Rabu, 17 April 2013

Bom Boston dan Suara Moderat


Bom Boston dan Suara Moderat
Sumiati Anastasia   Alumnus Program Master University of Birmingham
untuk relasi Islam-Kristen
JAWA POS, 17 April 2013

  
Dua ledakan mengguncang lomba Boston Marathon pada Senin waktu setempat (15/4). Sejauh ini, tiga orang dikabarkan tewas dan sedikitnya 138 orang terluka. Sedikitnya 17 orang kritis dan 10 orang harus diamputasi. Bom Boston membuat Amerika Serikat (AS) dilanda kemurungan dan amarah. Itu ledakan bom terbesar kedua setelah tragedi 11 September 2001 (9/11).

Seperti kita tahu, tidak hanya merenggut ribuan nyawa, tragedi 9/11 juga menyebabkan kerenggangan hubungan Islam dengan Kristen. Pasalnya, pemerintah AS di bawah George W. Bush (ketika itu) menuduh Al Qaeda dengan pentolannya, Osama bin Laden, sebagai dalang serangan 9/11. Sedangkan Osama dan kelompok radikal Islam menuduh Bush sebagai representasi crusader kekristenan. 

Pasti bisa diprediksi, tuduhan bernuansa islamofobia juga muncul menyusul yang terjadi di Boston. Padahal, jika kita mau jujur melihat akar permasalahan mengapa terorisme dan radikalisme kian marak di dunia, itu jelas tidak lepas dari kebijakan reaktif pemerintah AS dalam menyikapi serangan 9/11. 

Semoga kita masih ingat, sebagai reaksi atas tragedi 9/11 yang memang mempermalukan AS, Presiden George W. Bush langsung mencanangkan "perang global terhadap terorisme" dengan menginvasi Afghanistan dan Iraq.

Hari-hari menjelang invasi ke Iraq sepuluh tahun lalu, dunia cemas. Semua kalangan ikut kalang kabut, mulai Sekjen PBB, Sri Paus, sampai para tokoh lintas agama kita. KH Hasyim Muzadi (ketika itu ketua PB NU) dan delegasi lintas agama kita juga "sowan" ke Tahta Suci di Vatikan untuk mendesak agar AS jangan melakukan invasi itu. Mendiang Paus Yohanes Paulus II sendiri ketika menerima delegasi lintas agama kita juga mengungkapkan, "Perang selalu merupakan kekalahan bagi kemanusiaan sekaligus tragedi bagi agama-agama (The Jakarta Post, 21 Februari 2003)." Paus juga mengingatkan Bush bahwa perang itu akan jadi preseden buruk di masa depan, khususnya menyangkut hubungan antara Kristen dan Islam.

Toh, Bush tidak menggubris. AS tetap menginvasi Iraq pada 19 Maret 2003. Dan hanya dalam tempo 20 hari, Baghdad, ibu kota Iraq, jatuh, tepatnya Kamis, 9 April 2003. Rezim Saddam Hussein pun tumbang. Saat Bush sedang tidur, Saddam mati digantung pada 30 Desember 2006. 

Hingga kini Iraq masih menjadi neraka dunia karena nyaris tiap hari terjadi bom bunuh diri. Bush, menurut istilah George Soros dalam The Bubble of American Supremacy, telah membajak tragedi 9/11 untuk mengagresi Iraq. Padahal, tak ada bukti kaitan Al Qaeda dengan rezim Saddam. Memang Bush senior pernah berusaha menumbangkan Saddam, tapi gagal. 

Perang antara AS dan kelompok radikal tidak memonopoli Iraq saja. Sebagai respons atas kebijakan perang melawan terorisme yang diprakarsai AS, sekelompok kecil umat Islam yang tidak terima dengan perlakuan AS bergiat melancarkan serangan balasan kekerasan terhadap setiap kepentingan AS di mana pun di dunia ini, termasuk di negeri kita. 

Jadi, Indonesia yang dulu dikenal damai pun akhirnya ikut diseret dalam persoalan terorisme ini. Pro-kontra Tim Densus 88 dan keberadaan kelompok teroris hingga kini masih menyandera kita. 

Meski kecil, mereka punya militansi tinggi serta pandai merakit bom. Dengan dua tokohnya, yakni Dr Azhari dan Noordin M. Top, Indonesia pun menjadi "lokus" favorit untuk mencari orang-orang muda militan yang bisa diajak untuk melancarkan "jihad" terhadap kepentingan AS. 

Yang mengerikan adalah apa yang dilakukan Amrozi cs ketika melancarkan serangan bom di Bali pada 12 Oktober 2002, yang menewaskan 202 jiwa (bom Bali I). Lalu disusul bom Bali II pada 1 Oktober 2005 yang menewaskan 22 orang dengan mayoritas korban warga Australia. Kita sudah tahu bahwa Amrozi cs telah dieksekusi mati, Noordin M. Top ditewaskan di Solo, dan Dr Azhari sudah tewas ditembak polisi di Batu pada 9 November 2005 (9/11 kebalikan dari 11/9).

Syukurlah, dalam banyak peristiwa bom atau terorisme, kita melihat munculnya sosok-sosok muslim yang moderat dan cinta damai, yang menolak jalan kekerasan. Muncul Haji Bambang lewat kelompok Fardhu Kifayah yang menolong para korban bom Bali. Ada Syamsi Ali, imam di masjid terbesar dan tertua Kota New York, yang menjadi "humas Islam" di AS. Sosok berdarah Bugis yang rendah hati itu tak henti berdakwah tentang perdamaian. Sungguh menakjubkan, dakwahnya menyadarkan banyak pihak di AS bahwa betapa Islam itu cinta damai. 

Berkat sosok-sosok moderat seperti itu, mayoritas kaum nonmuslim akhirnya bisa membedakan bahwa Islam itu bukan terorisme. Berkat sosok-sosok itu pula, kerja sama dengan umat agama lain juga dimungkinkan. Memang kaum moderat dari semua agama harus bersinergi guna mempromosikan perdamaian dan persaudaraan.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar