Selasa, 16 April 2013

Dampak Ekonomi Subsidi Energi


Dampak Ekonomi Subsidi Energi
Anwar Nasution  Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
KOMPAS, 16 April 2013

  
Beban ekonomi subsidi energi (bahan bakar minyak, gas alam, batubara, dan listrik) pada perekonomian Indonesia sudah terasa semakin berat. Beban tersebut terasa pada pengeluaran anggaran negara dan neraca pembayaran luar negeri ataupun pada gangguannya terhadap pertumbuhan ekonomi serta pemerataan pendapatan masyarakat dan masalah lingkungan.
Untuk meniadakan beban yang tidak perlu itu, pemerintah perlu segera mengurangi subsidi atas energi secara bertahap dan menetapkan jadwal waktu untuk sama sekali meniadakannya. Di negara berkembang seperti Indonesia, subsidi harga energi yang dinikmati oleh konsumen terjadi karena harga jualnya lebih rendah daripada ongkos produksi ataupun biaya perolehannya. Dalam istilah ekonomi, subsidi kepada konsumen seperti itu disebut pre-tax subsidies.
Negara maju memberikan subsidi pajak (tax subsidies) kepada konsumen karena pajak belum mencakup dampak eksternalitas konsumsi energi, seperti dampak negatif emisi gas CO2 dan SO2 pada lingkungan hidup yang mengganggu kesehatan. Penjumlahan dari kedua jenis subsidi yang diberikan kepada konsumen itu disebut sebagai post-tax subsidies. Di lain pihak, produsen juga mendapatkan subsidi yang disebut sebagai producer subsidies untuk menutup kerugian keuangannya akibat dari inefisiensinya sendiri.
Dampak Ekonomi Subsidi Energi
Beban APBN yang berat atas subsidi energi tecermin dari besarnya pengeluaran subsidi BBM dan listrik yang dewasa ini sudah mencapai sekitar 20 persen dari seluruh pengeluaran negara dan lebih dari 26 persen dari pengeluaran pemerintah pusat pada tahun anggaran 2013. Tidak ada informasi tentang subsidi pada penggunaan batubara dan gas bumi. Mata anggaran subsidi atas BBM dan listrik tersebut merupakan jenis pengeluaran terbesar dalam APBN dan mencapai 126 persen dari belanja pegawai, hampir dua kali lipat dari belanja barang, lebih dari 160 persen dari belanja modal, dan 535 persen dari pembayaran bunga utang. Menurut perhitungan Dana Moneter Internasional (IMF), diukur sebagai persentase terhadap produk domestik bruto, pada 2011 Indonesia memberikan post-tax subsidies 3,87 persen pada BBM, 0,72 persen pada listrik, 0,30 persen pada gas alam, dan 0,47 persen pada batubara.
Dengan semakin besarnya porsi APBN untuk keperluan subsidi energi, semakin berkurang dana yang tersedia bagi pendidikan dan kesehatan masyarakat. Padahal, kedua jenis pengeluaran ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas SDM yang diperlukan bagi pembangunan nasional guna meningkatkan produktivitas dalam menghadapi persaingan regional dan global. Subsidi energi yang terlalu besar menyerap porsi APBN sekaligus mengganggu tersedianya dana sosial yang diperlukan untuk membantu golongan masyarakat miskin maupun dana guna membangun infrastruktur yang sangat langka dewasa ini. Tanpa SDM bermutu dan infrastruktur memadai, kita akan tetap jadi pemasok bahan mentah dan tenaga kerja kasar dengan pendidikan serta keahlian rendah ke mancanegara.
Peningkatan harga energi (minyak dan gas bumi serta batubara) di pasar dunia semakin memberatkan beban neraca pembayaran luar negeri. Nilai impor migas pada tahun 2012 sudah lebih tinggi daripada nilai ekspornya yang menggambarkan bahwa Indonesia bukan lagi merupakan eksportir neto. Sebagian dari produksi migas dan batubara dalam negeri diwajibkan oleh pemerintah untuk dijual di pasar lokal dengan harga yang lebih murah daripada di pasar dunia.
Semakin besar porsi neraca pembayaran luar negeri untuk mengimpor energi semakin sedikit valuta asing tersedia untuk mengimpor mesin dan barang modal serta suku cadang yang diperlukan bagi pembangunan nasional dan penciptaan lapangan kerja di dalam negeri. Persediaan devisa yang terbatas sekaligus membatasi kemampuan untuk berdarmawisata atau beribadah ke luar negeri, membeli barang-barang serta jasa-jasa asing termasuk resep ayam goreng Kentucky Fried Chicken, atau film serta rekaman lagu India.
Subsidi mengganggu pertumbuhan ekonomi karena di satu pihak meniadakan insentif bagi dunia usaha untuk melakukan investasi di sektor energi, di lain pihak subsidi mendorong mereka melakukan investasi pada sektor ekonomi yang banyak mengonsumsi energi.
Subsidi itu sekaligus meningkatkan kesenjangan karena BBM dan listrik tersebut lebih banyak dinikmati golongan masyarakat berpendapatan tinggi, yang selain naik sepeda motor besar untuk keperluan rekreasi, juga menggunakan mobil dengan kapasitas besar untuk kendaraan sehari-hari. Kelompok orang yang berpunya itu sekaligus menikmati AC sepanjang hari, siang dan malam, di kantor, di rumah, dan di perjalanan. Asap kendaraan bermotor yang mengandung CO2 dan SO2 di kota-kota besar menimbulkan masalah lingkungan hidup dan mengganggu kesehatan.
Strategi Penghapusan Subsidi
Pada Januari 2013 IMF mengeluarkan dua laporan studinya yang menganalisis dampak ekonomi subsidi energi. Studi tentang subsidi BBM dilakukan di 14 negara, termasuk Indonesia, sedangkan studi mengenai subsidi atas listrik serta batubara dilakukan di delapan negara. Berdasarkan studi itu, IMF memberikan rekomendasi tentang enam langkah taktik dan strategi yang diperlukan untuk menghapuskan subsidi energi tersebut.
Pertama, membahas rencana jangka menengah dan panjang untuk menghapuskan subsidi serta menganalisis dampaknya yang dikonsultasikan dengan semua pihak yang terkait dengan masalah energi dan sekaligus meminta dukungan mereka.
Kedua, menetapkan strategi komunikasi untuk melakukan diseminasi informasi secara transparan tentang subsidi energi serta transparansinya, termasuk pemuatannya dalam dokumen resmi, seperti APBN. Penetapan strategi komunikasi penting untuk menghindarkan kesalahpahaman dan salah pengertian.
Ketiga, menetapkan tahap penurunan subsidi menurut jenis produknya: BBM, gas bumi, batubara, dan listrik. Penghapusan subsidi seyogianya dimulai dari harga p roduk yang banyak dikonsumsi oleh kelompok masyarakat berpendapatan tinggi.
Keempat, meningkatkan efisiensi BUMN penghasil dan distributor energi seperti Pertamina dan PLN sebagai upaya untuk menurunkan besarnya subsidi.
Kelima, menetapkan kebijakan untuk melindungi golongan masyarakat berpendapatan rendah untuk mencegah adanya keresahan sosial.
Keenam, menetapkan mekanisme penyesuaian harga dan tarif energi yang bersifat otomatis guna mencegah terjadinya politisasi.
Secara ideal, perlindungan atau kompensasi kepada kelompok miskin diberikan dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT). BLT memberikan kebebasan kepada penerima untuk menggunakan uang tersebut menurut skala prioritasnya sendiri. Bentuk lain adalah pemberian voucer untuk mendapatkan suatu barang atau jasa dari sekelompok pilihan tertentu. Akan tetapi, BLT dan sistem voucer memerlukan kemampuan administratif yang tinggi agar tidak disalahgunakan untuk dana kampanye, tujuan politik, maupun KKN seperti yang marak di beberapa departemen hingga desa di seluruh Indonesia belakangan ini. Cara lain untuk mengompensasi kelompok miskin adalah melalui penciptaan lapangan kerja yang bersifat padat karya, pemberian subsidi pada angkutan umum, terutama di kota-kota besar, ataupun keringanan biaya sekolah.
Taktik dan strategi itu sangat diperlukan bukan saja oleh pengambil keputusan yang peragu. Walaupun Bung Karno dan Pak Harto adalah pribadi-pribadi yang kokoh dan tegas, jatuhnya Orde Lama dan Orde Baru adalah karena tidak mengikuti strategi tersebut. Sebelum harga BBM dinaikkan pada tahun 1966, inflasi sudah terjadi sejak beberapa tahun sebelumnya akibat dari ekonomi yang salah urus, kelangkaan pangan, dan devisa yang bercampur baur dengan peristiwa G30S/PKI. Selain dari kenaikan harga energi, Presiden Soeharto pun jatuh adalah juga akibat dari masalah politik, KKN, serta krisis ekonomi dan perbankan yang meningkatkan inflasi serta kurs rupiah terhadap dollar AS lebih dari tujuh kali lipat dan membangkrutkan negara, perbankan, dan dunia usaha. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar