Laporan
Badan Pusat Statistik menyatakan, tingkat inflasi Maret 2013 mencapai
0,63%, angka yang sangat tinggi dibanding inflasi pada bulan yang sama
tahun 2012 (0,07%) dan 2011 (minus 0,31%). Total inflasi Januari-Maret
2013 mencapai 2,43%, adapun target inflasi tahun 2013 adalah 4,9%. Hal
itu mengindikasikan setengah dari target inflasi terpenuhi hanya dalam 3
bulan, dan kita berharap inflasi tahun 2013 tidak melampaui target karena
merugikan perkembangan ekonomi nasional.
Namun
ada satu hal yang harus kita waspadai, yakni kemeningkatan tekanan bahan
makanan terhadap inflasi nasional, yang terlihat dari dominasi
kontribusi, yaitu 80,95% untuk inflasi Maret 2013 (2,4%). Kondisi itu
tidak biasanya karena selama 7 tahun (2006-2013) indeks harga konsumen
untuk bahan makanan selalu defisit tiap Maret. Inflasi bahan makanan
hanya terjadi tahun 2008 (1,44%) dan 2007 (0,16%), yang jauh di
bawah angka Maret 2013.
Inflasi
tinggi tak terlepas dari kenaikan harga bawang merah, bawang putih, dan
daging sapi yang luar biasa, yang tidak pernah terjadi selama 7 tahun
terakhir, sehingga berdampak pada kenaikan inflasi sektor-sektor lain.
Secara kebetulan tiga komoditas itu masih diimpor dalam volume besar,
terutama bawang putih (90%) dan daging sapi (kuota 18%).
Tahun
1990-an bawang putih masih banyak dibudidayakan petani dengan total
produksi 119 ribu ton, dan impor hanya 13 ribu ton. Namun untuk realisasi
semester I-2012 saja, kita sudah mengimpor 200 ribu ton. Adapun bawang
merah, kita sudah mengimpor 88 ribu ton, dan daging sapi tahun 2012
sekitar 82.500 ton, atau 20% dari kebutuhan 450 ribu ton.
Kebijakan
pengendalian impor beberapa komoditas hortikultura lewat Permendag Nomor
60 Tahun 2012 dan Permentan Nomor 60 Tahun 2012 mempunyai tujuan
visioner, yaitu mendorong produksi hortikultura dalam negeri.
Kebijakan
ini secara efektif telah mengurangi impor buah pada tahun 2011, dari 1,2
juta ton menjadi 800 ribu ton. Namun dampak terhadap inflasi menjadi
signifikan. Hal ini menunjukkan pendapatan masyarakat makin
membaik, makin terbiasa mengonsumsi buah impor yang telah lama
mengisi pasar domestik dengan volume dan sebaran distribusi yang luar
biasa
Pendataan
yang lebih baik tampaknya perlu dilakukan agar pemerintah dapat mengambil
kebijakan yang lebih tepat. Mengumpulkan data yang benar dan riil bukan
pekerjaan mudah. Saya masih ingat ketika swasembada gula ditargetkan
Kementan akan tercapai tahun 2007, yang kemudian terus diundur ke tahun
berikutnya, hingga tahun 2012 pun belum juga tercapai tanpa ada
evaluasi secara komprehensif.
Seakan-akan
begitu mudah merancang target dan tidak ada hal yang salah ketika target
itu tidak tercapai. Hal yang sama sepertinya menjadi alasan yang
mendasari Menperdag menerbitkan peraturan pengendalian impor
hortikultura, meskipun pasar domestik belum siap mengisi kekosongan
akibat kemenurunan impor hortikultura.
Data
yang lemah ternyata juga diikuti dengan koordinasi yang lemah, yang
akhirnya merugikan masyarakat. Harga bahan makanan yang tinggi dan
gejolak ketidakpastian harga terus-menerus akan berdampak negatif
terhadap setiap usaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Bagi
masyarakat Indonesia dengan tingkat pengeluaran rumah tangga 54,56% dari
total produk domestik bruto 2012, sebagian besar digunakan untuk
membiayai pengeluaran makanan, tatkala daya beli untuk membeli bahan
pangan berkurang maka akan mengakibatkan kemeluasan ketidakadilan sosial
dan kemiskinan bertambah karena tingkat inflasi yang tinggi.
Menjaga Inflasi
Indonesia
telah membuktikan mampu menjaga pertumbuhan ekonomi tinggi, sejajar
dengan China dan India. Pertumbuhan masyarakat kelas menengah juga paling
cepat dibanding negara ASEAN lainnya, termasuk tenaga produktifnya,
sehingga kita berpotensi menjadi kekuatan ekonomi ke-6 di dunia.
Realitas
itu diikuti oleh peningkatan kebutuhan bahan makanan sehingga pemerintah
perlu mengantisipasi kemelonjakan permintaan komoditas tersebut. Termasuk
mengurangi ketergantungan dari pasar pangan internasional supaya kita
terhindar dari tekanan harga internasional.
Ketergantungan
yang besar terhadap pasar internasional akan mengurangi kekuatan ekonomi
domestik guna menjaga inflasi dan memaksimalkan investasi. Tingkat
inflasi yang lebih tinggi dari target akan mendorong peningkatan suku
bunga bank dan membuat investasi menjadi tak lagi menarik.
Langkah
mewujudkan swasembada beberapa komoditas penting harus terus dilakukan
melalui APBN dan APBD serta memberi insentif besar kepada swasta yang mengembangkan
usaha pertanian berskala besar. Mewujudkan swasembada bahan makanan
bukanlah hal mudah, mengingat selain berisiko tinggi karena sangat
bergantung pada kemurahan alam, juga mempunyai margin relatif rendah
sehingga kurang menarik dibanding sektor lain.
Untuk
itu, kita memerlukan data yang akurat dan koordinasi yang intensif
antarinstitusi pemerintah supaya makin banyak ’’tongkat kayu yang bisa jadi tanaman’’, dan fluktuasi harga
bahan makanan tidak membuat kita mudah terserang ’’penyakit jantung’’.
Artinya, kita benar-benar bisa mendayagunakan rahmat yang telah diberikan
Tuhan, berupa keberlimbahan sumber daya alam di negeri yang subur, gemah ripah loh jinawi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar