Senin, 15 April 2013

Ambiguitas Kebijakan BBM


Ambiguitas Kebijakan BBM
A Prasetyantoko  Pengamat Ekonomi; Dekan School of Business and Communication Sciences, Unika Atma Jaya
KOMPAS, 15 April 2013

  
Kebijakan bahan bakar minyak terlihat begitu ambigu. Memang masalah ini begitu kompleks. Namun, bukankah kebijakan publik selalu berurusan dengan kompleksitas? Dalam banyak hal, kecepatan mengambil keputusan menjadi kunci. Jika terlalu lama, ketika keputusan diambil sudah menjadi antiklimaks. Jika semuanya bisa dipertanggungjawabkan, mengapa mesti takut mengambil keputusan?
Mencari pertanggungjawaban ekonomi terkait kebijakan bahan bakar minyak (BBM) memang mudah. Namun, mencari koalisi politik mendekati pemilihan umum tentu sulit. Karena itu, pemerintah harus keluar dari belenggu segmentasi politik. Legitimasi harus dicari dari rasionalitas publik. Untuk itu, diperlukan komunikasi publik yang baik. Dalam hal ini perlu dicari kesamaan ”titik pijak” yang bisa dipahami dan diterima sebagian besar pihak. Memaksa semua orang setuju mustahil, kecuali dengan cara otoriter. Kita tidak hidup untuk hari ini, apalagi masa lalu, melainkan untuk masa depan. Jika subsidi dianggap tidak bertanggung jawab kepada generasi mendatang, bagaimana dengan korupsi? Konservasi energi sama pentingnya dengan konservasi lingkungan. Namun, keduanya tidak ada artinya jika perilaku korupsi masih merajalela.
Subsidi energi yang berlebihan sama sekali tidak punya perspektif masa depan. Dengan harga keekonomian sebesar Rp 9.000, tanpa adanya perubahan kebijakan energi, pemerintah memberikan subsidi Rp 5.000 per liter. Maka perubahan kebijakan energi mutlak diperlukan. Sementara kita tahu, energi fosil sangat terbatas ketersediaannya sehingga diperlukan investasi yang masif di bidang energi alternatif. Tanpa ada perubahan kebijakan, anggaran pemerintah begitu berat, sementara pihak swasta tidak akan tertarik karena tidak ada insentif. Dari perut bumi kita memang dihasilkan minyak yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Namun, kandungan minyak kita akan habis dalam 15 tahun mendatang. Sementara negara yang memiliki konservasi minyak jauh lebih besar sudah lebih dulu berpikir mengembangkan energi alternatif dengan kebijakan harga yang lebih rasional. Selain negara-negara Timur Tengah, China dan Amerika Serikat adalah negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia.
Sebagai perbandingan, harga Premium di Indonesia sekitar 1,8 dollar AS, sementara di China sekitar 4,8 dollar AS. Dalam membandingkan harga secara internasional tentu harus mempertimbangkan kemampuan daya beli (purchasing power parity). Di Filipina, harga Premium 4,4 dollar AS, Malaysia 3,23 dollar AS, dan Thailand 4,5 dollar AS. Memang harus diakui masalah kemiskinan di Indonesia lebih kompleks dibandingkan dengan negara tetangga karena penduduk yang begitu besar serta kendala geografis yang tersebar. Dalam hal ini, kita juga sering bersikap ambigu. Di satu kesempatan, selalu yakin perekonomian kita begitu kuat dan akan mengalahkan negara-negara tetangga di masa depan, tetapi di saat yang lain merasa begitu lemah. Jika menunjukkan hasil, kita terlalu percaya diri dengan menunjukkan perbandingan kinerja dengan negara lain. Giliran menunjukkan masalah, kita menolak dibandingkan dengan negara tetangga.
Di negara-negara Skandinavia, pemerintahnya dikenal begitu royal memberikan fasilitas kesejahteraan rakyat. Dilihat dari indeks pembangunan manusia, mereka tertinggi. Sebagai ilustrasi, harga Premium di Norwegia 10,12 dollar AS dan Denmark 8,20 dollar AS. Tentu tidak untuk dibandingkan dengan Indonesia karena tingkat pendapatan per kapita dan fasilitas publik berlipat-lipat lebih baik. Akan tetapi, bukankah kita selalu mengidolakan negara kesejahteraan?
Hari ini, negara-negara Skandinavia dianggap sebagai contoh dari negara kesejahteraan yang sesungguhnya. Konsep subsidi berlebihan di beberapa negara di Eropa, seperti Perancis, Spanyol, Italia, dan bahkan Jerman, terbukti tidak jalan. Mereka mengalami krisis keuangan publik yang begitu akut. Sementara negara-negara Skandinavia dianggap cukup proporsional dalam menerapkan prinsip subsidi. Fasilitas dibangun dengan begitu baik, kebutuhan publik dipenuhi. Namun, warga harus membayar secara proporsional, baik dalam hal pajak maupun pengeluaran energi.
Subsidi BBM yang begitu besar telah menimbulkan mis-alokasi anggaran serta memperlemah kemampuan keuangan publik menyediakan prasarana publik. Di negara dengan kualitas infrastruktur, pendidikan dan kesehatan masyarakat belum baik, subsidi energi jelas tidak tepat sasaran. Kita sering berdebat siapa yang sebenarnya menikmati subsidi, apakah kelas menengah atau kelas bawah. Di luar persoalan pembagian ekuitas (manfaat) di antara kelompok-kelompok masyarakat, ada persoalan lain yang lebih serius. Kemampuan pemerintah menyelesaikan masalah-masalah mendasar terbatas. Kebijakan energi merecoki pengeluaran sosial.
Menteri Keuangan selalu mengatakan, jika besaran subsidi tidak bisa dikurangi dan defisit anggaran mendekati 3 persen, belanja modal dan pengeluaran sosial harus dipotong. Sebagai perbandingan jika subsidi BBM dipertahankan, pada 2013 subsidi energi akan mencapai Rp 275 triliun, sementara pengeluaran untuk kesehatan hanya Rp 17 triliun dan proteksi sosial Rp 7 triliun. Sementara belanja modal untuk kepentingan seluruh pembangunan infrastruktur nasional tak lebih dari Rp 200 triliun.
Total besaran subsidi kita mencapai 5 persen terhadap produk domestik bruto, sementara anggaran pemerintah untuk infrastruktur hanya sekitar 2,5 persen saja. Inikah kebijakan publik yang berorientasi masa depan? Memang ada dua hal pokok yang harus dipertimbangkan.
Pertama, bagaimana nasib penduduk yang berada di garis kemiskinan? Mereka sangat rentan terhadap inflasi. Begitu ada lonjakan harga, terutama harga bahan pokok, kualitas hidup mereka merosot drastis. Ketakutan yang diulang-ulang, ketika terjadi kenaikan harga BBM tahun 2008, kemiskinan meningkat 17 persen. Tentu kita sangat prihatin sehingga diperlukan kebijakan yang sifatnya sementara, seperti transfer dana (bantuan langsung tunai/BLT) kepada penduduk yang memerlukannya. Bukankah rawan penyimpangan? Itulah persoalannya. Jika mengelola BLT saja tidak bisa, bagaimana dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang nilainya Rp 1.600 triliun?
Kedua, jika kita masih membiarkan diri digerogoti oleh perilaku pemburuan rente, kebijakan publik sebagus apa pun tidak akan jalan dengan baik. Perilaku pemburuan rente tidak hanya merusak fiskal, tetapi juga stabilitas makroekonomi, seperti inflasi akibat tersendatnya pasokan daging, bawang putih, dan bawang merah.
Korupsi, sama halnya dengan isu lingkungan, dan subsidi berlebihan, sama sekali tak bertanggung jawab pada masa depan. Kita harus belajar dari negara-negara Skandinavia tentang bagaimana pemerintah berfungsi menjadi pihak yang ”meminta” dan ”memberi” secara proporsional. Rasanya korupsi terjadi di mana-mana, bahkan di negara-negara Skandinavia sekalipun, tetapi sulit menemukan korupsi sebrutal di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar