Senin, 01 April 2013

MKRI


MKRI
Sarlito Wirawan Sarwono ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 31 Maret 2013

  
Beberapa hari (pekan) terakhir, santer berita bahwa MKRI (Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia) mau gelar aksi besar-besaran, 3.000 orang, menuntut SBY-Boed mundur. 

Dua orang ini tidak bisa lagi dipercaya oleh MKRI untuk melaksanakan pemilu, sehingga KPU versi rezim SBY-Boed juga tidak bisa dipercaya, hasil pemilu, dan DPR serta presiden terpilih nanti juga tidak bisa dipercaya. Oleh sebab itu, Presidium MKRI berpendapat bahwa untuk menyelamatkan NKRI, SBY-Boed perlu disuruh mundur dan posisinya digantikan oleh orang lain untuk persiapkan pemilu yang bisa lebih dipercaya. Tetapi orang lain ini siapa? Presidium MKRI sendiri? 

Kalau ya, berarti memang itu upaya makar. Tanpa berargumentasi soal hukum, setiap upaya untuk menggantikan suatu pemerintah secara paksa, baik dengan dukungan militer atau bukan, namanya ya “makar”. Dalam beberapa kali saya menonton tayangan televisi, Ratna Sarumpaet, Ketua Presidium MKRI, menyatakan bahwa memang MKRI akan berunjuk rasa menuntut Presiden SBY dan Wapres Boed mundur. Untuk itu, dia tidak perlu minta izin Polri, cukup memberitahukan saja. Kata Sarumpaet di depan kamera (close up), “Jangan menakut-nakuti rakyat. Demo hanya perlu pemberitahuan, bukan minta izin ke polisi!”.
Tetapi dari pihak Humas Polri (saya lupa dari Polda Metro Jaya atau Mabes) ternyata yang diberitahukan oleh MKRI ke Polri hanya rencana acara bakti sosial, bukan unjuk rasa. Dan akhirnya, pada hari H memang yang ada di Jakarta hanyalah bakti sosial di depan kantor YLBHI. Walaupun media massa lebih banyak menayangkan orasi-orasi politik para pendukung MKRI ketimbang acara bakti sosial itu sendiri. 

Perubahan yang mendadak ini rupanya tidak sempat dikoordinasikan dengan para pengunjuk rasa di daerah, sehingga di daerah demo gulingkan SBY dan Boed terus berlanjut. Minimal di Makassar dan satu kota lagi (saya lupa, karena nonton TV sambil ngantuk) demo berakhir ricuh, bentrok sama petugas (biasa, namanya juga demo). Tetapi yang mencengangkan adalah pernyataan Ketua Presidium bahwa rencana MKRI memang hanya bakti sosial, “Kan yang menciptakan istilah makar, SBY sendiri, bukan MKRI”. 

Kemudian saya baca di media tentang kemungkinan gerakan ini akan dilibas oleh tentara, dan penyerbuan Lapas Cebongan, Sleman dikait-kaitkan dengan show of force tentara agar “jangan main-main sama TNI/ Polri” (kalimat terakhir ini diucapkan oleh Pangdam Diponegoro Mayjen TNI Hardiono Saroso). Karena itulah, makar tiba-tiba berubah jadi baksos. Tentu saja semua itu asosiasi-asosiasi bebas dari para pengamat, presenter TV, wartawan, atau awam, yang belum tentu ada kaitannya satu sama lain, tetapi fakta bahwa demo berubah ke baksos itu bukan hal yang biasa terjadi dalam sejarah demo di Indonesia. 

Di dalam PBB (peraturan baris berbaris) tentara ada yang namanya “penjuru”. Penjuru ini adalah anggota pasukan dalam barisan yang posisinya paling depan sebelah kanan. Semua anggota pasukan yang lain harus mengacu kepada penjuru itu agar barisan tetap berjalan lurus dan rapi. Di kawasan wisata di mana banyak turis, kita lihat juga banyak “penjuru”. Tour leaders mengacungkan aneka bendara warna-warni, atau payung, atau apa saja sebagai tanda untuk rombongannya agar terus mengikuti dia, para anggota tidak boleh meleng, harus terus mengikuti si penjuru kalau tidak mau sesat. 

Boleh jadi, rombongan tidak perlu penjuru, misalnya rombongan ibu- ibu yang wisata shopping. Mereka ingin bebas belanja atau sekadar cuci mata, tetapi mereka sepakat ngumpul lagi di pintu masuk mal atau di bis jam sekian-sekian. Kesepakatan itu harus ditaati, kalau tidak mau rombongan tecerai berai. Itulah hidup bermasyarakat, termasuk bernegara. Harus ada penjuru (pemimpin) dan/atau kesepakatan (aturan, tradisi, hukum) yang ditaati bersama. Tanpa itu, yang ada adalah chaos. 

Tawuran antarsekolah, antarkampung, antarkampus, bahkan antarinstitusi bersenjata adalah dampak saja dari situasi masyarakat yang chaos. Begitu juga lalu lintas yang sangat tidak disiplin, kecelakaan di busway atau jalur kereta api. Jalan umum, jalan tol, bahkan rel kereta api diblokade massa, dan lain-lain. Itu semua ekspresi dari chaos yang di Indonesia ini sumbernya ada pada suprastruktur politik. Dalam politik, elite Indonesia sudah tidak menggubris “penjuru”, malah si penjuru (presiden) disuruh-suruh turun tanpa memikirkan bagaimana mengganti penjuru itu agar tidak chaos.

Kesepakatan-kesepakatan bangsa juga diabaikan begitu saja, UUD 45 diamendemen berkali-kali, tetapi tetap dilanggar juga. Ormas-ormas menentang RUU Ormas yang mewajibkan ketaatan pada Pancasila. Terus muncul ideologi-ideologi radikal dari yang berbasis agama sampai yang menamakan diri bendera. Masih ditambah lagi dengan media massa (terutama TV) dan media sosial yang hobinya mengompori konflik supaya rating-nya naik.

Maka, jadinya bangsa ini menderita disonansi kognitif (bahasa awam: kebingungan) yang kronis, yang dampak sampingannya adalah gangguan emosi (cepat marah, cepat tersinggung, galau). Padahal, tanpa politik rasanya Indonesia sudah di jalan yang benar. Makin banyak mobil dan motor, tandanya orang makin mampu beli kendaraan. Makin banyak rute penerbangan, artinya orang kebanyakan pun sekarang bisa terbang. Mau naik haji harus menunggu 4-5 tahun, berarti makin banyak orang mampu naik haji. 
Di sisi lain, korupsi terus diberantas secara konsisten dan makin tidak tebang pilih. Mau apa lagi? Masih banyak orang miskin? Memang benar. Tetapi itu bukan berarti SBY-Boed disuruh mundur. Kita benahi saja kemiskinan itu. Jokowi-Basuki sudah mulai dengan Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Cerdas. 

Hanya dengan fokus kepada masalah kemiskinan inilah kita bisa mengatasi kemiskinan, bukan dengan menyuruh orang mundur, apalagi dengan ambisi kita sendiri yang akan menggantikan “si penjuru” itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar