Selasa, 09 April 2013

Abraham Samad Melawan?


Abraham Samad Melawan?
Tjipta Lesmana ;  Mantan Anggota Komisi Konstitusi
SINAR HARAPAN, 09 April 2013


Etika dan moralitas tidak sama. Moralitas adalah standar perilaku (code of conducts), prinsip-prinsip dasar yang mengatur perilaku manusia. Kadang disebut juga prinsip perilaku yang baik dan buruk. Pada setiap masyarakat selalu dijumpai pedoman tersebut. Hanya karena penegakan moralitas-lah, suatu masyarakat bisa bertahan lama.

Etika, menurut Prof Frans Magnis Suseno – Guru Besar Ilmu Etika Universitas Indonesia, tidak lain morality in question atau moralitas yang digugat. Ketika orang menggugat keabsahan sebuah standar perilaku, dia sebenarnya berbicara mengenai etika. Jangan mencuri atau merampok, sebab perbuatan itu merugikan orang banyak. Itu moralitas.

Namun, jika seseorang bertanya: Apakah saya tidak boleh mencuri demi menyelamatkan ibu saya yang sedang sekarat di rumah sakit? Jangan korupsi. Tapi, salahkah saya jika saya menerima hadiah sebesar Rp 2 miliar dari seseorang sebagai “ucapan terima kasih” atas jasa yang telah saya berikan kepadanya? Jangan sengaja merangsang penonton ketika Anda menari. Tapi, Inul akan berkilah: ”Salah Anda sendiri kenapa Anda terangsang melihat goyang pinggul saya yang merupakan bentuk seni…”

Diskusi tentang etika kerap kali terjebak dalam ”daerah abu-abu” yang berkepanjangan; selalu membuka pendapat pro dan kontra.

Contoh paling konkret adalah sikap publik terhadap keputusan Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pimpinan Anies Baswedan. Kesimpulan Komite Etik KPK tentang kasus bocornya sprindik (surat perintah penyidikan) atas nama Anas Urbaningrum setelah bekerja satu bulan lebih adalah: Pertama, yang membocorkan dokumen tersebut Wiwin Suwandi, Sekretaris Abraham Samad.

Kedua, Abraham Samad selaku Ketua KPK dinilai telah melakukan pelanggaran etika KPK, yaitu melakukan komunikasi dengan pihak eksternal KPK terkait kasus-kasus di KPK termasuk kasus Anas. Abraham juga dinilai tidak segera melakukan koordinasi dengan pemimpin KPK lainnya setelah bocornya sprindik milik Anas. Kesalahan lain Abraham: ia tidak bersedia BlackBerry-nya dilakukan kloning. Tindakan tersebut dinilai tidak kooperatif.

Paling sedikit tiga wakil rakyat di Senayan, Marzuki Alie, Martin Hutabarat dan Eva Sundari memuji hasil kerja Komite Etik. Menurut mereka, Komite Etik sudah bekerja profesional. Ketua KPK sudah dihukum, tapi hukumannya tidak mematikan untuk menjaga kekompakan pemimpin KPK. Sebaliknya, Saan Mustofa, Hendardi dan Petra M Zein mengecam keputusan Komite Etik.
Hendardi mengkritik kenapa Komite tidak mengusut motivasi di balik pembocoran sprindik. Hal ini penting diketahui untuk menetapkan berat-ringannya hukuman kepada si pelaku. Kalau ada unsur kriminal, pelakunya harus diseret ke pengadilan.

Fahmi Idris – fungsionaris Partai Golkar dan mantan Menteri Perindustrian, bersama beberapa aktivis, antara lain Adhie Massardi, Kamis pekan lalu secara khusus mendatangi KPK untuk memberikan dukungan moril kepada Abraham. Mereka mengecam keputusan Komite Etik. Menurut Fahmi dkk, Abraham terbukti tidak membocorkan sprindik, lalu kenapa dihukum?

Memang Komite Etik terkesan bekerja setengah-setengah, tidak tuntas. Benar, yang membocorkan sprindik adalah Wiwin. Tapi, benarkah Wiwin memberikan hasil scan sprindik kepada wartawan atas inisiatif sendiri, bukan disuruh Ketua KPK? Atau minimal atas persetujuan Abraham? Apa dia berani bertindak sendiri, padahal hubungan Wiwin dan Abraham sangat dekat? (Wiwin adik kelas Abraham di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin).

Motivasi, atau intensi, sama sekali tidak dikuak! Komite Etik mungkin saja berpendapat itu bukan ranah mereka. Padahal, ini faktor sentral dalam kasus pembocoran sprindik dan tidak sukar dikuak, kalau Komite mau. Jangan lupa, ilmu komunikasi mengajarkan bahwa manusia berkomunikasi [hampir selalu] didasarkan intensi atau maksud tertentu (Communication is always intentional).

Intensi atau motivasi, jika terkuak, selanjutnya dapat menjawab pertanyaan yang lebih akbar lagi: Apakah pembocoran sprindik terkait dengan gonjang-ganjing Partai Demokrat? Lebih konkret lagi, apakah terkait dengan upaya sejumlah petinggi Demokrat sejak beberapa waktu lalu untuk mendepak Anas Urbaningrum, sebab Anas dinilai biang keladi anjloknya popularitas Partai Demokrat?
Jika tujuan pembocoran sprindik terungkap, pada akhirnya, kita bisa mengetahui apakah KPK – atau unsur pemimpin tertentu -- ”bermain mata” dengan pihak kekuasaan atau KPK memang diintervensi pihak kekuasaan?

Pertanyaan ini bukan mengada-ada! Sebelum sprindik atas nama Anas Urbaningrum bocor, pernah terjadi BAP hasil penyidikan di KPK pun bocor, bahkan dikutip leluasa cukup lengkap oleh satu dua media cetak! Kenapa terhadap sprindik, KPK cepat membentuk Komite Etik untuk mengusutnya, sedang terhadap bocornya BAP tidak?

Padahal, membocorkan hasil BAP bisa dinilai jauh lebih serius kesalahannya dibandingkan sprindik. Kalau ada ahli hukum yang berpendapat bahwa sprindik masuk dalam kategori ”rahasia negara”, bagaimana pula dengan BAP?

”Daerah abu-abu” masalah etik terbukti pula dengan sikap Abraham Samad pascavonis atas dirinya. Abraham Samad menganggap keputusan Komite Etik berlebihan. Ia tidak bisa menerima dirinya dikaitkan dengan perbuatan sekretarisnya, Wiwin Suwandi.

Abraham bahkan menuding Komite Etik tidak mengerti langkah pemberantasan korupsi sebenarnya. Menurut Ketua KPK, langkah-langkah radikal yang ditempuhnya dalam memberantas korupsi di Indonesia adalah hal wajar.

Harapan publik bahwa pemimpin KPK tetap kompak dan solid pascakeputusan Komite Etik, tampaknya, bakal sulit diwujudkan. Paling tidak, Abraham merasa sudah ”terluka”, apalagi salah satu Wakil Ketua KPK juga duduk sebagai anggota Komite Etik. Toh, kita tetap berharap KPK fokus dan tidak patah semangat untuk menjerat setiap koruptor kakap yang merampok uang rakyat secara sewenang-wenang! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar