Selasa, 09 April 2013

Votalitas Harga Pangan


Votalitas Harga Pangan
Ihwan Sudrajat ;  Pengamat Masalah Perekonomian
SUARA MERDEKA, 09 April 2013


Laporan Badan Pusat Statistik menyatakan, tingkat inflasi Maret 2013 mencapai 0,63%, angka yang sangat tinggi dibanding inflasi pada bulan yang sama tahun 2012 (0,07%) dan 2011 (minus 0,31%). Total inflasi Januari-Maret 2013 mencapai 2,43%, adapun target inflasi tahun 2013 adalah 4,9%. Hal itu mengindikasikan setengah dari target inflasi terpenuhi hanya dalam 3 bulan, dan kita berharap inflasi tahun 2013 tidak melampaui target karena merugikan perkembangan ekonomi nasional.

Namun ada satu hal yang harus kita waspadai, yakni kemeningkatan tekanan bahan makanan terhadap inflasi nasional, yang terlihat dari dominasi kontribusi, yaitu 80,95% untuk inflasi Maret 2013 (2,4%). Kondisi itu tidak biasanya karena selama 7 tahun (2006-2013) indeks harga konsumen untuk bahan makanan selalu defisit tiap Maret. Inflasi bahan makanan hanya terjadi tahun  2008 (1,44%) dan 2007 (0,16%), yang jauh di bawah angka Maret 2013.

Inflasi tinggi tak terlepas dari kenaikan harga bawang merah, bawang putih, dan daging sapi yang luar biasa, yang tidak pernah terjadi selama 7 tahun terakhir, sehingga berdampak pada kenaikan inflasi sektor-sektor lain. Secara kebetulan tiga komoditas itu masih diimpor dalam volume besar, terutama bawang putih (90%) dan daging sapi (kuota 18%).

Tahun 1990-an bawang putih masih banyak dibudidayakan petani dengan total produksi 119 ribu ton, dan impor hanya 13 ribu ton. Namun untuk realisasi semester I-2012 saja, kita sudah mengimpor 200 ribu ton. Adapun bawang merah, kita sudah mengimpor 88 ribu ton, dan daging sapi tahun 2012 sekitar 82.500 ton, atau 20% dari kebutuhan 450 ribu ton.

Kebijakan pengendalian impor beberapa komoditas hortikultura lewat Permendag Nomor 60 Tahun 2012 dan Permentan Nomor 60 Tahun 2012 mempunyai tujuan visioner, yaitu mendorong produksi hortikultura dalam negeri.  

Kebijakan ini secara efektif telah mengurangi impor buah pada tahun 2011, dari 1,2 juta ton menjadi 800 ribu ton. Namun dampak terhadap inflasi menjadi signifikan. Hal ini menunjukkan  pendapatan masyarakat makin membaik, makin terbiasa mengonsumsi buah impor yang  telah lama mengisi pasar domestik dengan volume dan sebaran distribusi yang luar biasa

Pendataan yang lebih baik tampaknya perlu dilakukan agar pemerintah dapat mengambil kebijakan yang lebih tepat. Mengumpulkan data yang benar dan riil bukan pekerjaan mudah. Saya masih ingat ketika swasembada gula ditargetkan Kementan akan tercapai tahun 2007, yang kemudian terus diundur ke tahun berikutnya,  hingga tahun 2012 pun belum juga tercapai tanpa ada evaluasi secara komprehensif.

Seakan-akan begitu mudah merancang target dan tidak ada hal yang salah ketika target itu tidak tercapai. Hal yang sama sepertinya menjadi alasan yang mendasari Menperdag  menerbitkan peraturan pengendalian impor hortikultura, meskipun pasar domestik belum siap mengisi kekosongan akibat kemenurunan impor hortikultura.

Data yang lemah ternyata juga diikuti dengan koordinasi yang lemah, yang akhirnya merugikan masyarakat.  Harga bahan makanan yang tinggi dan gejolak ketidakpastian harga terus-menerus akan berdampak negatif terhadap setiap usaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Bagi masyarakat Indonesia dengan tingkat pengeluaran rumah tangga 54,56% dari total produk domestik bruto 2012, sebagian besar digunakan untuk membiayai pengeluaran makanan, tatkala daya beli untuk membeli bahan pangan berkurang maka akan mengakibatkan kemeluasan ketidakadilan sosial dan kemiskinan bertambah karena tingkat inflasi yang tinggi.

Menjaga Inflasi

Indonesia telah membuktikan mampu menjaga pertumbuhan ekonomi tinggi, sejajar dengan China dan India. Pertumbuhan masyarakat kelas menengah juga paling cepat dibanding  negara ASEAN lainnya, termasuk tenaga produktifnya, sehingga kita berpotensi menjadi kekuatan ekonomi ke-6 di dunia.
Realitas itu diikuti oleh peningkatan kebutuhan bahan makanan sehingga pemerintah perlu mengantisipasi kemelonjakan permintaan komoditas tersebut. Termasuk mengurangi ketergantungan dari pasar pangan internasional supaya kita terhindar dari tekanan harga internasional.

Ketergantungan yang besar terhadap pasar internasional akan mengurangi kekuatan ekonomi domestik guna menjaga inflasi dan memaksimalkan investasi. Tingkat inflasi yang lebih tinggi dari target akan mendorong peningkatan suku bunga bank dan membuat investasi menjadi tak lagi menarik.
Langkah mewujudkan swasembada beberapa komoditas penting harus terus dilakukan melalui APBN dan APBD serta memberi insentif besar kepada swasta yang mengembangkan usaha pertanian berskala besar. Mewujudkan swasembada bahan makanan bukanlah hal mudah, mengingat selain berisiko tinggi karena sangat bergantung pada kemurahan alam, juga mempunyai margin relatif rendah sehingga kurang menarik dibanding sektor lain.

Untuk itu, kita memerlukan data yang akurat dan koordinasi yang intensif antarinstitusi pemerintah supaya makin banyak ’’tongkat kayu yang bisa jadi tanaman’’, dan fluktuasi harga bahan makanan tidak membuat kita mudah terserang ’’penyakit jantung’’. Artinya, kita benar-benar bisa mendayagunakan rahmat yang telah diberikan Tuhan, berupa keberlimbahan sumber daya alam di negeri yang subur, gemah ripah loh jinawi.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar