubahan kebijakan energi, pemerintah
memberikan subsidi Rp 5.000 per liter. Maka perubahan kebijakan energi
mutlak diperlukan. Sementara kita tahu, energi fosil sangat terbatas
ketersediaannya sehingga diperlukan investasi yang masif di bidang energi
alternatif. Tanpa ada perubahan kebijakan, anggaran pemerintah begitu
berat, sementara pihak swasta tidak akan tertarik karena tidak ada
insentif. Dari perut bumi kita memang dihasilkan minyak yang harus
dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Namun, kandungan minyak kita akan
habis dalam 15 tahun mendatang. Sementara negara yang memiliki konservasi
minyak jauh lebih besar sudah lebih dulu berpikir mengembangkan energi
alternatif dengan kebijakan harga yang lebih rasional. Selain negara-negara
Timur Tengah, China dan Amerika Serikat adalah negara dengan cadangan
minyak terbesar di dunia.
Sebagai perbandingan, harga
Premium di Indonesia sekitar 1,8 dollar AS, sementara di China sekitar
4,8 dollar AS. Dalam membandingkan harga secara internasional tentu harus
mempertimbangkan kemampuan daya beli (purchasing power parity). Di
Filipina, harga Premium 4,4 dollar AS, Malaysia 3,23 dollar AS, dan
Thailand 4,5 dollar AS. Memang harus diakui masalah kemiskinan di
Indonesia lebih kompleks dibandingkan dengan negara tetangga karena
penduduk yang begitu besar serta kendala geografis yang tersebar. Dalam
hal ini, kita juga sering bersikap ambigu. Di satu kesempatan, selalu
yakin perekonomian kita begitu kuat dan akan mengalahkan negara-negara
tetangga di masa depan, tetapi di saat yang lain merasa begitu lemah.
Jika menunjukkan hasil, kita terlalu percaya diri dengan menunjukkan
perbandingan kinerja dengan negara lain. Giliran menunjukkan masalah,
kita menolak dibandingkan dengan negara tetangga.
Di negara-negara Skandinavia,
pemerintahnya dikenal begitu royal memberikan fasilitas kesejahteraan
rakyat. Dilihat dari indeks pembangunan manusia, mereka tertinggi.
Sebagai ilustrasi, harga Premium di Norwegia 10,12 dollar AS dan Denmark
8,20 dollar AS. Tentu tidak untuk dibandingkan dengan Indonesia karena
tingkat pendapatan per kapita dan fasilitas publik berlipat-lipat lebih
baik. Akan tetapi, bukankah kita selalu mengidolakan negara
kesejahteraan?
Hari ini, negara-negara
Skandinavia dianggap sebagai contoh dari negara kesejahteraan yang
sesungguhnya. Konsep subsidi berlebihan di beberapa negara di Eropa,
seperti Perancis, Spanyol, Italia, dan bahkan Jerman, terbukti tidak
jalan. Mereka mengalami krisis keuangan publik yang begitu akut.
Sementara negara-negara Skandinavia dianggap cukup proporsional dalam
menerapkan prinsip subsidi. Fasilitas dibangun dengan begitu baik,
kebutuhan publik dipenuhi. Namun, warga harus membayar secara
proporsional, baik dalam hal pajak maupun pengeluaran energi.
Subsidi BBM yang begitu besar
telah menimbulkan mis-alokasi anggaran serta memperlemah kemampuan
keuangan publik menyediakan prasarana publik. Di negara dengan kualitas
infrastruktur, pendidikan dan kesehatan masyarakat belum baik, subsidi
energi jelas tidak tepat sasaran. Kita sering berdebat siapa yang
sebenarnya menikmati subsidi, apakah kelas menengah atau kelas bawah. Di
luar persoalan pembagian ekuitas (manfaat) di antara kelompok-kelompok
masyarakat, ada persoalan lain yang lebih serius. Kemampuan pemerintah
menyelesaikan masalah-masalah mendasar terbatas. Kebijakan energi
merecoki pengeluaran sosial.
Menteri Keuangan selalu
mengatakan, jika besaran subsidi tidak bisa dikurangi dan defisit
anggaran mendekati 3 persen, belanja modal dan pengeluaran sosial harus
dipotong. Sebagai perbandingan jika subsidi BBM dipertahankan, pada 2013
subsidi energi akan mencapai Rp 275 triliun, sementara pengeluaran untuk
kesehatan hanya Rp 17 triliun dan proteksi sosial Rp 7 triliun. Sementara
belanja modal untuk kepentingan seluruh pembangunan infrastruktur
nasional tak lebih dari Rp 200 triliun.
Total besaran subsidi kita
mencapai 5 persen terhadap produk domestik bruto, sementara anggaran
pemerintah untuk infrastruktur hanya sekitar 2,5 persen saja. Inikah
kebijakan publik yang berorientasi masa depan? Memang ada dua hal pokok
yang harus dipertimbangkan.
Pertama, bagaimana nasib
penduduk yang berada di garis kemiskinan? Mereka sangat rentan terhadap
inflasi. Begitu ada lonjakan harga, terutama harga bahan pokok, kualitas
hidup mereka merosot drastis. Ketakutan yang diulang-ulang, ketika
terjadi kenaikan harga BBM tahun 2008, kemiskinan meningkat 17 persen.
Tentu kita sangat prihatin sehingga diperlukan kebijakan yang sifatnya
sementara, seperti transfer dana (bantuan langsung tunai/BLT) kepada
penduduk yang memerlukannya. Bukankah rawan penyimpangan? Itulah
persoalannya. Jika mengelola BLT saja tidak bisa, bagaimana dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang nilainya Rp 1.600 triliun?
Kedua, jika kita masih
membiarkan diri digerogoti oleh perilaku pemburuan rente, kebijakan
publik sebagus apa pun tidak akan jalan dengan baik. Perilaku pemburuan
rente tidak hanya merusak fiskal, tetapi juga stabilitas makroekonomi,
seperti inflasi akibat tersendatnya pasokan daging, bawang putih, dan bawang
merah.
Korupsi, sama halnya dengan isu
lingkungan, dan subsidi berlebihan, sama sekali tak bertanggung jawab
pada masa depan. Kita harus belajar dari negara-negara Skandinavia
tentang bagaimana pemerintah berfungsi menjadi pihak yang ”meminta” dan
”memberi” secara proporsional. Rasanya korupsi terjadi di mana-mana,
bahkan di negara-negara Skandinavia sekalipun, tetapi sulit menemukan
korupsi sebrutal di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar