Senin, 8 April 2013, Prof Zainuddin Maliki selaku ketua
Dewan Pendidikan Jawa Timur mengirim pesan ke grup BBM Dewan Pendidikan
Jawa Timur. Pesannya: Saya sedang nge-fit
and proper test calon
kepala sekolah SMA. Sudah tiga di antara enam guru senior yang bilang
belajar di bimbel lebih baik daripada di sekolah. Gejala apa ini?
Pesan dan pertanyaan tersebut menggelitik sekaligus merangsang
kesadaran untuk kembali memaknai posisi pendidikan, termasuk menelaah
ulang praktik dunia persekolahan. Alasannya sangat sederhana. Pertama,
posisi sekolah dipersepsi kalah baik dibanding bimbel. Kedua, ini ironisnya, persepsi itu
tidak muncul dari pemangku kepentingan eksternal sekolah, melainkan
justru dari pemangku kepentingan internal sekolah. Yakni kepala sekolah.
Ini menjadi ironi dan kritik keras terhadap pendidikan nasional.
Sisi lain, gejala menguatnya persepsi bimbel (lebih baik daripada
sekolah) harus mendapatkan perhatian lebih dalam konteks untuk menjamin
jalannya pendidikan bagi pengembangan peradaban di negeri ini. Ingat,
pendidikan memiliki tugas penting dalam memperkuat kecakapan hidup (life
skills). Bahkan, penjelasan atas pasal 26 ayat 3 UU Sisdiknas 20/2003
telah mengingatkan, pendidikan kecakapan hidup memberikan kecakapan
personal, kecakapan sosial, kecakapan intelektual, dan kecakapan
vokasional untuk bekerja atau usaha mandiri.
Sekolah memiliki tugas dasar untuk memperkuat kecakapan hidup peserta
didik secara sistemik dan berkelanjutan. Bimbel sejatinya merupakan skema
pendamping sekolah untuk memperkuat pendidikan kecakapan hidup yang
dimaksud. Pergeseran posisi bimbel mulai terjadi saat nilai pendidikan
tereduksi menjadi sekadar mekanisme penguatan kemampuan kognitif semata.
Padahal, ada dimensi kejiwaan dan keterampilan praktis personal dan
sosial yang menjadi bagian dari kecakapan hidup. Semua harus bisa
dikuasai dan diinternalisasi peserta didik, termasuk kemampuan afektif
dan psikomotorik. Bukan hanya kognitif.
Unas yang dipakai sebagai standar kelulusan, baik sepenuhnya maupun sebagian
besarnya, membuat bimbel menemukan wadah penyemaian. Sangat menjamur.
Sebab, siapa pun yang berkepentingan dengan pendidikan pasti dirundung
kecemasan yang besar saat menghadapi unas sebagai penentu kelulusan.
Kecemasan itu lebih-lebih terjadi saat otonomi daerah menguat. Kepala
daerah memiliki kepentingan dengan unas karena kelulusan siswa menjadi
indikator yang paling mudah diukur sebagai kinerja politik dan birokrasi
pemerintahan.
Maka, kepala daerah menekan kepala dinas pendidikan agar seluruh siswa di
wilayahnya lulus unas. Atas perintah dan tuntutan kepala daerah, kepala
dinas pendidikan menekan kepala sekolah agar mereka melakukan "apa
saja" sehingga siswa di sekolah masing-masing bisa lulus unas. Dari
aspek relasi dengan orang tua, guru juga mendapatkan tekanan serupa.
Sebab, orang tua memiliki kepentingan agar anaknya tidak tinggal kelas
karena gagal unas.
Muncullah istilah "bisnis kecemasan". Dalam realitasnya,
kecemasan telah bergerak menjadi komoditas politik dan bisnis pendidikan.
Siapa yang bisa menjamin kecemasan itu menurun, dia yang akan dibutuhkan
pasar pendidikan. Misi suci pendidikan sebagai instrumen penguatan
kecakapan hidup terkikis, bahkan tak dihiraukan. Sebagai ganti, mereka
yakin bahwa lulus unas adalah indikator keberhasilan, meski hanya
berurusan dengan kemampuan kognitif peserta didik.
Maka, di lapangan, mulai banyak bimbel yang mereguk keuntungan dari
bisnis kecemasan itu. Banyak bimbel yang akhirnya berubah haluan dari
posisinya sebagai lembaga pendamping sekolah dalam penguatan kecakapan
hidup menjadi lembaga penguatan jalan pintas melalui cara berpikir shortcut untuk membantu siswa lulus
unas. Trik menggarap soal lebih penting, bukan menekankan pemahaman.
Evaluasi pendidikan memang sangat condong kognitif (cognitive-heavy).
Ironisnya, sekolah dianggap tidak cukup bisa memenuhi kebutuhan siswa
atas tuntutan itu. Lemahnya model pembelajaran berbasis masalah (problems-based
teaching) di persekolahan menjadi latar belakangnya. Sebaliknya,
model pembelajaran ini yang dieksploitasi bimbel demi gol unas.
Tak heran, banyak pula sekolah yang grogi menghadapi unas lantas
menggandeng bimbel. Bentuknya, mulai penyelenggaraan les tambahan di
sekolah dengan mendatangkan guru-guru atau instruktur bimbel hingga
penyelenggaraan tryout unas.
Persepsi bahwa bimbel lebih baik daripada sekolah berawal dari
terperosoknya kebijakan dan praktik pendidikan ke dalam fokus sempit
pengembangan kemampuan kognitif semata. Kecakapan hidup telah berubah
menjadi kecakapan kognitif. Karena itu, bimbel dipandang lebih top karena
lebih bisa memenuhi kebutuhan kognitif daripada sekolah. Dan unas,
ironisnya, menjadi latar belakang menguatnya bisnis kecemasan
berkelanjutan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar