"Tepat, keputusan ASEAN
menggelar pertemuan tingkat menlu guna mencari solusi konflik Semenanjung
Korea"
Krisis di Semenanjung Korea terus bergerak menuju situasi yang
lebih serius, sensitif, dan makin berbahaya seiring dengan keputusan
provokatif kedua belah pihak yang saling berhadapan: Korea Selatan
(Korsel) plus Amerika Serikat (AS) di satu pihak, dan Korea Utara (Korut)
di pihak lain.
Aksi nyata di lapangan berupa latihan gabungan pasukan Korsel
dengan AS bersandi Foal Eagle,
menggunakan beragam peranti tempur serbamodern, yang dijadwalkan
berlangsung hingga 30 April 2013, membuat otoritas Korut meradang dan
mengeluarkan banyak pernyataan provokatif.
Presiden Korsel Park Geun-hye pada 1 April lalu pun menyatakan akan
merespons tegas dan keras tanpa mempertimbangkan aspek politik bilamana
militer Korut memulai perang. Pernyataan perempuan presiden pertama
Korsel itu terasa lugas sehingga tidak menimbulkan kesan hanya sekadar
gertak sambal.
Di pihak Korut, kurang dari sepekan terakhir otoritas di negara
tersebut mengambil dua keputusan yang tidak bisa dipandang sebagai
gertak sambal belaka. Pertama; keputusan parlemen negeri komunis Stalinis
itu merestui militer untuk melancarkan serangan nuklir ke wilayah AS jika
konfrontasi senjata benar-benar tak terelakkan.
Terlepas riil tidaknya ancaman serangan balasan (senjata) nuklir ke
AS oleh Korut --mengingat sejauh ini belum muncul bukti otentik Korut
sudah memiliki senjata nuklir--, semestinya pihak mana pun tidak
memandang sebelah mata atau meremehkan ancaman serangan senjata nuklir
Korut tersebut.
Kedua; pernyataan pemimpin Korut Kim Jong-un yang tidak dapat
menjamin keamanan perwakilan-perwakilan asing di Pyongyang setelah
tanggal 10 April 2013. Tipikal kepemimpinan Kim Jong-un tak jauh berbeda
dari gaya kepemimpinan sang kakek (Kim Il-sung .1948-1994) atuaupun ayah
(Kim Jong-ill, 1994-2011). Terutama menyangkut Korsel dan sekutunya,
kebijakan yang diambil selalu konfrontatif antagonistik.
Perkembangan terkini krisis Semenanjung Korea agaknya membuat
eskalasi persoalan tersebut tidak lagi berhenti pada pertanyaan apakah
krisis itu akan berkembang menjadi perang terbuka ataukah tidak, tapi
kapan krisis tersebut akan berkembang atau berubah menjadi perang terbuka
antara kedua belah pihak berseteru.
Berdasarkan situasi terkini, baik Korsel maupun Korut pada prinsipnya
sama-sama sudah siap untuk menjalani perang babak kedua. Perang babak
pertama antara kedua negara berlangsung selama sekitar 3 tahun
(1950-1953). Perang berhenti berdasarkan persetujuan gencatan
senjata, bukan perjanjian damai, sehingga selama 60 tahun terakhir kedua
negara secara teknis praktis masih dalam keadaan perang.
Kini, dua Korea sudah berada di ambang perang. Di satu pihak,
Korsel didukung 640.000 tentara aktif dan 3,2 juta pasukan cadangan,
5.300 artileri lapangan, 200 artileri berpeluncur majemuk, 120 kapal
serbu, 10 kapal selam, dan 460 pesawat tempur. Mereka didukung penuh
30.000 pasukan AS yang menggunakan sejumlah kapal serbu seperti USS John
S McCain, kapal radar SBX-1, pesawat pembom tanpa awak B-2, jet tempur
F-16, dan pesawat tempur F-22 Raptor.
Perang Terbuka
Di pihak lain, Korut memiliki 1,19 juta pasukan aktif plus 7,7 juta
pasukan cadangan. Mereka memiliki 8.600 artileri lapangan, 4.800 artileri
berpeluncur majemuk, 420 kapal serbu, 70 kapal selam, dan 820 jet tempur.
Bukan cuma itu, mereka juga dilengkapi dengan berbagai jenis rudal
balistik semisal Hwasong-5 berhulu ledak 1.000 kilogram dengan jangkauan
300 kilometer, Rodong berhulu ledak 700 kilogram dan jangkauan 1300
kilometer, Musudan-ri berhulu ledak 650 kilogram dan jangkauan lebih dari
3.000 kilometer, dan Taepodong-2 berhulu ledak 650-1.000 kilogram dengan
jangkauan lebih dari 6.700 kilometer.
Merujuk statemen Kim Jong-un, tidaklah keliru sejumlah pihak
berspekulasi krisis Semenanjung Korea bisa berubah menjadi perang terbuka
setelah 10 April 2013.
Dengan peta kekuatan kedua pihak seperti itu, dikhawatirkan perang
sulit diakhiri bilamana konflik terbuka antara Korut dan Korsel
benar-benar tidak dapat dihindari setelah tanggal itu.
Karenanya, sangatlah tepat keputusan ASEAN akan menggelar pertemuan
tingkat menteri luar negeri dalam pekan ini guna membahas krisis dalam
rangka mencari solusi supaya konflik di Semenanjung Korea tidak berlanjut
dan berkembang menjadi konfrontasi senjata terbuka.
Keputusan ASEAN itu tentu dapat dipandang sebagai konsistensi
sekaligus uji kompetensi untuk menjadi sentra kekuatan berpengaruh bagi
penciptaan ataupun penjagaan stabilitas perdamaian dan keamanan di
kawasan Asia Tenggara, dan Asia Timur umumnya.
Mudah-mudahan ASEAN tidak menemui banyak kesulitan dalam mewujudkan
konsistensi dan uji kompetensi itu, mengingat baik Korsel, AS, Korut,
maupun China yang mungkin saja membantu Pyongyang dalam berhadapan dengan
Korsel dan AS, telah menandatangani TAC treaty of amity and cooperation (TAC) prakarsa ASEAN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar