Pemerintah
untuk kesekian kalinya berencana menaikkan harga minyak dengan skema
berikut: segala jenis mobil diwajibkan mengonsumsi premium seharga
Rp6.500-7.000 (atau pertamax), sedangkan motor dan transportasi publik
boleh mengonsumsi premium seharga Rp4.500.
Berbeda
dengan wacana yang telah berkali-kali digulirkan oleh pemerintah terkait
kenaikan harga dan pembatasan konsumsi BBM, kali ini tampaknya pemerintah
serius untuk menjalankan kebijakan tersebut yaitu kemungkinan pada awal
Mei 2013. Serangkaian rapat digelar, termasuk mengundang kepala daerah
(para gubernur) untuk mematangkan dan meminta dukungan atas kebijakan
tersebut.
Partai
politik tampaknya juga merestui rencana tersebut, kecuali PDIP yang
setara tegas akan menolaknya. Secara matematis kekuatan politik (juga
dukungan daerah) telah dipunyai pemerintah untuk menggulirkan kebijakan
kenaikan harga BBM itu.
Argumen yang Rapuh
Seperti
pengalaman beberapa waktu sebelumnya, rencana kenaikan harga minyak ini
juga berpotensi menimbulkan persoalan serius karena beberapa hal berikut.
Pertama, rakyat selama ini merasa pemerintah selalu mengambil jalan
pintas setiap kali ada kenaikan harga minyak internasional yakni
menaikkan harga BBM domestik. Padahal, persoalan minyak di Indonesia
ragamnya sangat banyak dan menghendaki perubahan yang mendasar.
Dari sisi
hulu, penguasaan asing mencapai sekitar 80% dari total produksi dan tidak
ada tanda-tanda akan berkurang. Mereka berproduksi dengan kecenderungan
terus menurun, tapi biaya pemulihan (cost
recovery) terus menjulang tiap tahun (ini menjadi beban pemerintah).
Impor minyak
tidak langsung ditangani Pertamina, namun dikerjakan oleh Petral yang
tidak langsung berhubungan dengan produsen langsung (negara) sehingga
harga minyak impor lebih mahal. Rakyat marah kenapa ihwal semacam ini
yang sudah berjalan puluhan tahun dibiarkan, tapi saat APBN dikatakan
jebol selalu solusinya kenaikan harga BBM.
Kedua,
pemerintah berargumentasi bahwa kenaikan harga BBM untuk menyelamatkan
neraca perdagangan yang sejak 2012 mengalami defisit. Pertimbangannya,
konsumsi BBM yang terus meningkat (di mana sebagian harus diimpor)
membuat pembengkakan impor makin besar sehingga menyebabkan defisit
neraca perdagangan.
Tapi,
pemerintah menyembunyikan satu data lainnya yang penting, sejak 2007-2011
(sebelum terjadi defisit perdagangan pada 2012) memang pertumbuhan ekspor
nonmigas jauh lebih rendah ketimbang impor nonmigas. Selama kurun waktu
itu pertumbuhan ekspor nonmigas hanya 14%, namun pertumbuhan impor
nonmigas sebesar 22%.
Dengan
gambaran itu, sudah pasti tanpa ada kenaikan impor BBM pun dipastikan
defisit neraca perdagangan akan terjadi, hanya soal waktu. Jadi, mestinya
persoalan defisit neraca perdagangan tidak boleh dilokalisir hanya oleh
sebab impor migas.
Ketiga,
pemerintah menganggap bahwa subsidi BBM sudah pada level yang
membahayakan sehingga mengganggu stabilitas fiskal. Defisit fiskal akan
makin besar jika harga BBM tidak dikurangi. Masalahnya, selama ini
rencana defisit yang dibuat pemerintah tidak pernah bisa direalisasi (di
bawah target) karena penyerapan APBN yang buruk. Pada 2012 misalnya
seluruh pos APBN penyerapannya di bawah 90%, kecuali untuk pos subsidi
dan belanja pegawai sehingga defisit APBN juga lebih kecil dari rencana
(meskipun pos subsidi lebih besar dari perencanaan).
Sampai
sekarang pun saya kira penyerapan APBN juga akan mengalami problem yang
sama sehingga apabila subsidi BBM bertambah, belum tentu akan menambah
defisit APBN. Dengan demikian, argumen pemerintah di atas akan benar bila
pemerintah penyerapan anggarannya bagus. Sayangnya, mengharapkan
penyerapan bagus seperti rencana sampai saat ini masih sebatas
fatamorgana.
Ongkos Lebih Besar
Jika pun tiga
hal di atas dianggap tidak ada, kenaikan harga BBM itu sekurangnya akan
menimbulkan persoalan berikut. Prediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini
akan berada di bawah 6,3% meski harga minyak tidak naik yang disebabkan
makin tidak jelasnya prospek pemulihan ekonomi di AS dan Eropa sehingga
harga beberapa komoditas primer turun (yang mengakibatkan ekspor
Indonesia tertekan).
Di sisi lain,
impor tidak bisa ditekan lebih rendah lagi karena ketergantungan produksi
nasional terhadap bahan baku impor. Karena itu, ekspor tidak dapat
diharapkan menyumbang pertumbuhan ekonomi. Lainnya, inflasi tahun ini
sulit dikendalikan pemerintah karena masalah harga pangan.
Inflasi tanpa
kenaikan harga minyak diperkirakan akan berada pada level 5,5-6% tahun
ini. Jika ditambahkan dengan inflasi yang diakibatkan oleh kenaikan BBM,
inflasi akan berada di kisaran 7,5%. Inflasi bahkan akan lebih tinggi
lagi jika pemerintah tidak bisa mengelola ekspektasi masyarakat akibat
kenaikan harga BBM dan komoditas pangan tersebut. Jika inflasi berada
pada level itu, dua hal akan segera terjadi.
Pertama,
tingkat suku bunga akan segera naik sehingga membuat biaya investasi
mahal. Implikasinya, investasi turun sehingga dari sisi penawaran membuat
sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi akan melemah. Sementara penurunan
investasi mengakibatkan prospek penciptaan lapangan kerja juga memburuk
sehingga akan terjadi pembengkakan pengangguran. Situasi itu tentu akan
sangat mengganggu stabilitas makroekonomi.
Kedua,
kenaikan inflasi membuat daya beli masyarakat merosot, terlebih mereka
yang tergolong berpendapatan menengah-bawah. Seperti peristiwa kenaikan
BBM pada 2005 yang diikuti inflasi tinggi dan kenaikan angka kemiskinan
(meskipun sudah diberi BLT), kali ini pun situasinya akan sama.
Dengan
gambaran ini mudah dipahami bahwa orang miskin pun menolak kenaikan harga
BBM (yang dipersepsikan hanya menguntungkan orang kaya) karena pada
dasarnya beban terbesar tetap ditanggung kaum miskin. Saya melihat bahwa
jika kali ini harga BBM dinaikkan dengan potensi penghematan sekitar Rp20
triliun, rasanya itu perlu dianalisis lagi secara mendalam.
Jika
dikalkulasi lebih komprehensif dengan memperhitungkan potensi yang hilang
dari investasi, pertumbuhan ekonomi, dan kenaikan jumlah orang miskin
(plus biaya untuk kompensasi orang miskin, apa pun programnya), hampir
pasti ongkos secara keseluruhan nilainya lebih besar dari Rp20 triliun.
Karena itu,
bila skema ini yang terjadi, kebijakan ini dengan menggunakan analisis
standar biaya dan manfaat (cost and
benefit ratio) sebetulnya neracanya tidak seimbang. Padahal jika
dibuat daftar lagi, masih banyak hal lain yang bakal merugikan pemerintah
dan masyarakat akibat kebijakan ini.
Sungguh pun
begitu, apabila pemerintah tetap bersikeras mengambil pilihan ini,
diharapkan sudah memahami pekerjaan rumah yang harus dikerjakan, baik
secara ekonomi, sosial, maupun politik. Jika tidak mampu menyiapkan
secara laik, kebijakan ini bakal menjadi blunder dan menggulung rezim ini persis di tikungan terakhir.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar