Kamis, 18 April 2013

Rangkap Tugas Kader Parpol


Rangkap Tugas Kader Parpol
Ikhsan Darmawan   Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
SINAR HARAPAN, 17 April 2013

  
Entah apa yang ada di benak 10 menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II saat ini. Belum tuntas menyelesaikan tugas sebagai bawahan presiden, mereka justru beramai-ramai mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg) dari parpol masing-masing.

Sepuluh orang menteri itu didominasi oleh Partai Demokrat dengan lima menteri (Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo, Menteri Urusan Koperasi dan UKM Syarifuddin Hasan, Menteri ESDM Jero Wacik, Menteri Perhubungan EE Mangindaan, dan Menhukham Amir Syamsuddin.

Sisanya, tiga parpol lain, PKB, PAN, dan PKS, mengajukan satu dan atau dua menteri (Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Helmi Faisal Zaini (PKB); Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan serta Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi (Menpan-RB) Azwar Abubakar (PAN); dan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring serta Menteri Pertanian Suswono (PKS).

Tiga Faktor

Ada tiga faktor yang perlu ditelaah dalam hal keikutsertaan para menteri dalam Pemilu 2014. Faktor pertama, yaitu faktor parpol dari para menteri itu. Sejumlah petinggi parpol yang menterinya menjadi caleg tidak ada satu pun yang berkomentar negatif terhadap pencalonan mereka. Bahkan, terkesan ada perintah dari parpol kepada mereka untuk masuk dalam kontestasi Pemilu Legislatif 2014.

Muhammad Taufik Ridho, Sekretaris Jenderal PKS, berujar bahwa tiada aturan normatif yang melarang menteri mencalonkan diri. Sejalan dengan Taufik Ridho, Max Sopacua dari Partai Demokrat juga mengatakan hal yang kurang lebih sama. Max malah mengungkapkan bahwa penugasan kader partainya menjadi caleg ialah sebuah kebutuhan dan kewajiban memenuhi perintah parpolnya.

Secara kelembagaan, fenomena rangkap tugas menteri caleg menunjukkan ada problem di tubuh parpol. Dari sekian banyak anggota yang mereka miliki, apakah tidak ada kader mumpuni yang dapat mereka andalkan. Jika parpol punya, mestinya tak perlu sampai kader yang belum selesai menjalankan tugasnya harus “banting tulang” demi merebut satu kursi di Senayan.

Faktor kedua, yaitu masing-masing individu menteri itu sendiri. Sulit dipungkiri bahwa sekalipun ada instruksi dari institusi politik tempat mereka berkiprah, jika si menteri juga tidak mau atau menolak dicalonkan maka tidak akan ada nama mereka di Daftar Caleg Sementara (DCS). Dalam sebuah diskusi di TV One (12/4), Tifatul Sembiring dari PKS mengutarakan hal itu.

Artinya, betul bahwa bisa saja para petinggi parpol menyuruh kader di PKS untuk menjadi caleg, tapi bukan berarti tidak ada sama sekali keinginan dari dalam diri menteri itu untuk dicalonkan. Dalam pengambilan keputusan pula, apakah iya atau tidak menjadi caleg, faktor keinginan pribadi sedikit banyak pasti bermain.

Faktor terakhir, yakni pemimpin kabinet, yaitu Presiden SBY. Belum genap setahun yang lalu, pada Mei 2012, Presiden SBY memerintahkan seluruh menterinya untuk bekerja maksimal (dalam tugasnya di kabinet). Saat itu, Presiden SBY mengungkapkan, waktu yang paling baik untuk meningkatkan kinerja dan sasaran lebih baik adalah tahun 2012 dan tahun depan (baca: 2013).

Tak lama setelah itu, pada September 2012, presiden kembali menegaskan instruksinya kepada semua jajaran “pembantunya” agar memanfaatkan waktu secara efektif untuk mengimplementasikan program kerja yang sudah direncanakan. Beliau bahkan meminta setiap menteri untuk berlomba mencapai prestasi.

Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah mengapa Presiden SBY terkesan mempersilakan saja para menterinya untuk menjalankan tugas dari parpolnya masing-masing sebagai caleg. Seakan-akan presiden tidak ingat betul akan apa yang diucapkannya tahun lalu kepada 34 menterinya untuk bekerja keras dan mencurahkan semaksimal mungkin waktu, pikiran, dan tenaga menjalankan tugas kenegaraan yang mereka emban. Salah satu menteri, Tifatul Sembiring, mengatakan SBY membolehkan waktu akhir pekan digunakan untuk kegiatan di luar tugas sebagai menteri.

Satu di antara sekian banyak penjelasan mengapa SBY seperti membiarkan para menterinya menjadi caleg ialah situtasi di mana SBY selain sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan juga merangkap sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. SBY, sebagai Ketum Partai Demokrat, bertanggung jawab terhadap masa depan parpolnya.

Hasil riset Saiful Mujani Research Consulting (SMRC), Februari lalu cukup membuat SBY terpaksa memutar otak mencari jalan keluar mendongkrak elektabilitas parpolnya yang jatuh di angka 8,3 persen. Strategi yang paling instan dan mujarab ialah dengan menempatkan kader yang mempunyai elektabilitas relatif tinggi, dan rombongan menteri dari parpolnya termasuk ke dalam kategori tersebut.

Kebijakan yang diambil SBY itu “memenjarakan” dirinya sendiri dalam kapasitasnya sebagai primus inter pares para menteri. Karena SBY enggan melarang menteri-menteri dari parpolnya maka SBY tidak bisa melarang menteri kader parpol yang lain. Lengkaplah sudah.

Tidak Tepat

Apakah parpol dan para menteri caleg itu melanggar hukum? Jawabannya, tidak. Dari kacamata yuridis formil, UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif tidak memuat larangan soal rangkap tugas. Aturan yang ada tidak melarang menteri untuk sekaligus menjadi caleg. Ketika menjadi caleg, para menteri itu hanya perlu cuti saja.

Yang justru dilarang menurut Pasal 19 huruf i angka 4 Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2013 adalah kepala desa dan perangkat desa. Kepala desa dan jajarannya "harus" mundur dari jabatannya apabila mencalonkan diri sebagai anggota DPR dan DPRD.

Meskipun secara legal formal “dibolehkan”, memaksakan diri menjadi menteri disambi dengan aktivitas sebagai caleg tidaklah elok karena beberapa sebab. Hal tersebut karena, pertama, konflik kepentingan (conflict of interest). Seorang menteri memiliki aktivitas yang padat, dari mulai memimpin kementeriannya sampai dengan turun ke daerah-daerah.

Konflik kepentingan akan sangat terlihat ketika ada momentum blusukan ke daerah-daerah, terutama daerah pemilihan (dapil) si menteri. Saat kunjungan kerja ke dapilnya itu, sulit untuk membedakan sebagai apakah menteri itu?

Apakah dalam kapasitasnya sebagai menterikah atau sebagai caleg? Kemungkinan kerancuan pemakaian anggaran negara (sebagai menteri) dan anggaran pribadi (sebagai caleg) tak terelakan. Apalagi kalau ada prosesi pemberian bantuan sosial kepada konstituen di wilayah pemilihannya itu makin sulit lagi untuk menghindari pelabelan konflik kepentingan untuk menteri tersebut.

Yang kedua, bertautan dengan aspek keadilan. Priviledge sebagai menteri adalah tidak adil bagi caleg-caleg lain yang bukan menteri. Ditambah, tidak terlampau jelas aturan yang dapat membatasi pemanfaatan dana negara untuk kepentingan kampanye politik menteri. Contoh nyatanya adalah pemasangan iklan kementerian di masa kampanye pemilu legislatif.

Penyebab berikutnya yaitu soal profesionalitas, terutama pembagian waktu. Sebagai pembantu presiden, akan banyak situasi yang membutuhkan menteri harus turun langsung dan tidak dapat diwakilkan dalam konteks tugas kementeriannya. Misalnya saja, dalam proses pengambilan keputusan-keputusan strategis di kantornya atau ketika presiden mendadak memanggil seluruh menteri dalam sebuah rapat tak terencana.

Penyebab keempat, berkisar pada soal etika politik. Yang ideal dan etis, sebuah jabatan politik harus diposisikan sebagai suatu amanah, kepercayaan, dan tanggung jawab, bukan pekerjaan yang bisa disambi-sambi.

Penyebab terakhir, kekhawatiran para menteri ini hanya diperlakukan sebagai vote getter saja oleh para petinggi parpol. Sudah ada preseden buruk yang diperlihatkan sebelumnya berkaitan dengan hal itu. Contoh yang dimaksud yaitu dua orang mantan menteri, yakni Adhyaksa Dault dan Freddy Numberi.

Kala itu, keduanya ikut Pemilu Legislatif 2009 dan meraih kursi di DPR. Akan tetapi, karena alasan terpilih kembali menjadi menteri dan ingin fokus ke tugas sebagai menteri, keduanya mengundurkan diri dari posisi sebagai anggota DPR periode 2009-2014.

Berangkat dari sebab-sebab itu, Presiden SBY perlu memikirkan ulang sikap pembiarannya sejauh ini. Langkah terbaik adalah tidak mengizinkan sepuluh orang itu rangkap tugas, atau bisa juga mereka harus memilih salah satu. Hal ini karena penting untuk menunjukkan kepada masyarakat keseriusan pemerintahan SBY menjalankan roda pemerintahan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar