Dalam
sastra pedalangan ada peristiwa ketika Dasamuka merampas umur panjang,
yang oleh Dewa sudah ditakdirkan menjadi milik Batara Rama. Umur bukan
benda seperti baju antisenjata tajam, atau pedang sakti, tapi simbol
berkah dan perkenan Dewa.
Berkah
dan perkenan ini yang dijarah Dasamuka dengan menggunakan kekerasan. Dewa
diancam dan Khayangan bakal diporak-porandakan jika Dasamuka dikecewakan.
“Umur panjang itu untukku dan Khayangan aman, atau untuk Rama dan
Khayangan kubikin hancur lebur?” teriak Dasamuka.
Dewa pun mengalah; dan kita tahu, di sana ada tanda
seolah watak angkara yang dilindungi.
Beberapa saat kemudian, sesudah
urusan Dasamuka selesai, Rama menghadap Dewa dan menagih janji tentang
umur panjang, untuk mendukung perjuangannya memelihara kehidupan dan
menegakkan keadilan di bumi. Sejenak Dewa bingung. Tapi, Dewa mahakuasa maka kepada Rama, Dewa berkata
bahwa meskipun sudah diberikan pada Dasamuka, Rama diberi jalan dan
dilindungi, untuk merebut kembali berkah Dewa itu.
Di tengah jalan, Rama menyamar menjadi kakek pikun,
tua renta. Tampilannya mengenaskan. Kulitnya keriput. Ingatannya sudah
rusak parah. Sudah lama dia tuli dan matanya tak lagi mampu melihat
dengan jelas. Pendeknya, ingatan, pendengaran dan penglihatannya hampir
tak berfungsi lagi.
Ketika Dasamuka lewat di depannya, dia tak melihat,
tak mendengar, dan tak merasakan kehadirannya.
Ketika ditanya - dengan suara keras - di mana
anak-anak dan para cucu serta cicitnya, dia hanya ingat samar-samar bahwa
dulu anaknya banyak, cucunya banyak, cicitnya tak terhitung. Tapi di mana
mereka, dia tak ingat. Dasamuka ngeri membayangkan dirinya, seorang Raja
Agung, menjadi pikun, tuli, dan buta. Betapa tak enaknya.
Dasamuka pun memberikan umur itu kepada si kakek
pikun. Mulanya si kakek menolak. Dia bilang, dalam usianya itu saja dia
sudah cukup menderita. Jadi, janganlah penderitaan itu ditambah lagi.
Tapi, Dasamuka memaksa dan akhirnya kakek menerimanya.
Ketika Dasamuka melangkah pergi, Rama beralih rupa
menjadi dirinya kembali. Dasamuka yang menengok ke arahnya, marah besar.
Dia tak rela menjadi korban tipu muslihat licik itu. Pertempuran untuk
saling membunuh hampir saja terjadi. Tapi, Dewa turun melerai.
“Kamu salah,
Dasamuka. Kakek pikun tadi tidak meminta, bahkan menolak kau beri umur
itu. Tapi kau memaksanya. Dewa menyaksikan semua kejadian tadi. Kamu yang
salah. Ketahuilah, Dasamuka, sesakti apa pun kamu, tak mungkin kau
melawan suratan takdir. Apa yang ditakdirkan bukan milikmu, dia bukan
milikmu,” kata Dewa.
Dasamuka bungkam. Perasaannya hampa. Dunia seperti
gelap gulita. Perkara “hak” dan “batil”, “benar” dan “salah”, dalam hidup
sering tercampur aduk. Banyak orang yang tak peduli bahwa langkah-langkah
hidupnya mencampuradukkan apa yang benar dan apa yang salah. Desakan
ambisi dan keserakahan dijadikan panglima kehidupannya.
Di dalam birokrasi, orang ambisius dan serakah
berusaha mati-matian—termasuk memfitnah—demi meraih cita-cita. Ambisi dan
keserakahan dimanjakan. Apa yang bukan haknya direbut dengan menggunakan
mekanisme birokrasi sehingga seolah-olah tindakannya sah, seolah-olah
langkahnya benar.
Orang macam itu siap menabrak apa saja dan siapa
saja. Matanya memang melek, tapi mata hatinya sudah buta. Dia tak pernah
mendengar bisikan hati nuraninya sendiri; dan itu punya akibat
mengerikan. Orang bijak tahu, tiap tindakan buruk membakar dan
menghancurkan dirinya dari dalam. Tapi, orang serakah dan ambisius tak
diberi hak untuk memiliki ilmu hikmah macam itu.
Dasamuka merupakan contoh terbaik bagi semua jenis
keburukan; dan Dewa seolah membiarkannya? Tidak. Saat itu Dewa berbicara
dalam bahasa manusia, khususnya bahasa Dasamuka, untuk pertama, memberi
tahu seluruh dunia bahwa orang tak bisa menguasai apa yang bukan hak dan
bukan miliknya.
Kedua, Dasamuka dibiarkan merebut apa yang bukan
miliknya, untuk mengingatkan bahwa dia tak bakal kuat memanggul watak
angkara murkanya sendiri yang kelewat batas. Tapi, ambisi manusia sering
tak mengenal batas.
Orang yang kelihatannya lemah lembut dan hidup cukup
seadanya, di dalam dirinya bergolak keserakahan yang tak terlihat; dan
gejolak di “dalam” macam itu sering tak terkendali. Orang banyak bisa
dikecoh.
Tapi dia tahu, dia tak bisa mengecoh dirinya sendiri.
Orang yang tampil dalam bahasa rohaniwan, dan menggunakan idiom-idiom
para kiai, jangan buru-buru dianggap kiai. Soalnya, apa mau dikata bila
dia ternyata korup? Orang bijak—orang zaman dulu—berkata: bahasa
menunjukkan bangsa. Maksudnya orang yang berbahasa baik, dijamin orang
baik.
Sebenarnya sudah lama hal itu salah. Sejak dulu orang
bijak juga sudah berbicara tentang “serigala berbulu domba”. Jadi, kita
tak boleh ditipu oleh penampilan yang tertata, oleh sikap yang lemah
lembut, dan kehalusan berbahasa, yang menggambarkan keluhuran budi.
Serigala berbulu domba bukan hanya mengecoh kesadaran
kita, tapi dia berbahaya. Dia musuh dalam selimut yang bisa membunuh kita
semua, tanpa diduga-duga. Keserakahan singa gurun—yang ganas luar biasa
itu—dapat diukur. Tapi, keserakahan manusia—selembut apa pun tampilan
luarnya—siapa yang tahu di mana batasnya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar