Senin, 01 April 2013

Andai Indonesia Jadi Pendamai


Andai Indonesia Jadi Pendamai
Pascal S Bin Saju ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 31 Maret 2013



Dunia sedang menyaksikan tragedi skala masif di Suriah, tetapi lamban mengatasi meski pembunuhan, pembantaian atau eksekusi massal, dan kekerasan mematikan lainnya telah merenggut lebih dari 70.000 orang. Pengungsian, kelaparan, penculikan, dan pemerkosaan menambah panjang penderitaan warga sipil tidak bersalah yang menjadi korban perang saudara yang seakan tak berkesudahan.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi paling berkuasa di dunia saat ini, tidak berdaya menghentikan kekerasan demi kekerasan di Suriah. Rusia dan China sebagai anggota tetap DK PBB lebih mengamankan rezim Suriah ketimbang memproteksi keselamatan dan perlindungan jutaan warga sipil yang terintimidasi kekuatan senjata. 

Menghadapi konflik Suriah, DK PBB bak macan ompong. Krisis Suriah dan ketidakberdayaan DK menjadi bagian pokok bahasan diskusi Forum Kajian Kebijakan Luar Negeri Kementerian Luar Negeri RI tentang ”Peran Pemerintah RI dalam Mengupayakan Perdamaian di Suriah”, di Jakarta, Kamis (28/3).
Seminar yang diprakarsai Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan Asia Pasifik dan Afrika (P3K2 Aspasaf) Kemlu itu menampilkan empat pembicara. Mereka adalah Broto Wardoyo (Universitas Indonesia), Bantarto Bandoro (Universitas Pertahanan Indonesia), Febrian A Ruddyard (Kemlu RI), dan Kolonel (Pnb) Irwan Ishak Dunggio, Wakil Komandan Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (Mabes TNI).
Febrian mengatakan, DK sangat lemah dalam menghadapi konflik Suriah. Menurut Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kemlu RI ini, tiga rancangan resolusi terkait Suriah telah gagal disepakati DK, yakni pada Oktober 2011 serta Februari dan Juli 2012. Kegagalan mengadopsi resolusi menyebabkan penutupan Misi Pemantau PBB di Suriah.
Meski Piagam PBB telah menetapkan DK bertugas memelihara keamanan dan perdamaian dunia serta telah dilengkapi wewenang luas baik sanksi nonmiliter maupun penggunaan kekuatan bersenjata, penggunaan hak veto oleh China dan Rusia, sekutu terdekat Damaskus, menjadi salah satu penyebab mandulnya DK merespons cepat krisis kemanusiaan Suriah.
Bentuk, format, kewenangan, dan cara kerja DK sudah ”kedaluwarsa”, hasil warisan arsitektur politik Perang Dunia II. Sementara tanggung jawab internasional yang dihadapi kini sudah sangat modern.
”Konflik Suriah menjadi momen untuk mereformasi DK. Badan ini harus direformasi agar menjadi institusi yang responsif, kredibel, dan representatif,” kata Febrian.
Proses negosiasi terkait reformasi PBB itu kini sedang berjalan. Menurut Febrian, ada beberapa isu utama dalam proses itu. Di antaranya adalah apakah akan tetap 15 negara atau akan ditambah atau dikurangi. Dilihat dari kategori, apakah masih perlu anggota tetap dan anggota tidak tetap ataukah semuanya memiliki privilese yang sama.
Peran Indonesia
Konflik Suriah yang terinspirasi dan merupakan bagian dari aksi prodemokrasi Musim Semi Arab yang dimulai dari Tunisia telah menjadi ancaman bagi keamanan internasional. Konflik tidak saja menjadi persoalan domestik, tetapi juga telah melebar ke negara tetangga.
Sebagai bagian komunitas dunia, dan dalam konteks untuk mengupayakan perdamaian global, apakah sikap Indonesia menghadapi krisis terkini dunia, terutama terkait konflik panjang Suriah? Dengan cara apa pula Indonesia bisa berperan? Apakah perlu menjadi anggota DK PBB hasil reformasi terlebih dahulu baru Indonesia bisa lebih berperan?
Broto Wardoyo, pengajar Departemen Hubungan Internasional UI, menegaskan, kebijakan luar negeri Indonesia harus dibangun atas kepentingan yang akan dicapai, nilai bebas-aktif yang mendukung kemerdekaan sebuah bangsa, perdamaian, dan ketertiban dunia.
Terkait dengan krisis Suriah, aktor-aktor eksternal sangat dominan dengan jurang kepentingan yang tajam. Menurut Broto, ada tiga tendensi besar yang dapat dimanfaatkan untuk mendekatkan jurang kepentingan itu, yakni meningkatnya konfesionalisme, menguatnya radikalisme, dan jejaring akar rumput di kalangan rakyat Suriah.
Tiga faktor itu menjadi kunci bagi penyelesaian krisis Suriah. Indonesia bisa mengeksploitasinya untuk memaksa para pihak eksternal keluar dari krisis Suriah. Harus diupayakan pula menciptakan lingkungan yang baik di kawasan dan sekitarnya.
Potensi perluasan konflik Suriah sangat terbuka karena posisinya berada di episentrum pertarungan politik kawasan. Saat ini ada tiga konflik bersinggungan dengan krisis Suriah, yakni konflik Arab-Israel, konflik internal Lebanon, dan isu nuklir Iran.
Belum Ada Cetak Biru
Indonesia disadari sebagai salah satu negara besar, yang kedudukannya semakin penting di kancah internasional serta memiliki hubungan diplomatik dan bilateral dengan Suriah. Dengan posisi strategisnya itu, juga berpenduduk Muslim terbesar, Indonesia semestinya bisa berperan dan lebih bisa diterima dalam mengupayakan perdamaian di Suriah atau Timur Tengah.
Apakah langkah konkret Indonesia dalam mengupayakan perdamaian di Suriah? Apakah dengan mengirim kontingen penjaga perdamaian, seperti ke Mesir (1957), Kongo (1960 dan 1962), dan Vietnam (1973), yang mencapai ribuan prajurit? Andaikan Indonesia hadir di kawasan, kehadiran itu untuk mendapatkan manfaat ataukah sekadar pencitraan?
Konflik Suriah seharusnya menjadi momen bagi Indonesia bermain sebagai aktor perdamaian internasional. Meski demikian, ternyata tetap tidak mudah bagi Indonesia berperan di Timur Tengah. Para pembicara menyadari, kalaupun memiliki pengaruh ekonomi dan perdagangan dengan kawasan itu, Indonesia tidak memiliki kekuatan politik di sana.
Selain itu, sudah ada para pemain besar yang memiliki kepentingan dan memperoleh keuntungan besar juga di kawasan. Rusia dikenal memiliki pengaruh yang kuat dan pemasok persenjataan bagi rezim Presiden Bashar al-Assad.
Meski kepentingan langsung China di Suriah belum terlihat, negara itu semakin ingin menegaskan sikapnon-intervention policy. ”Peningkatan pengaruh China mengakibatkan mereka semakin asertif dalam hubungan internasional,” kata Febrian.
Hal paling penting juga adalah bahwa sampai saat ini Indonesia belum memiliki cetak biru tentang visi strategis dalam mengupayakan perdamaian di wilayah konflik internasional. Menurut Bantarto dan Irwan, visi adalah identifikasi dari tujuan akhir atau tujuan kegiatan yang akan dilakukan Indonesia. Visi itu harus realistis dan fokus.
Bantarto menambahkan, ketika Indonesia merancang visi strategis perdamaian internasionalnya, dia harus memperhatikan bukan saja lingkungan di mana visi dilaksanakan. Hal terpenting adalah kapasitasnya untuk menjalankan visi itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar