Etika dan moralitas tidak sama. Moralitas adalah
standar perilaku (code of conducts),
prinsip-prinsip dasar yang mengatur perilaku manusia. Kadang disebut juga
prinsip perilaku yang baik dan buruk. Pada setiap masyarakat selalu
dijumpai pedoman tersebut. Hanya karena penegakan moralitas-lah, suatu
masyarakat bisa bertahan lama.
Etika, menurut Prof Frans Magnis Suseno – Guru Besar
Ilmu Etika Universitas Indonesia, tidak lain morality in question atau moralitas yang digugat. Ketika
orang menggugat keabsahan sebuah standar perilaku, dia sebenarnya
berbicara mengenai etika. Jangan mencuri atau merampok, sebab perbuatan
itu merugikan orang banyak. Itu moralitas.
Namun, jika seseorang bertanya: Apakah saya tidak
boleh mencuri demi menyelamatkan ibu saya yang sedang sekarat di rumah
sakit? Jangan korupsi. Tapi, salahkah saya jika saya menerima hadiah
sebesar Rp 2 miliar dari seseorang sebagai “ucapan terima kasih” atas jasa yang telah saya berikan
kepadanya? Jangan sengaja merangsang penonton ketika Anda menari. Tapi,
Inul akan berkilah: ”Salah Anda
sendiri kenapa Anda terangsang melihat goyang pinggul saya yang merupakan
bentuk seni…”
Diskusi tentang etika kerap kali terjebak dalam
”daerah abu-abu” yang berkepanjangan; selalu membuka pendapat pro dan
kontra.
Contoh paling konkret adalah sikap publik terhadap
keputusan Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pimpinan Anies
Baswedan. Kesimpulan Komite Etik KPK tentang kasus bocornya sprindik
(surat perintah penyidikan) atas nama Anas Urbaningrum setelah bekerja
satu bulan lebih adalah: Pertama, yang membocorkan dokumen tersebut Wiwin
Suwandi, Sekretaris Abraham Samad.
Kedua, Abraham Samad selaku Ketua KPK dinilai telah
melakukan pelanggaran etika KPK, yaitu melakukan komunikasi dengan pihak
eksternal KPK terkait kasus-kasus di KPK termasuk kasus Anas. Abraham
juga dinilai tidak segera melakukan koordinasi dengan pemimpin KPK
lainnya setelah bocornya sprindik milik Anas. Kesalahan lain Abraham: ia
tidak bersedia BlackBerry-nya dilakukan kloning. Tindakan tersebut dinilai tidak kooperatif.
Paling sedikit tiga wakil rakyat di Senayan, Marzuki
Alie, Martin Hutabarat dan Eva Sundari memuji hasil kerja Komite Etik.
Menurut mereka, Komite Etik sudah bekerja profesional. Ketua KPK sudah
dihukum, tapi hukumannya tidak mematikan untuk menjaga kekompakan
pemimpin KPK. Sebaliknya, Saan Mustofa, Hendardi dan Petra M Zein
mengecam keputusan Komite Etik.
Hendardi mengkritik kenapa Komite tidak mengusut
motivasi di balik pembocoran sprindik. Hal ini penting diketahui untuk
menetapkan berat-ringannya hukuman kepada si pelaku. Kalau ada unsur
kriminal, pelakunya harus diseret ke pengadilan.
Fahmi Idris – fungsionaris Partai Golkar dan mantan
Menteri Perindustrian, bersama beberapa aktivis, antara lain Adhie
Massardi, Kamis pekan lalu secara khusus mendatangi KPK untuk memberikan
dukungan moril kepada Abraham. Mereka mengecam keputusan Komite Etik.
Menurut Fahmi dkk, Abraham terbukti tidak membocorkan sprindik, lalu
kenapa dihukum?
Memang Komite Etik terkesan bekerja
setengah-setengah, tidak tuntas. Benar, yang membocorkan sprindik
adalah Wiwin. Tapi, benarkah Wiwin memberikan hasil scan sprindik kepada
wartawan atas inisiatif sendiri, bukan disuruh Ketua KPK? Atau minimal
atas persetujuan Abraham? Apa dia berani bertindak sendiri, padahal
hubungan Wiwin dan Abraham sangat dekat? (Wiwin adik kelas Abraham di
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin).
Motivasi, atau intensi, sama sekali tidak dikuak!
Komite Etik mungkin saja berpendapat itu bukan ranah mereka. Padahal, ini
faktor sentral dalam kasus pembocoran sprindik dan tidak sukar dikuak,
kalau Komite mau. Jangan lupa, ilmu komunikasi mengajarkan bahwa manusia
berkomunikasi [hampir selalu] didasarkan intensi atau maksud tertentu (Communication is always intentional).
Intensi atau motivasi, jika terkuak, selanjutnya
dapat menjawab pertanyaan yang lebih akbar lagi: Apakah pembocoran
sprindik terkait dengan gonjang-ganjing Partai Demokrat? Lebih konkret
lagi, apakah terkait dengan upaya sejumlah petinggi Demokrat sejak
beberapa waktu lalu untuk mendepak Anas Urbaningrum, sebab Anas dinilai
biang keladi anjloknya popularitas Partai Demokrat?
Jika tujuan pembocoran sprindik terungkap, pada
akhirnya, kita bisa mengetahui apakah KPK – atau unsur pemimpin tertentu
-- ”bermain mata” dengan pihak kekuasaan atau KPK memang diintervensi
pihak kekuasaan?
Pertanyaan ini bukan mengada-ada! Sebelum sprindik
atas nama Anas Urbaningrum bocor, pernah terjadi BAP hasil penyidikan di
KPK pun bocor, bahkan dikutip leluasa cukup lengkap oleh satu dua media
cetak! Kenapa terhadap sprindik, KPK cepat membentuk Komite Etik untuk
mengusutnya, sedang terhadap bocornya BAP tidak?
Padahal, membocorkan hasil BAP bisa dinilai jauh
lebih serius kesalahannya dibandingkan sprindik. Kalau ada ahli hukum
yang berpendapat bahwa sprindik masuk dalam kategori ”rahasia negara”,
bagaimana pula dengan BAP?
”Daerah abu-abu” masalah etik terbukti pula dengan sikap
Abraham Samad pascavonis atas dirinya. Abraham Samad menganggap keputusan
Komite Etik berlebihan. Ia tidak bisa menerima dirinya dikaitkan dengan
perbuatan sekretarisnya, Wiwin Suwandi.
Abraham bahkan menuding Komite Etik tidak mengerti
langkah pemberantasan korupsi sebenarnya. Menurut Ketua KPK,
langkah-langkah radikal yang ditempuhnya dalam memberantas korupsi di
Indonesia adalah hal wajar.
Harapan publik bahwa pemimpin KPK tetap kompak dan
solid pascakeputusan Komite Etik, tampaknya, bakal sulit diwujudkan.
Paling tidak, Abraham merasa sudah ”terluka”, apalagi salah satu Wakil
Ketua KPK juga duduk sebagai anggota Komite Etik. Toh, kita tetap
berharap KPK fokus dan tidak patah semangat untuk menjerat setiap
koruptor kakap yang merampok uang rakyat secara sewenang-wenang! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar