Dua
ledakan mengguncang lomba Boston Marathon pada Senin
waktu setempat (15/4). Sejauh ini, tiga orang dikabarkan tewas dan
sedikitnya 138 orang terluka. Sedikitnya 17 orang kritis dan 10 orang
harus diamputasi. Bom Boston membuat Amerika Serikat (AS) dilanda kemurungan
dan amarah. Itu ledakan bom terbesar kedua setelah tragedi 11 September
2001 (9/11).
Seperti kita tahu, tidak hanya merenggut ribuan nyawa,
tragedi 9/11 juga menyebabkan kerenggangan hubungan Islam dengan Kristen.
Pasalnya, pemerintah AS di bawah George W. Bush (ketika itu) menuduh Al
Qaeda dengan pentolannya, Osama bin Laden, sebagai dalang serangan 9/11.
Sedangkan Osama dan kelompok radikal Islam menuduh Bush sebagai
representasi
crusader kekristenan.
Pasti bisa diprediksi, tuduhan bernuansa islamofobia
juga muncul menyusul yang terjadi di Boston. Padahal, jika kita mau jujur
melihat akar permasalahan mengapa terorisme dan radikalisme kian marak di
dunia, itu jelas tidak lepas dari kebijakan reaktif pemerintah AS dalam
menyikapi serangan 9/11.
Semoga kita masih ingat, sebagai reaksi atas tragedi
9/11 yang memang mempermalukan AS, Presiden George W. Bush langsung
mencanangkan "perang global terhadap terorisme" dengan
menginvasi Afghanistan dan Iraq.
Hari-hari menjelang invasi ke Iraq sepuluh tahun lalu,
dunia cemas. Semua kalangan ikut kalang kabut, mulai Sekjen PBB, Sri
Paus, sampai para tokoh lintas agama kita. KH Hasyim Muzadi (ketika itu
ketua PB NU) dan delegasi lintas agama kita juga "sowan" ke
Tahta Suci di Vatikan untuk mendesak agar AS jangan melakukan invasi itu.
Mendiang Paus Yohanes Paulus II sendiri ketika menerima delegasi lintas
agama kita juga mengungkapkan,
"Perang
selalu merupakan kekalahan bagi kemanusiaan sekaligus tragedi bagi
agama-agama (The Jakarta
Post, 21 Februari 2003)." Paus juga mengingatkan
Bush bahwa perang itu akan jadi preseden buruk di masa depan, khususnya
menyangkut hubungan antara Kristen dan Islam.
Toh, Bush tidak menggubris. AS tetap menginvasi Iraq
pada 19 Maret 2003. Dan hanya dalam tempo 20 hari, Baghdad, ibu kota
Iraq, jatuh, tepatnya Kamis, 9 April 2003. Rezim Saddam Hussein pun
tumbang. Saat Bush sedang tidur, Saddam mati digantung pada 30 Desember
2006.
Hingga kini Iraq masih menjadi neraka dunia karena
nyaris tiap hari terjadi bom bunuh diri. Bush, menurut istilah George
Soros dalam
The Bubble of American
Supremacy, telah membajak tragedi 9/11 untuk
mengagresi Iraq. Padahal, tak ada bukti kaitan Al Qaeda dengan rezim
Saddam. Memang Bush senior pernah berusaha menumbangkan Saddam, tapi
gagal.
Perang antara AS dan kelompok radikal tidak memonopoli
Iraq saja. Sebagai respons atas kebijakan perang melawan terorisme yang
diprakarsai AS, sekelompok kecil umat Islam yang tidak terima dengan
perlakuan AS bergiat melancarkan serangan balasan kekerasan terhadap
setiap kepentingan AS di mana pun di dunia ini, termasuk di negeri kita.
Jadi, Indonesia yang dulu dikenal damai pun akhirnya
ikut diseret dalam persoalan terorisme ini. Pro-kontra Tim Densus 88 dan
keberadaan kelompok teroris hingga kini masih menyandera kita.
Meski
kecil, mereka punya militansi tinggi serta pandai merakit bom. Dengan dua
tokohnya, yakni Dr Azhari dan Noordin M. Top, Indonesia pun menjadi
"lokus" favorit untuk mencari orang-orang muda militan yang
bisa diajak untuk melancarkan "jihad" terhadap kepentingan AS.
Yang mengerikan adalah apa yang dilakukan Amrozi cs ketika
melancarkan serangan bom di Bali pada 12 Oktober 2002, yang menewaskan
202 jiwa (bom Bali I). Lalu disusul bom Bali II pada 1 Oktober 2005 yang
menewaskan 22 orang dengan mayoritas korban warga Australia. Kita sudah
tahu bahwa Amrozi cs telah dieksekusi mati, Noordin M. Top ditewaskan di
Solo, dan Dr Azhari sudah tewas ditembak polisi di Batu pada 9 November
2005 (9/11 kebalikan dari 11/9).
Syukurlah, dalam banyak peristiwa bom atau terorisme, kita melihat
munculnya sosok-sosok muslim yang moderat dan cinta damai, yang menolak
jalan kekerasan. Muncul Haji Bambang lewat kelompok Fardhu Kifayah yang
menolong para korban bom Bali. Ada Syamsi Ali, imam di masjid terbesar
dan tertua Kota New York, yang menjadi "humas Islam" di AS.
Sosok berdarah Bugis yang rendah hati itu tak henti berdakwah tentang
perdamaian. Sungguh menakjubkan, dakwahnya menyadarkan banyak pihak di AS
bahwa betapa Islam itu cinta damai.
Berkat sosok-sosok moderat seperti itu, mayoritas kaum nonmuslim akhirnya
bisa membedakan bahwa Islam itu bukan terorisme. Berkat sosok-sosok itu
pula, kerja sama dengan umat agama lain juga dimungkinkan. Memang kaum
moderat dari semua agama harus bersinergi guna mempromosikan perdamaian
dan persaudaraan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar