Senin, 15 April 2013

Bisnis Kecemasan Unas


Bisnis Kecemasan Unas
Akh. Muzakki  Ketua Pimpinan Wilayah Lembaga Pendidikan Ma'arif NU Jatim, Anggota Dewan Pendidikan Jatim, Dosen Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
JAWA POS, 15 April 2013

  
Senin, 8 April 2013, Prof Zainuddin Maliki selaku ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur mengirim pesan ke grup BBM Dewan Pendidikan Jawa Timur. Pesannya: Saya sedang nge-fit and proper test calon kepala sekolah SMA. Sudah tiga di antara enam guru senior yang bilang belajar di bimbel lebih baik daripada di sekolah. Gejala apa ini?

Pesan dan pertanyaan tersebut menggelitik sekaligus merangsang kesadaran untuk kembali memaknai posisi pendidikan, termasuk menelaah ulang praktik dunia persekolahan. Alasannya sangat sederhana. Pertama, posisi sekolah dipersepsi kalah baik dibanding bimbel. Kedua, ini ironisnya, persepsi itu tidak muncul dari pemangku kepentingan eksternal sekolah, melainkan justru dari pemangku kepentingan internal sekolah. Yakni kepala sekolah. Ini menjadi ironi dan kritik keras terhadap pendidikan nasional.

Sisi lain, gejala menguatnya persepsi bimbel (lebih baik daripada sekolah) harus mendapatkan perhatian lebih dalam konteks untuk menjamin jalannya pendidikan bagi pengembangan peradaban di negeri ini. Ingat, pendidikan memiliki tugas penting dalam memperkuat kecakapan hidup (life skills). Bahkan, penjelasan atas pasal 26 ayat 3 UU Sisdiknas 20/2003 telah mengingatkan, pendidikan kecakapan hidup memberikan kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional untuk bekerja atau usaha mandiri.

Sekolah memiliki tugas dasar untuk memperkuat kecakapan hidup peserta didik secara sistemik dan berkelanjutan. Bimbel sejatinya merupakan skema pendamping sekolah untuk memperkuat pendidikan kecakapan hidup yang dimaksud. Pergeseran posisi bimbel mulai terjadi saat nilai pendidikan tereduksi menjadi sekadar mekanisme penguatan kemampuan kognitif semata. Padahal, ada dimensi kejiwaan dan keterampilan praktis personal dan sosial yang menjadi bagian dari kecakapan hidup. Semua harus bisa dikuasai dan diinternalisasi peserta didik, termasuk kemampuan afektif dan psikomotorik. Bukan hanya kognitif.

Unas yang dipakai sebagai standar kelulusan, baik sepenuhnya maupun sebagian besarnya, membuat bimbel menemukan wadah penyemaian. Sangat menjamur. Sebab, siapa pun yang berkepentingan dengan pendidikan pasti dirundung kecemasan yang besar saat menghadapi unas sebagai penentu kelulusan.

Kecemasan itu lebih-lebih terjadi saat otonomi daerah menguat. Kepala daerah memiliki kepentingan dengan unas karena kelulusan siswa menjadi indikator yang paling mudah diukur sebagai kinerja politik dan birokrasi pemerintahan.

Maka, kepala daerah menekan kepala dinas pendidikan agar seluruh siswa di wilayahnya lulus unas. Atas perintah dan tuntutan kepala daerah, kepala dinas pendidikan menekan kepala sekolah agar mereka melakukan "apa saja" sehingga siswa di sekolah masing-masing bisa lulus unas. Dari aspek relasi dengan orang tua, guru juga mendapatkan tekanan serupa. Sebab, orang tua memiliki kepentingan agar anaknya tidak tinggal kelas karena gagal unas.

Muncullah istilah "bisnis kecemasan". Dalam realitasnya, kecemasan telah bergerak menjadi komoditas politik dan bisnis pendidikan. Siapa yang bisa menjamin kecemasan itu menurun, dia yang akan dibutuhkan pasar pendidikan. Misi suci pendidikan sebagai instrumen penguatan kecakapan hidup terkikis, bahkan tak dihiraukan. Sebagai ganti, mereka yakin bahwa lulus unas adalah indikator keberhasilan, meski hanya berurusan dengan kemampuan kognitif peserta didik.

Maka, di lapangan, mulai banyak bimbel yang mereguk keuntungan dari bisnis kecemasan itu. Banyak bimbel yang akhirnya berubah haluan dari posisinya sebagai lembaga pendamping sekolah dalam penguatan kecakapan hidup menjadi lembaga penguatan jalan pintas melalui cara berpikir shortcut untuk membantu siswa lulus unas. Trik menggarap soal lebih penting, bukan menekankan pemahaman.

Evaluasi pendidikan memang sangat condong kognitif (cognitive-heavy). Ironisnya, sekolah dianggap tidak cukup bisa memenuhi kebutuhan siswa atas tuntutan itu. Lemahnya model pembelajaran berbasis masalah (problems-based teaching) di persekolahan menjadi latar belakangnya. Sebaliknya, model pembelajaran ini yang dieksploitasi bimbel demi gol unas.

Tak heran, banyak pula sekolah yang grogi menghadapi unas lantas menggandeng bimbel. Bentuknya, mulai penyelenggaraan les tambahan di sekolah dengan mendatangkan guru-guru atau instruktur bimbel hingga penyelenggaraan tryout unas.

Persepsi bahwa bimbel lebih baik daripada sekolah berawal dari terperosoknya kebijakan dan praktik pendidikan ke dalam fokus sempit pengembangan kemampuan kognitif semata. Kecakapan hidup telah berubah menjadi kecakapan kognitif. Karena itu, bimbel dipandang lebih top karena lebih bisa memenuhi kebutuhan kognitif daripada sekolah. Dan unas, ironisnya, menjadi latar belakang menguatnya bisnis kecemasan berkelanjutan ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar