Sabtu, 06 April 2013

Menakar Kasus Cebongan


Menakar Kasus Cebongan
Rahayu ;   Dosen Hukum dan HAM Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro Semarang
SUARA MERDEKA, 06 April 2013


Kendati cukup mengejutkan, apresiasi tetap layak diberikan kepada tim investigasi dari Mabes TNI AD yang dalam waktu 5 x 24 jam berhasil mengungkap pelaku serangan ''Sabtu Berdarah'' di LP Kelas II B Cebongan Sleman DIY pada 23 Maret 2013. Keberanian lembaga militer untuk mengakui keterlibatan 11 anggota Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan Kartasura Sukoharjo, menunjukkan kebijakan pimpinan TNI AD tidak melindungi prajurit yang bersalah. 

Sikap kesatria itu setidak-tidaknya membersitkan harapan baru dan dapat menjadi momentum penting untuk mencegah impunitas seperti selama ini sering terjadi terhadap kasus serupa yang melibatkan aparat negara.

Terlepas dari alasan yang menjadi penyebab serangan tersebut sebagai reaksi spontan atas pembunuhan terhadap anggota Kopassus Serka Heru dan pembacokan terhadap anggota Kopassus Sertu Sriyono (SM , 5/4/13), peristiwa Cebongan memunculkan teror bagi siapa pun yang memiliki persoalan dengan aparat militer. Kasus ini menjadi bukti empiris ketidakberdayaan hukum di negeri ini ketika berhadapan dengan kekuatan dan kekuasaan.

Mengingat pelaku adalah prajurit aktif maka domain penyelesaian perkara itu ada di peradilan militer. Hal ini tentu saja tidak menjadi penghalang bagi pihak lain, seperti Komnas HAM untuk menyelidiki kasus ini lebih lanjut. Setidak-tidaknya untuk memastikan apakah peristiwa itu bisa dikategorikan pelanggaran berat HAM atau tidak.

Secara faktual, serangan tersebut telah merenggut nyawa 4 tahanan, dan itu berarti terjadi pelanggaran atas hak hidup yang merupakan hak yang bersifat non-derogable. Demikian pula dengan penganiayaan yang dialami oleh petugas LP. Ketakutan dan kekhawatiran yang masih terus dirasakan oleh penghuni tahanan yang lain hingga saat ini, adalah bukti keterampasan hak atas rasa aman mereka. Peristiwa tersebut telah merampas hak asasi manusia penghuni dan petugas LP.

Indikasi terjadi pelanggaran HAM terasa sangat kental. Namun untuk pembuktian peristiwa itu termasuk pelanggaran berat, harus memenuhi unsur bahwa peristiwa tersebut bersifat sistematis dan meluas. Secara sistematis berarti aksi itu dilakukan sebagai suatu kebijakan yang direncanakan. 

Adapun sifat meluas dimaknai dari jumlah korban dan kerusakan parah yang ditimbulkan. Dalam kasus ini, unsur meluas tidak sekadar melihat jumlah korban tewas yang ''hanya'' 4 orang tapi juga perlu menimbang bobot dampak psikologis dan trauma akibat serangan keji tersebut bagi penghuni dan petugas LP.  

Memang bukan hal mudah untuk membuktikan serangan terhadap LP Cebongan itu bersifat sistematis. Namun dengan melihat fakta penggunaan senjata api oleh beberapa prajurit di luar tugas resmi maka kita bisa menelusuri lebih lanjut fungsi kontrol yang seharusnya menjadi tanggung jawab atasan. 

Peradilan Umum

Meski tidak secara langsung merupakan kebijakan yang direncanakan secara institusional, minimal ada indikasi pembiaran. Karena itu, kasus ini pun harus melihat tanggung jawab komandan (commander responsibility) dalam kaitan dengan kemampuan mengendalikan anak buah. Terlepas apakah peristiwa ini merupakan pelanggaran berat HAM atau bukan, adalah menjadi tanggung jawab negara untuk menuntaskannya secara adil. Tidak hanya mengadili dan menghukum pelaku, tetapi juga memberikan perhatian yang cukup bagi para korban untuk segera dilakukan upaya pemulihan (reparation), baik secara material maupun nonmaterial.

Bila secara normatif domain penyelesaian perkara ini ada pada ranah pengadilan militer maka proses itu pun harus dilakukan secara fair, independen, dan transparan. Pengalaman penanganan kasus serupa melalui pengadilan militer yang melibatkan aparat sebagai pelaku, hampir selalu menghasilkan putusan yang cenderung ringan sehingga dirasa tidak adil bagi korban. Hasil serupa juga terjadi bagi penyelesaian kasus kekerasan yang melibatkan aparat melalui pengadilan koneksitas.

Bila peristiwa ini hendak dijadikan momentum berharga bagi upaya perbaikan kehidupan penegakan hukum di negeri ini, sekaligus menyempurnakan reformasi pada tubuh TNI maka perlu melakukan terobosan penting, yakni kemungkinan menyelesaikan kasus ini melalui peradilan umum. 

Hal ini mendasarkan pada pertimbangan bahwa meskipun pelaku adalah militer aktif, mereka telah melakukan pelanggaran hukum nonmiliter. Secara normatif tidak mudah  mengadili mereka melalui peradilan umum karena berarti harus merevisi peraturan. Tapi yang lebih penting dari semua itu adalah political will pemerintah untuk menuntaskan kasus ini secara berkeadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar