Beban ekonomi subsidi energi
(bahan bakar minyak, gas alam, batubara, dan listrik) pada perekonomian
Indonesia sudah terasa semakin berat. Beban tersebut terasa pada
pengeluaran anggaran negara dan neraca pembayaran luar negeri ataupun
pada gangguannya terhadap pertumbuhan ekonomi serta pemerataan pendapatan
masyarakat dan masalah lingkungan.
Untuk meniadakan beban yang
tidak perlu itu, pemerintah perlu segera mengurangi subsidi atas energi
secara bertahap dan menetapkan jadwal waktu untuk sama sekali
meniadakannya. Di negara berkembang seperti Indonesia, subsidi harga
energi yang dinikmati oleh konsumen terjadi karena harga jualnya lebih
rendah daripada ongkos produksi ataupun biaya perolehannya. Dalam istilah
ekonomi, subsidi kepada konsumen seperti itu disebut pre-tax subsidies.
Negara maju memberikan subsidi
pajak (tax subsidies) kepada
konsumen karena pajak belum mencakup dampak eksternalitas konsumsi
energi, seperti dampak negatif emisi gas CO2 dan SO2 pada lingkungan
hidup yang mengganggu kesehatan. Penjumlahan dari kedua jenis subsidi
yang diberikan kepada konsumen itu disebut sebagai post-tax subsidies. Di lain pihak, produsen juga mendapatkan
subsidi yang disebut sebagai producer
subsidies untuk menutup kerugian keuangannya akibat dari
inefisiensinya sendiri.
Dampak Ekonomi Subsidi Energi
Beban APBN yang berat atas
subsidi energi tecermin dari besarnya pengeluaran subsidi BBM dan listrik
yang dewasa ini sudah mencapai sekitar 20 persen dari seluruh pengeluaran
negara dan lebih dari 26 persen dari pengeluaran pemerintah pusat pada
tahun anggaran 2013. Tidak ada informasi tentang subsidi pada penggunaan
batubara dan gas bumi. Mata anggaran subsidi atas BBM dan listrik
tersebut merupakan jenis pengeluaran terbesar dalam APBN dan mencapai 126
persen dari belanja pegawai, hampir dua kali lipat dari belanja barang,
lebih dari 160 persen dari belanja modal, dan 535 persen dari pembayaran
bunga utang. Menurut perhitungan Dana Moneter Internasional (IMF), diukur
sebagai persentase terhadap produk domestik bruto, pada 2011 Indonesia
memberikan post-tax subsidies 3,87 persen pada BBM, 0,72 persen pada
listrik, 0,30 persen pada gas alam, dan 0,47 persen pada batubara.
Dengan semakin besarnya porsi
APBN untuk keperluan subsidi energi, semakin berkurang dana yang tersedia
bagi pendidikan dan kesehatan masyarakat. Padahal, kedua jenis
pengeluaran ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas SDM yang
diperlukan bagi pembangunan nasional guna meningkatkan produktivitas
dalam menghadapi persaingan regional dan global. Subsidi energi yang
terlalu besar menyerap porsi APBN sekaligus mengganggu tersedianya dana
sosial yang diperlukan untuk membantu golongan masyarakat miskin maupun
dana guna membangun infrastruktur yang sangat langka dewasa ini. Tanpa
SDM bermutu dan infrastruktur memadai, kita akan tetap jadi pemasok bahan
mentah dan tenaga kerja kasar dengan pendidikan serta keahlian rendah ke
mancanegara.
Peningkatan harga energi (minyak
dan gas bumi serta batubara) di pasar dunia semakin memberatkan beban
neraca pembayaran luar negeri. Nilai impor migas pada tahun 2012 sudah
lebih tinggi daripada nilai ekspornya yang menggambarkan bahwa Indonesia
bukan lagi merupakan eksportir neto. Sebagian dari produksi migas dan
batubara dalam negeri diwajibkan oleh pemerintah untuk dijual di pasar
lokal dengan harga yang lebih murah daripada di pasar dunia.
Semakin besar porsi neraca
pembayaran luar negeri untuk mengimpor energi semakin sedikit valuta
asing tersedia untuk mengimpor mesin dan barang modal serta suku cadang
yang diperlukan bagi pembangunan nasional dan penciptaan lapangan kerja
di dalam negeri. Persediaan devisa yang terbatas sekaligus membatasi
kemampuan untuk berdarmawisata atau beribadah ke luar negeri, membeli
barang-barang serta jasa-jasa asing termasuk resep ayam goreng Kentucky
Fried Chicken, atau film serta rekaman lagu India.
Subsidi mengganggu pertumbuhan
ekonomi karena di satu pihak meniadakan insentif bagi dunia usaha untuk
melakukan investasi di sektor energi, di lain pihak subsidi mendorong
mereka melakukan investasi pada sektor ekonomi yang banyak mengonsumsi
energi.
Subsidi itu sekaligus
meningkatkan kesenjangan karena BBM dan listrik tersebut lebih banyak
dinikmati golongan masyarakat berpendapatan tinggi, yang selain naik
sepeda motor besar untuk keperluan rekreasi, juga menggunakan mobil
dengan kapasitas besar untuk kendaraan sehari-hari. Kelompok orang yang
berpunya itu sekaligus menikmati AC sepanjang hari, siang dan malam, di
kantor, di rumah, dan di perjalanan. Asap kendaraan bermotor yang
mengandung CO2 dan SO2 di kota-kota besar menimbulkan masalah lingkungan
hidup dan mengganggu kesehatan.
Strategi Penghapusan Subsidi
Pada Januari 2013 IMF mengeluarkan
dua laporan studinya yang menganalisis dampak ekonomi subsidi energi.
Studi tentang subsidi BBM dilakukan di 14 negara, termasuk Indonesia,
sedangkan studi mengenai subsidi atas listrik serta batubara dilakukan di
delapan negara. Berdasarkan studi itu, IMF memberikan rekomendasi tentang
enam langkah taktik dan strategi yang diperlukan untuk menghapuskan
subsidi energi tersebut.
Pertama, membahas rencana jangka
menengah dan panjang untuk menghapuskan subsidi serta menganalisis
dampaknya yang dikonsultasikan dengan semua pihak yang terkait dengan
masalah energi dan sekaligus meminta dukungan mereka.
Kedua, menetapkan strategi
komunikasi untuk melakukan diseminasi informasi secara transparan tentang
subsidi energi serta transparansinya, termasuk pemuatannya dalam dokumen
resmi, seperti APBN. Penetapan strategi komunikasi penting untuk
menghindarkan kesalahpahaman dan salah pengertian.
Ketiga, menetapkan tahap
penurunan subsidi menurut jenis produknya: BBM, gas bumi, batubara, dan
listrik. Penghapusan subsidi seyogianya dimulai dari harga p roduk yang
banyak dikonsumsi oleh kelompok masyarakat berpendapatan tinggi.
Keempat, meningkatkan efisiensi
BUMN penghasil dan distributor energi seperti Pertamina dan PLN sebagai
upaya untuk menurunkan besarnya subsidi.
Kelima, menetapkan kebijakan
untuk melindungi golongan masyarakat berpendapatan rendah untuk mencegah
adanya keresahan sosial.
Keenam, menetapkan mekanisme
penyesuaian harga dan tarif energi yang bersifat otomatis guna mencegah
terjadinya politisasi.
Secara ideal, perlindungan atau
kompensasi kepada kelompok miskin diberikan dalam bentuk bantuan langsung
tunai (BLT). BLT memberikan kebebasan kepada penerima untuk menggunakan
uang tersebut menurut skala prioritasnya sendiri. Bentuk lain adalah
pemberian voucer untuk mendapatkan suatu barang atau jasa dari sekelompok
pilihan tertentu. Akan tetapi, BLT dan sistem voucer memerlukan kemampuan
administratif yang tinggi agar tidak disalahgunakan untuk dana kampanye,
tujuan politik, maupun KKN seperti yang marak di beberapa departemen
hingga desa di seluruh Indonesia belakangan ini. Cara lain untuk
mengompensasi kelompok miskin adalah melalui penciptaan lapangan kerja
yang bersifat padat karya, pemberian subsidi pada angkutan umum, terutama
di kota-kota besar, ataupun keringanan biaya sekolah.
Taktik dan strategi itu sangat
diperlukan bukan saja oleh pengambil keputusan yang peragu. Walaupun Bung
Karno dan Pak Harto adalah pribadi-pribadi yang kokoh dan tegas, jatuhnya
Orde Lama dan Orde Baru adalah karena tidak mengikuti strategi tersebut.
Sebelum harga BBM dinaikkan pada tahun 1966, inflasi sudah terjadi sejak
beberapa tahun sebelumnya akibat dari ekonomi yang salah urus, kelangkaan
pangan, dan devisa yang bercampur baur dengan peristiwa G30S/PKI. Selain
dari kenaikan harga energi, Presiden Soeharto pun jatuh adalah juga
akibat dari masalah politik, KKN, serta krisis ekonomi dan perbankan yang
meningkatkan inflasi serta kurs rupiah terhadap dollar AS lebih dari
tujuh kali lipat dan membangkrutkan negara, perbankan, dan dunia usaha. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar