Hal
yang paling ditakuti dari negara semacam Korut adalah ketidaktahuan
tentangnya. Mantan Menhan AS Donald Rumsfeld menyebut kemampuan militer
Pyongyang sebagai " known unknowns" atau
"ketidaktahuan yang diketahui". Walaupun spekulasi soal
kekuatan lawan adalah hal yang wajar dalam konteks strategi, ketertutupan
Korut dalam menciptakan situasi unpredictable menggentarkan pihak lain.
Ketidaktahuan
itu menimbulkan ketegangan pada 15 April 2013. Banyak yang percaya bahwa
Korut akan unjuk kekuatan militer terhadap Korsel dan AS pada hari
peringatan kelahiran Kim Il-sung, kakek Kim Jong-un, presiden sekarang.
Bahkan, Menlu AS John Kerry secara maraton menemui pemimpin Rusia,
Korsel, Jepang, dan Tiongkok demi menghimpun dukungan internasional untuk
menghadapi ancaman Korut tersebut. Ternyata, hari itu berlalu tanpa
insiden.
Meski banyak bersandar pada spekulasi, kekuatan militer Korut cukup
disegani. Korut memiliki tentara terbesar keempat di dunia. Korut juga
dikenal sebagai produsen senjata dan menjual produk serta teknologinya,
misalnya, ke Iran, Yaman, dan Pakistan. Namun, teknologi persenjataan
Korut masih berada di bawah Korsel dan AS.
Kemampuannya dalam membuat senjata nuklir juga diragukan. Meski
percobaan roket terakhir Unha-3 pada Desember 2012 berhasil mengorbitkan
sebuah satelit, kemampuan Korut untuk membuat hulu ledak nuklir yang
cukup kecil untuk bisa dipasang pada sebuah roket atau rudal masih
diragukan (Foxnews, 12 Februari 2013).
Ancaman Korut memang patut diragukan jika itu ditujukan untuk
menyasar AS. Tetapi, sangat masuk akal untuk menarget Korsel yang dempet
perbatasan dengan Korut. Saat ini Korut mengarahkan peluncur roket ke
wilayah Korsel dan AS. Rudal Musudan yang digeser ke pantai timur Korut
dikabarkan memiliki daya jelajah 3.000-4.000 kilometer dan diperkirakan
mampu menjangkau pangkalan militer AS di Guam (bbc.co.uk, 12 April
2013). Korut juga mengancam akan menghancurkan Kawasan Industri Kaesong
yang dikelola bersama Korsel.
Meski demikian, jika dilihat dari sejarah negosiasinya, rezim Korut
tidak memiliki keuntungan jika terjadi perang. Selama ini rezim di Korut
diuntungkan situasi krisis yang tak berkesudahan di Semenanjung Korea.
Rezim di Korut memiliki karakter manipulatif sehingga mampu memanfaatkan
situasi krisis untuk mendapatkan keuntungan atau "memeras".
Korut tidak sedikit pun mengubah kebijakan nuklirnya sejak
negosiasi dimulai pada 1994. Korut sempat menghentikannya pada
pertengahan 1990-an, namun program nuklir tersebut dilanjutkan setelah
mengusir pengawas IAEA pada 2002. Padahal, saat itu Korut telah menerima
bantuan energi dari KEDO (Korean Peninsula Energy Development
Organization), organisasi internasional yang mengimplementasikan framework agreement(1994)
antara Korut dan AS.
Sementara dari skema six-party
talks (2003) yang juga
melibatkan Rusia, Tiongkok, dan Korut sendiri, Korut mendapat jaminan
pendampingan untuk memajukan teknologi nuklirnya. Namun, skema ini pun
terhenti setelah Korut kembali melakukan peluncuran roket pada 2009.
Korut juga berhasil memanfaatkan krisis pangan di negaranya selama
negosiasi. Walaupun bantuan pangan bukan bagian utama framework agreement,
posisinya cukup strategis bagi kedua pihak.
Bantuan pangan masuk ke Korut melalui dua mekanisme, yaitu melalui
WFP (World Food Program) atau langsung kepada Korut. AS adalah
kontributor terbesar WFP, sedangkan Tiongkok dan Korsel termasuk donor
non-WFP. Korut lebih menyukai bantuan dari Korsel dan Tiongkok karena lebih
sedikit menuntut akses masuk atau monitoring.
Pada 2006-2008 Korut menolak bantuan pangan dari WFP karena
menghindari akses masyarakat internasional ke negaranya setelah uji coba
nuklir yang pertama. Namun, ketika bantuan Tiongkok dan Korsel menurun
pada 2008, Korut meminta WFP kembali masuk beserta tawaran inspeksi ke
wilayah Korut (CRS Report, 2012). WFP dan AS pun kembali masuk karena
tingkat kelaparan di Korut semakin parah.
Namun, AS kembali menghentikan bantuan setelah uji coba nuklir
Korut pada 2009. Pada 2012 Obama juga membatalkan rencana pengiriman
paket bantuan pangan ke Korut karena Korut kembali melakukan uji coba
nuklir.
Berkaca pada diplomasi krisisnya, Korut memang berkepentingan untuk
memelihara krisis seperti saat ini. Jika konsisten dengan pola biasanya,
bantuan pangan dan penghentian latihan militer AS-Korsel akan memadai
untuk meredakan ketegangan. Namun, jika Kim Jong-un memilih menjadi lebih
radikal daripada pendahulunya, Kim Jong-il (ayahnya), momen ini bisa
digunakan dunia internasional untuk membuat Korut berhenti melahirkan
krisis.
●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar