Selasa, 23 April 2013

Diplomasi Memelihara Krisis ala Korut


Diplomasi Memelihara Krisis ala Korut
Dian Mutmainah ;  Pengajar Program Studi Hubungan Internasional FISIP Universitas Brawijaya Malang
JAWA POS, 22 April 2013
  

Hal yang paling ditakuti dari negara semacam Korut adalah ketidaktahuan tentangnya. Mantan Menhan AS Donald Rumsfeld menyebut kemampuan militer Pyongyang sebagai "known unknowns" atau "ketidaktahuan yang diketahui". Walaupun spekulasi soal kekuatan lawan adalah hal yang wajar dalam konteks strategi, ketertutupan Korut dalam menciptakan situasi unpredictable menggentarkan pihak lain.

Ketidaktahuan itu menimbulkan ketegangan pada 15 April 2013. Banyak yang percaya bahwa Korut akan unjuk kekuatan militer terhadap Korsel dan AS pada hari peringatan kelahiran Kim Il-sung, kakek Kim Jong-un, presiden sekarang. Bahkan, Menlu AS John Kerry secara maraton menemui pemimpin Rusia, Korsel, Jepang, dan Tiongkok demi menghimpun dukungan internasional untuk menghadapi ancaman Korut tersebut. Ternyata, hari itu berlalu tanpa insiden.

Meski banyak bersandar pada spekulasi, kekuatan militer Korut cukup disegani. Korut memiliki tentara terbesar keempat di dunia. Korut juga dikenal sebagai produsen senjata dan menjual produk serta teknologinya, misalnya, ke Iran, Yaman, dan Pakistan. Namun, teknologi persenjataan Korut masih berada di bawah Korsel dan AS.

Kemampuannya dalam membuat senjata nuklir juga diragukan. Meski percobaan roket terakhir Unha-3 pada Desember 2012 berhasil mengorbitkan sebuah satelit, kemampuan Korut untuk membuat hulu ledak nuklir yang cukup kecil untuk bisa dipasang pada sebuah roket atau rudal masih diragukan (Foxnews, 12 Februari 2013).

Ancaman Korut memang patut diragukan jika itu ditujukan untuk menyasar AS. Tetapi, sangat masuk akal untuk menarget Korsel yang dempet perbatasan dengan Korut. Saat ini Korut mengarahkan peluncur roket ke wilayah Korsel dan AS. Rudal Musudan yang digeser ke pantai timur Korut dikabarkan memiliki daya jelajah 3.000-4.000 kilometer dan diperkirakan mampu menjangkau pangkalan militer AS di Guam (bbc.co.uk, 12 April 2013). Korut juga mengancam akan menghancurkan Kawasan Industri Kaesong yang dikelola bersama Korsel.

Meski demikian, jika dilihat dari sejarah negosiasinya, rezim Korut tidak memiliki keuntungan jika terjadi perang. Selama ini rezim di Korut diuntungkan situasi krisis yang tak berkesudahan di Semenanjung Ko­rea. Rezim di Korut memiliki karakter manipulatif sehingga mampu memanfaatkan situasi krisis untuk mendapatkan keuntungan atau "memeras".

Korut tidak sedikit pun mengubah kebijakan nuklirnya sejak negosiasi dimulai pada 1994. Korut sempat meng­hentikannya pada pertengahan 1990-an, namun program nuklir tersebut dilanjutkan setelah mengusir pengawas IAEA pada 2002. Padahal, saat itu Korut telah menerima bantuan energi dari KEDO (Korean Peninsula Energy Development Organization), organisasi internasional yang mengimplementasikan framework agreement(1994) antara Korut dan AS.

Sementara dari skema six-party talks (2003) yang juga melibatkan Rusia, Tiongkok, dan Korut sendiri, Korut mendapat jaminan pendampingan untuk memajukan teknologi nuklirnya. Namun, skema ini pun terhenti setelah Korut kembali melakukan peluncuran roket pada 2009.

Korut juga berhasil memanfaatkan krisis pangan di negaranya selama negosiasi. Walaupun bantuan pangan bukan bagian utama framework agreement, posisinya cukup strategis bagi kedua pihak.

Bantuan pangan masuk ke Korut melalui dua mekanisme, yaitu melalui WFP (World Food Program) atau langsung kepada Korut. AS adalah kontributor terbesar WFP, sedangkan Tiongkok dan Korsel termasuk donor non-WFP. Korut lebih menyukai bantuan dari Korsel dan Tiongkok karena lebih sedikit menuntut akses masuk atau monitoring.

Pada 2006-2008 Korut menolak bantuan pangan dari WFP karena menghindari akses masyarakat internasional ke negaranya setelah uji coba nuklir yang pertama. Namun, ketika bantuan Tiongkok dan Korsel menurun pada 2008, Korut meminta WFP kembali masuk beserta tawaran inspeksi ke wilayah Korut (CRS Report, 2012). WFP dan AS pun kembali masuk karena tingkat kelaparan di Korut semakin parah.

Namun, AS kembali menghentikan bantuan setelah uji coba nuklir Korut pada 2009. Pada 2012 Obama juga membatalkan rencana pengiriman paket bantuan pangan ke Korut karena Korut kembali melakukan uji coba nuklir.

Berkaca pada diplomasi krisisnya, Korut memang berkepentingan untuk memelihara krisis seperti saat ini. Jika konsisten dengan pola biasanya, bantuan pangan dan penghentian latihan militer AS-Korsel akan memadai untuk meredakan ketegangan. Namun, jika Kim Jong-un memilih menjadi lebih radikal daripada pendahulunya, Kim Jong-il (ayahnya), momen ini bisa digunakan dunia internasional untuk membuat Korut berhenti melahirkan krisis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar