Selasa, 09 April 2013

Di Ambang Perang Dua Korea


Di Ambang Perang Dua Korea
Chusnan Maghribi ;  Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
SUARA MERDEKA, 09 April 2013


"Tepat, keputusan ASEAN menggelar pertemuan tingkat menlu guna mencari solusi konflik Semenanjung Korea"

Krisis di Semenanjung Korea terus bergerak menuju situasi yang lebih serius, sensitif, dan makin berbahaya seiring dengan keputusan provokatif kedua belah pihak yang saling berhadapan: Korea Selatan (Korsel) plus Amerika Serikat (AS) di satu pihak, dan Korea Utara (Korut) di pihak lain.
Aksi nyata di lapangan berupa latihan gabungan pasukan Korsel dengan AS bersandi  Foal Eagle, menggunakan beragam peranti tempur serbamodern, yang dijadwalkan berlangsung hingga 30 April 2013, membuat otoritas Korut meradang dan mengeluarkan banyak pernyataan provokatif.

Presiden Korsel Park Geun-hye pada 1 April lalu pun menyatakan akan merespons tegas dan keras tanpa mempertimbangkan aspek politik bilamana militer Korut memulai perang. Pernyataan perempuan presiden pertama Korsel itu terasa lugas sehingga tidak menimbulkan kesan hanya sekadar gertak sambal.   

Di pihak Korut, kurang dari sepekan terakhir otoritas di negara tersebut mengambil dua keputusan yang tidak bisa  dipandang sebagai gertak sambal belaka. Pertama; keputusan parlemen negeri komunis Stalinis itu merestui militer untuk melancarkan serangan nuklir ke wilayah AS jika konfrontasi senjata benar-benar tak terelakkan.

Terlepas riil tidaknya ancaman serangan balasan (senjata) nuklir ke AS oleh Korut --mengingat sejauh ini belum muncul bukti otentik Korut sudah memiliki senjata nuklir--, semestinya pihak mana pun tidak memandang sebelah mata atau meremehkan ancaman serangan senjata nuklir Korut tersebut.

Kedua; pernyataan pemimpin Korut Kim Jong-un yang tidak dapat menjamin keamanan perwakilan-perwakilan asing di Pyongyang setelah tanggal 10 April 2013. Tipikal kepemimpinan Kim Jong-un tak jauh berbeda dari gaya kepemimpinan sang kakek (Kim Il-sung .1948-1994) atuaupun ayah (Kim Jong-ill, 1994-2011). Terutama menyangkut Korsel dan sekutunya, kebijakan yang diambil selalu konfrontatif antagonistik.

Perkembangan terkini krisis Semenanjung Korea agaknya membuat eskalasi persoalan tersebut tidak lagi berhenti pada pertanyaan apakah krisis itu akan berkembang menjadi perang terbuka ataukah tidak, tapi kapan krisis tersebut akan berkembang atau berubah menjadi perang terbuka antara kedua belah pihak berseteru.

Berdasarkan situasi terkini, baik Korsel maupun Korut pada prinsipnya sama-sama sudah siap untuk menjalani perang babak kedua. Perang babak pertama antara kedua negara berlangsung selama sekitar 3 tahun (1950-1953). Perang berhenti berdasarkan persetujuan  gencatan senjata, bukan perjanjian damai, sehingga selama 60 tahun terakhir kedua negara secara teknis praktis masih dalam keadaan perang.

Kini, dua Korea sudah berada di ambang perang. Di satu pihak, Korsel didukung 640.000 tentara aktif dan 3,2 juta pasukan cadangan, 5.300 artileri lapangan, 200 artileri berpeluncur majemuk, 120 kapal serbu, 10 kapal selam, dan 460 pesawat tempur. Mereka didukung penuh 30.000 pasukan AS yang menggunakan sejumlah kapal serbu seperti USS John S McCain, kapal radar SBX-1, pesawat pembom tanpa awak B-2, jet tempur F-16, dan pesawat tempur F-22 Raptor.

Perang Terbuka

Di pihak lain, Korut memiliki 1,19 juta pasukan aktif plus 7,7 juta pasukan cadangan. Mereka memiliki 8.600 artileri lapangan, 4.800 artileri berpeluncur majemuk, 420 kapal serbu, 70 kapal selam, dan 820 jet tempur.

Bukan cuma itu, mereka juga dilengkapi dengan berbagai jenis rudal balistik semisal Hwasong-5 berhulu ledak 1.000 kilogram dengan jangkauan 300 kilometer, Rodong berhulu ledak 700 kilogram dan jangkauan 1300 kilometer, Musudan-ri berhulu ledak 650 kilogram dan jangkauan lebih dari 3.000 kilometer, dan Taepodong-2 berhulu ledak 650-1.000 kilogram dengan jangkauan lebih dari 6.700 kilometer.  

Merujuk statemen Kim Jong-un, tidaklah keliru sejumlah pihak berspekulasi krisis Semenanjung Korea bisa berubah menjadi perang terbuka setelah 10 April 2013.
Dengan peta kekuatan kedua pihak seperti itu, dikhawatirkan perang sulit diakhiri bilamana konflik terbuka antara Korut dan Korsel benar-benar tidak dapat dihindari setelah tanggal itu.

Karenanya, sangatlah tepat keputusan ASEAN akan menggelar pertemuan tingkat menteri luar negeri dalam pekan ini guna membahas krisis dalam rangka mencari solusi supaya konflik di Semenanjung Korea tidak berlanjut dan berkembang menjadi konfrontasi senjata terbuka.

Keputusan ASEAN itu tentu dapat dipandang sebagai konsistensi sekaligus uji kompetensi untuk menjadi sentra kekuatan berpengaruh bagi penciptaan ataupun penjagaan stabilitas perdamaian dan keamanan di kawasan Asia Tenggara, dan Asia Timur umumnya.

Mudah-mudahan ASEAN tidak menemui banyak kesulitan dalam mewujudkan konsistensi dan uji kompetensi itu, mengingat baik Korsel, AS, Korut, maupun China yang mungkin saja membantu Pyongyang dalam berhadapan dengan Korsel dan AS, telah menandatangani TAC treaty of amity and cooperation (TAC) prakarsa ASEAN. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar