Pemprov DKI Jakarta tidak
perlu panik menghadapi prediksi kemacetan total arus lalu lintas tahun
2014 dengan memaksakan pembangunan sarana angkuatan umum massal Jakarta
(SAUMJ), seperti subway, monorel dan busway. Karena, SAUMJ bukanlah jalan
keluar utama atau satu-satunya cara untuk mengatasi kemacetan arus lalu
lintas. SAUMJ memang diperlukan tapi tidak bisa berjalan sendiri dan
mengatasi semua masalah. Karena, SAUMJ hanyalah salah satu subsistem dari
sistem transportasi (nasional).
Karena itu, pembangunan
SAUMJ, terutama subway dan monorel sebaiknya dikaji secara lebih cermat.
Kajian itu lebih diarahkan pada jaringan rute yang akan dilayani atau
dibangun, tarif yang dikenakan serta biaya atau investasi yang
diperlukan. Lebih baik terlambat dibangun tapi membawa manfaat yang
prima, daripada dipaksakan sehingga amburadul. Busway adalah contoh
konkrit dari suatu ketergesa-gesaan. Meski sudah 9 tahun lebih
beroperasi, tapi busway belum membawa dampak positif bagi berkurangnya
kemacetan lalu lintas.
Salah satu kebijakan yang
bisa dilakukan Pemprov DKI Jakarta sembari mencermati kembali program
pembangunan subway dan monorel serta menata kembali busway adalah
mengendalikan pertumbuhan kendaraan bermotor.
Selama ini tingkat
pertumbuhan kendaraan bermotor di wilayah DKI rata-rata 8% per tahun.
Sementara pertumbuhan jalan hanya 0,01% per tahun. Kalau pun subway,
monorel dan busway dioperasikan serentak dengan sistem yang benar,
kemacetan masih akan terjadi apabila pertumbuhan kendaraan bermotor tidak
dikendalikan. Karena, tidak serta-merta ketiga jenis angkutan umum itu
mengurangi perjalanan orang dengan kendaraan bermotor pribadi.
Tingginya pertumbuhan
kendaraan bermotor disebabkan pajak yang sangat murah. Karena itu,
pengendalian pertumbuhan kendaraan bermotor melalui pengenaan pajak
progresif sudah waktunya diterapkan. Pajak progresif yang dimaksud adalah
pajak yang ditetapkan berdasarkan usia dan CC kendaraan bermotor, baik
mobil pribadi maupun sepeda motor. Dengan pola ini, kendaraan bermotor
yang berusia tua dan CC-nya besar, pajaknya semakin mahal. Karena,
kendaraan yang berusia tua dan CC-nya besar bisanya boros BBM dan emisi
gas buangnya jelek alias menambah polusi udara.
Artinya, kebijakan pajak ini
tidak hanya mengendalikan pertumbuhan kendaraan bermotor, tetapi juga
meningkatkan penghematan penggunaan bahan BBM dan meminimalkan polusi
udara yang bersumber dari emisi gas buang kendaraan bermotor. Karena,
begitu pajak progresif ini diterapkan, secara pelan tapi pasti kendaraan
pribadi berusia di atas 10 tahun akan menghilang dari jalan raya Jakarta.
Gubernur DKI Jakarta, Joko
Widodo, pernah berkeinginan "menghilangkan" BBM bersubsidi
(solar dan premium) dari wilayah DKI Jakarta. Sebaiknya keinginan itu
ditepis dengan menaikkan harga BBM bersubsidi minimal menjadi Rp
7.500/liter atau sesuai harga keekonomian sekitar Rp 8.000/liter. Ini
penting sebagai upaya untuk mengurangi volume kendaraan bermotor di jalan
raya dan sekaligus mendidik masyarakat berhemat serta membantu mengurangi
subsidi.
Sudah waktunya masyarakat
yang bermukim di wilayah DKI, diberi terapi bahwa tidak ada biaya murah
hidup di Ibu Kota Negara RI. Harga BBM tidak lagi ada subsidi dan ongkos
angkutan umum harus dibayar mahal. Pajak mobil dan pajak sepeda motor pun
mahal. Pemerintah hanya memberikan subsidi untuk pendidikan, kesehatan
dan pemukiman - seperti rusunawa. Itu pun bagi penduduk tetap, bukan
pendatang.
Kebijakan tersebut
diharapkan tidak hanya mengurangi jumlah perjalanan orang dengan
kendaraan pribadi di jalan setiap hari. Tapi, secara tidak langsung akan
menekan arus urbanisasi ke wilayah DKI Jakarta. Sebagian besar wilayah
Jakarta menjadi kumuh dan semarawut akibat arus urbanisasi yang tinggi,
terutama pada rentang waktu pasca Lebaran, Natal dan Tahun Baru.
Selain berbagai kebijakan di
atas, gagasan Gubernur Jokowi menerapan plat nomor ganjil dan genap
sebagai upaya manejemen dan rekayasa lalu lintas mengurai kemacetan arus
lalu lintas, layak dilaksanakan. Secara teoritis, kebijakan ini akan bisa
mengurangi arus lalu lintas mobil pribadi dan sepeda motor hingga 40%
lebih apabila Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor berjalan
sesuai ketentuan dalam pasal 64 dan pasal 65 UU No. 22 tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU-LLAJ).
Selain itu, diperlukan pula
kebijakan pendukung lain, seperti pajak progresif bagi masyarakat yang
ingin membeli mobil lagi untuk memenuhi plat nomor ganjil dan genap,
sehingga keluarganya bisa setiap hari mengendarai mobil sendiri. Bisa
dikenakan pajak tinggi, misalnya, 100% dari harga beli untuk membeli
mobil kedua. Sedang untuk mobil ketiga dikenakan pajak 150% dari harga
beli dan mobil keempat dikenakan pajak 200%.
Manajemen dan Rekayasa LLAJ
lain yang bisa dilakukan, antara lain pengaturan waktu operasi angkutan barang
di jalur-jalur utama di dalam kota. Misalnya, angkutan barang hanya
diizinkan masuk jalur utama - termasuk jalan tol - dalam kota pukul
18.00-06.00 WIB dan pukul 10.00-14.00 WIB setiap hari. Untuk mewujudkan
hal ini, perlu dibangun kantong-kantong parkir truk di daerah pinggiran.
Kebijakan lain yang bisa
ditetapkan Pemprov DKI adalah setiap orang yang memiliki mobil, wajib
memiliki garasi mobil di rumahnya sendiri atau tempat parkir (garasi)
yang disewa dengan sanksi keras. Kepemilikan garasi mobil ini wajib
ditunjukkan buktinya sebagai persyaratan saat hendak membeli mobil.
Banyak hal bisa dilakukan
untuk mengurai kemacetan melalui manajemen dan rekayasa lalu lintas dan
angkutan jalan. Harapan masyarakat, semangat dan agresivitas Gubernur
Jokowi jangan sampai "layu sebelum berkembang". Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar