Kamis, 18 April 2013

Menekan Pertumbuhan Kendaraan Bermotor


Menekan Pertumbuhan Kendaraan Bermotor
Mesker Md   Pendiri Lembaga Study dan Advokasi Transportasi (Lesat)
SUARA KARYA, 17 April 2013


Pemprov DKI Jakarta tidak perlu panik menghadapi prediksi kemacetan total arus lalu lintas tahun 2014 dengan memaksakan pembangunan sarana angkuatan umum massal Jakarta (SAUMJ), seperti subway, monorel dan busway. Karena, SAUMJ bukanlah jalan keluar utama atau satu-satunya cara untuk mengatasi kemacetan arus lalu lintas. SAUMJ memang diperlukan tapi tidak bisa berjalan sendiri dan mengatasi semua masalah. Karena, SAUMJ hanyalah salah satu subsistem dari sistem transportasi (nasional).

Karena itu, pembangunan SAUMJ, terutama subway dan monorel sebaiknya dikaji secara lebih cermat. Kajian itu lebih diarahkan pada jaringan rute yang akan dilayani atau dibangun, tarif yang dikenakan serta biaya atau investasi yang diperlukan. Lebih baik terlambat dibangun tapi membawa manfaat yang prima, daripada dipaksakan sehingga amburadul. Busway adalah contoh konkrit dari suatu ketergesa-gesaan. Meski sudah 9 tahun lebih beroperasi, tapi busway belum membawa dampak positif bagi berkurangnya kemacetan lalu lintas.

Salah satu kebijakan yang bisa dilakukan Pemprov DKI Jakarta sembari mencermati kembali program pembangunan subway dan monorel serta menata kembali busway adalah mengendalikan pertumbuhan kendaraan bermotor.

Selama ini tingkat pertumbuhan kendaraan bermotor di wilayah DKI rata-rata 8% per tahun. Sementara pertumbuhan jalan hanya 0,01% per tahun. Kalau pun subway, monorel dan busway dioperasikan serentak dengan sistem yang benar, kemacetan masih akan terjadi apabila pertumbuhan kendaraan bermotor tidak dikendalikan. Karena, tidak serta-merta ketiga jenis angkutan umum itu mengurangi perjalanan orang dengan kendaraan bermotor pribadi.

Tingginya pertumbuhan kendaraan bermotor disebabkan pajak yang sangat murah. Karena itu, pengendalian pertumbuhan kendaraan bermotor melalui pengenaan pajak progresif sudah waktunya diterapkan. Pajak progresif yang dimaksud adalah pajak yang ditetapkan berdasarkan usia dan CC kendaraan bermotor, baik mobil pribadi maupun sepeda motor. Dengan pola ini, kendaraan bermotor yang berusia tua dan CC-nya besar, pajaknya semakin mahal. Karena, kendaraan yang berusia tua dan CC-nya besar bisanya boros BBM dan emisi gas buangnya jelek alias menambah polusi udara.

Artinya, kebijakan pajak ini tidak hanya mengendalikan pertumbuhan kendaraan bermotor, tetapi juga meningkatkan penghematan penggunaan bahan BBM dan meminimalkan polusi udara yang bersumber dari emisi gas buang kendaraan bermotor. Karena, begitu pajak progresif ini diterapkan, secara pelan tapi pasti kendaraan pribadi berusia di atas 10 tahun akan menghilang dari jalan raya Jakarta.

Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, pernah berkeinginan "menghilangkan" BBM bersubsidi (solar dan premium) dari wilayah DKI Jakarta. Sebaiknya keinginan itu ditepis dengan menaikkan harga BBM bersubsidi minimal menjadi Rp 7.500/liter atau sesuai harga keekonomian sekitar Rp 8.000/liter. Ini penting sebagai upaya untuk mengurangi volume kendaraan bermotor di jalan raya dan sekaligus mendidik masyarakat berhemat serta membantu mengurangi subsidi.

Sudah waktunya masyarakat yang bermukim di wilayah DKI, diberi terapi bahwa tidak ada biaya murah hidup di Ibu Kota Negara RI. Harga BBM tidak lagi ada subsidi dan ongkos angkutan umum harus dibayar mahal. Pajak mobil dan pajak sepeda motor pun mahal. Pemerintah hanya memberikan subsidi untuk pendidikan, kesehatan dan pemukiman - seperti rusunawa. Itu pun bagi penduduk tetap, bukan pendatang.

Kebijakan tersebut diharapkan tidak hanya mengurangi jumlah perjalanan orang dengan kendaraan pribadi di jalan setiap hari. Tapi, secara tidak langsung akan menekan arus urbanisasi ke wilayah DKI Jakarta. Sebagian besar wilayah Jakarta menjadi kumuh dan semarawut akibat arus urbanisasi yang tinggi, terutama pada rentang waktu pasca Lebaran, Natal dan Tahun Baru.

Selain berbagai kebijakan di atas, gagasan Gubernur Jokowi menerapan plat nomor ganjil dan genap sebagai upaya manejemen dan rekayasa lalu lintas mengurai kemacetan arus lalu lintas, layak dilaksanakan. Secara teoritis, kebijakan ini akan bisa mengurangi arus lalu lintas mobil pribadi dan sepeda motor hingga 40% lebih apabila Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor berjalan sesuai ketentuan dalam pasal 64 dan pasal 65 UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU-LLAJ).

Selain itu, diperlukan pula kebijakan pendukung lain, seperti pajak progresif bagi masyarakat yang ingin membeli mobil lagi untuk memenuhi plat nomor ganjil dan genap, sehingga keluarganya bisa setiap hari mengendarai mobil sendiri. Bisa dikenakan pajak tinggi, misalnya, 100% dari harga beli untuk membeli mobil kedua. Sedang untuk mobil ketiga dikenakan pajak 150% dari harga beli dan mobil keempat dikenakan pajak 200%.

Manajemen dan Rekayasa LLAJ lain yang bisa dilakukan, antara lain pengaturan waktu operasi angkutan barang di jalur-jalur utama di dalam kota. Misalnya, angkutan barang hanya diizinkan masuk jalur utama - termasuk jalan tol - dalam kota pukul 18.00-06.00 WIB dan pukul 10.00-14.00 WIB setiap hari. Untuk mewujudkan hal ini, perlu dibangun kantong-kantong parkir truk di daerah pinggiran.

Kebijakan lain yang bisa ditetapkan Pemprov DKI adalah setiap orang yang memiliki mobil, wajib memiliki garasi mobil di rumahnya sendiri atau tempat parkir (garasi) yang disewa dengan sanksi keras. Kepemilikan garasi mobil ini wajib ditunjukkan buktinya sebagai persyaratan saat hendak membeli mobil.

Banyak hal bisa dilakukan untuk mengurai kemacetan melalui manajemen dan rekayasa lalu lintas dan angkutan jalan. Harapan masyarakat, semangat dan agresivitas Gubernur Jokowi jangan sampai "layu sebelum berkembang". Semoga. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar