Senin, 01 April 2013

Ardjuna Wiwaha : Romantisime dan Transformasi


Ardjuna Wiwaha : Romantisime dan Transformasi
Kurnia JR ;  Esais, Cerpenis
KOMPAS, 31 Maret 2013

  
Membaca Arjuna Wiwaha versi tafsir Sanusi Pane yang halus lembut membangkitkan kesadaran dan bayangan tentang fungsi kakawin ini sebagai pelipur lara, di samping mengemban amanat spiritualisme untuk keluarga keraton Kediri pada abad kesebelas. Kurang lebih seperti novel bagi kita hari ini.
Dalam kata-kata Sanusi Pane, kakawin adalah cerita berirama, dan Arjuna Wiwaha adalah karya teramat indah dalam bahasa Jawa Kuno. Kekaguman yang berdasar jika mengingat pelukisan peperangan dalam karya ringkas ini setara dengan epik kolosal Iliad karya Homeros dari abad kedelapan sebelum Masehi. Pada sisi lain, pelukisan romansa antara Arjuna dan Supraba rasanya tidak elok diperbandingkan dengan karya mana pun.
Demikianlah, bertolak dari kegandrungan akan keindahan buah tangan Mpu Kanwa yang hidup pada zaman Raja Airlangga (1019–1042) itu, sang sastrawan merekacipta (mengindonesiakan dengan licentia poetica pada tangannya) kakawin ini berdasarkan naskah Dr R Ng Purbatjaraka dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, Deel 82, 1926. Cetakan pertama Ardjuna Wiwaha terbit tahun 1940 oleh Balai Pustaka. Tercatat hingga cetakan ketiga (1960) oleh penerbit yang sama. Tahun 1978 buku ini diterbitkan ulang oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah.
Sebagai landasan bagi licentia poetica, dalam kata pendahuluan (1960) Sanusi Pane menegaskan, ”Salinan ini dapat dikatakan salinan ’Ardjuna Wiwaha’ sekata demi sekata, akan tetapi dengan mengingat irama bahasa Indonesia. Untuk memperbagus bunji kalimat beberapa kali ditambah atau dikurangi perkataannja.”
Tanpa penegasan itu pun, penerjemahannya dari Jawa Kuno ke bahasa Indonesia telah dengan serta-merta melenyapkan irama tembangnya, yang terbentuk oleh metrum dan guru-laghu. Guru-laghu adalah kuantitas suku kata. Guru (berat) menunjuk suku kata panjang, sedangkan laghu (ringan) suku kata pendek.
Setia dengan skema pembagian sarga atau bab sebanyak 36, dan pembubuhan nomor pada tiap bait, Sanusi Pane menyatakan, ”Dengan tidak melanggar semangat kekawin, diperolehlah susunan jang lebih menjenangkan hati orang zaman ini.”
Seperti dinyatakan dalam kata pendahuluan: walau Mpu Kanwa mengambil bahannya dari Mahabharata, ”Karena tjaranja mengarang itu dan karena susunan riwajatnja, kekawin itu djadi karangan asli”, begitu pula kiranya dengan karya terjemahan Sanusi Pane ini. Berkat keunggulan puitika sang penerjemah, karya ini memiliki keindahan khas Sanusi Pane yang hidup dalam pelukan romantisisme era Pujangga Baru. Maka, dapatlah kita menempatkan karya terjemahan ini sebagai buah estetika Sanusi Pane dalam kesusastraan Indonesia modern tanpa mengurangi sedikit pun kegemilangan Mpu Kanwa dalam kesusastraan Jawa Kuno.
Dengan kata lain, inilah salah satu cara sesama pujangga menjadi jembatan bagi karya sastra klasik agar tidak sirna ditelan zaman sehingga dikenal generasi berikut dari masa ke masa.
Mengisahkan kekalutan para dewa menghadapi raja raksasa sakti Niwatakawaca dari Manimantaka, Arjuna Wiwaha (Perkawinan Arjuna) mengemukakan kepahlawanan Arjuna sebagai representasi keunggulan manusia yang telah berhasil mengendalikan hawa nafsunya: Witaraga.
Orang Jawa biasa mencari ”rasa”, kata Sanusi Pane: ”jakni maksud sesuatu tjeritera,”
”Rasa” dalam cerita ini, mengutip Mpu Kanwa: ”sudah mencapai Kebenaran Utama”, ”tahu dunia tidak berharga”, ”tidak gemar kepada jasmani”. Toh, ”dia tinggal juga di masyarakat” karena ingin mengupayakan cita-cita mulia: ”seluruh dunia berbahagia”, yang mencerminkan ajaran Syiwa-Buddha sebagai agama resmi di Kediri.
Selain narasi tentang persiapan hingga jalannya perang antara pasukan asura (raksasa) Niwatakawaca dan bala tentara dewa dari Suralaya yang mengingatkan kita pada Iliad yang menggetarkan itu, patut dicatat kehalusan pelukisan rasa yang berdegup di dada dua sejoli, yakni Arjuna dan Supraba, dalam perjalanan mereka menuju Manimantaka.
Sebagai siasat para dewa, Supraba yang tercantik dari semua apsari, bidadari, hendak diserahkan kepada Niwatakawaca sebagaimana tuntutan dia sehingga mengurungkan niat menyerbu Suralaya. Padahal, sang apsari sebenarnya mengemban tugas mengorek rahasia kesaktian sang raja asura.
Tentu muncul kecemasan Arjuna yang tidak rela kalau-kalau apsari pujaannya sampai dijamah asura itu. Perasaan serupa justru diungkapkan Supraba, yang memberi ruang kepada Arjuna untuk bersikap elegan menghibur kekasih seraya menandaskan retorika kepahlawanan.
Pada sarga ke-15, bait 3-4, terbetik kata-kata rayuan Arjuna yang terus terang:
”Mereka melajang diangkasa bersenda gurau, hati penuh kepada berahi. Mereka minta kepada masing-masing terbang dahulu dan sebentar mereka saling memandang. Udjar putera radja: ’Adinda, berdjalanlah dahulu dan djanganlah berselendang seperti itu; Kakanda hendak memandang bangun adinda terlukis oleh pinggir kain’.”
”Kalau kakanda berdjalan dahulu, kakanda mesti menoleh lagi kebelakang memandang adinda. Djika kita berdjalan bersama-sama, seakan-akan kakanda telah boleh menuntun adinda. Kalau kakanda dibelakang ada baiknja lagi: kakanda dapat seperti sahaja jang melihat, kalau disuruh membetulkan sanggul adinda, djika lepas dan terurai.”
Tentu, perlu dicatat, sebagus apa pun penerjemahan Sanusi Pane, untuk generasi masa kini bahasa yang digunakan terasa tidak lazim lagi—sekalipun ejaannya diperbarui—sehingga mungkin bisa mematahkan semangat calon pembaca muda yang ingin tahu.
Walau demikian, penerbitan ulang karya terjemahan Sanusi Pane amat penting karena nilai estetisnya, di samping upaya penerjemahan ke dalam bahasa kontemporer. Satu sama lain saling melengkapi, dalam arti ada kesinambungan upaya pelestarian karya-karya sastra klasik.
Karya sastra klasik Nusantara pada umumnya mengemban motif ajaran moral, tradisi, dan tuntunan ke arah pencapaian spiritual bahkan hingga terminal terakhir. Sekalipun demikian, seperti pada Arjuna Wiwaha, syair-syair romantis tetap menjadi aspek vital sebagaimana halnya realitas kehidupan manusia. Cinta yang indah, keanggunan yang mengharukan, keluhuran budi, di samping watak durjana yang tak kenal malu.
Dengan transformasi karya sastra klasik melalui tafsir kontemporer, kita dapat menata fondasi budaya yang kukuh supaya setiap generasi mengenal asal-usulnya sekaligus nilai dirinya yang tecermin dari nilai-nilai luhur nenek moyangnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar