Selasa, 23 April 2013

Mundur-Tak Mundur Mendikbud


Mundur-Tak Mundur Mendikbud
Samsul Wahidin ;  Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum 
Universitas Merdeka Malang
JAWA POS, 22 April 2013
  

Karut-marut pelaksanaan ujian nasional (unas) SMA dan SMK ibarat air yang mengalirkan berbagai masalah ikutan di hilirnya. Termasuk desakan agar Mendikbud Mohammad Nuh mundur dari jabatannya. Desakan ini seharusnya tidak semata dipandang sebagai refleksi kegagalan mengelola unas, tapi juga cermin tanggung jawab atas kegagalan tersebut yang dianggap bisa dilunasi dengan mundurnya sang menteri.

Apakah itu suara pinggiran yang tidak suka kepada sang Mendikbud? Sejauh ini Muhammad Nuh mengapresiasi desakan mundur itu dengan pernyataan normatif bahwa dirinya bukan politikus yang sibuk meng­urusi jabatan sebagai menteri. Jabatan adalah amanah. Posisi dirinya adalah sebagai pembantu dan menyerahkan seluruh keputusan kepada presiden. Secara substantif dia akan mundur jika tersangkut korupsi, misalnya, dalam hal pencetakan naskah unas.

Kisah Rujukan 

Beberapa kisah desakan atau mundurnya menteri pernah terjadi dalam perjalanan pemerintahan kita. Ketika mengemuka kasus dana liar Bank Indonesia (BI) yang ramai pada 2008, desakan mundur ditujukan kepada Menteri Kehutanan M.S. Kaban dan Menteri PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta yang diindikasikan menerima dana tersebut. Namun, keduanya aman dan tidak jadi mundur, karena "secara formal" tidak terbukti menerima dana itu.

Ketika Orde Baru menjelang tutup buku, beberapa menteri mengundurkan diri. Bukan karena kasus tertentu, tapi sekadar pergeseran posisi atau pindah departemen. Hanya ada beberapa menteri yang dituntut mundur karena prahara profesionalisme kebijakan, dan karena musibah atau "kecelakaan".

Menteri Pertambangan dan Energi I.B. Sudjana, misalnya, dituntut mundur akibat kemelut tambang emas Busang di Kaltim karena ternyata hanya pepesan kosong. Dia dinilai alpa mengontrol investor awu-awu dari negeri Paman Sam yang menurunkan kepercayaan investasi di tanah air. Namun, tuntutan itu ibarat angin lalu dan tertutup dengan berbagai heboh peristiwa lain.

Catatan tentang desakan mundurnya menteri juga ditujukan kepada Menteri Perhubungan Hardjanto Danutirto, atau disapa Tuan Dhanu, terkait centang perenang pengelolaan transportasi. Begitu pula kepada Menparpostel Joop Ave, terkait moralitas, yaitu indikasi pelecehan seksual di Selandia Baru. Keduanya juga tidak direspons dan selamat sampai akhir masa jabatan.

Pada saat Presiden Abdurrahman Wahid, ada dua menteri yang benar-benar mundur pada saat kabinet baru 15 bulan. Mereka adalah Menteri Koordinator Pengentasan Kemiskinan (Menko Taskin) Hamzah Haz, yang kemudian malah menjabat Wapres zaman Megawati. Alasan formalnya adalah ketidaksesuaian program yang harus dijalankan dengan konsep yang harus diusung dari partainya, PPP. Pada saat yang sama, Menteri Otonomi Daerah Ryaas Rasyid mengajukan pengunduran diri karena tanggung jawab profesionalisme tentang ide otonominya tak terakomodasi dalam RPJP (rencana pembangunan jangka panjang), apa lagi dalam RPJM (rencana pembangunan jangka menengah). Hal itu menjadi alasan bahwa dirinya tidak bisa bekerja.

Bergantung Sayang Presiden 

Pada tataran normatif, benturan mundurnya seorang menteri dari jabatan akibat suatu kasus, atau karena merasa tidak cocok adalah pada hak prerogatif presiden. Hal ini menjadi dasar sistem pemerintahan presidensial. Landasan konstitusional pada sistem ini memberikan kepastian bahwa menteri negara adalah pembantu presiden yang kedudukannya bergantung sepenuhnya kepada presiden. Menteri adalah kepala departemen yang bertanggung jawab kepada presiden selaku kepala eksekutif. Mau menghentikan menteri di tengah jalan atau lanjut, itu bergantung pada presiden.

Adanya lembaga yang mengurusi kinerja para menteri, seperti Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), ibarat anatomi kalimat, juga hanya sebagai "pelengkap penderita". Kendati bisa memberikan rapor merah, hitam, atau biru kepada kinerja menteri, akhirnya yang menentukan lanjut atau berhentinya sang menteri tetap presiden.

Maknanya, apa pun yang dilakukan seorang menteri secara normatif dan praktis tak bisa dimintakan pertanggungjawaban kepada menteri yang bersangkutan. Seburuk apa pun kinerjanya, dia akan selamat asalkan masih disayang presiden. Atau presiden jengah mencopotnya. Apa lagi untuk sekarang, bila menyangkut menteri hasil kompromi antara parpol yang berkoalisi dan partai penguasa.

Mengaca pada berbagai peristiwa yang berhubungan dengan jabatan menteri tersebut, desakan agar menteri mundur memang bisa dianggap bagian dari kontrol masyarakat. Namun, keputusannya terserah presiden. Kecuali yang mengindikasikan korupsi, seperti yang menimpa Andi Mallarangeng, dia harus mundur karena terkena aturan internal kabinet. 

Desakan mundur terasa mengulang lagu lama yang bisa disalahgunakan untuk mengalihkan perhatian. Mendikbud meminta tetap pada koridor substantif berupa permasalahan pelaksanaan unas yang tidak berlangsung sesuai dengan rencana. Selebihnya, klarifikasi dan solusi atas permasalahan tersebut lebih urgen untuk ditindaklanjuti. Termasuk menindaklanjuti dari sisi hukum, ketika ada indikasi terjadi korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar