Entah
apa yang ada di benak 10 menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II saat
ini. Belum tuntas menyelesaikan tugas sebagai bawahan presiden, mereka
justru beramai-ramai mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif
(caleg) dari parpol masing-masing.
Sepuluh orang menteri itu didominasi oleh Partai
Demokrat dengan lima menteri (Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo,
Menteri Urusan Koperasi dan UKM Syarifuddin Hasan, Menteri ESDM Jero
Wacik, Menteri Perhubungan EE Mangindaan, dan Menhukham Amir Syamsuddin.
Sisanya, tiga parpol lain, PKB, PAN, dan PKS,
mengajukan satu dan atau dua menteri (Menteri Pembangunan Daerah
Tertinggal Helmi Faisal Zaini (PKB); Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan
serta Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi (Menpan-RB)
Azwar Abubakar (PAN); dan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul
Sembiring serta Menteri Pertanian Suswono (PKS).
Tiga Faktor
Ada tiga faktor yang perlu ditelaah dalam hal
keikutsertaan para menteri dalam Pemilu 2014. Faktor pertama, yaitu faktor
parpol dari para menteri itu. Sejumlah petinggi parpol yang menterinya
menjadi caleg tidak ada satu pun yang berkomentar negatif terhadap
pencalonan mereka. Bahkan, terkesan ada perintah dari parpol kepada
mereka untuk masuk dalam kontestasi Pemilu Legislatif 2014.
Muhammad Taufik Ridho, Sekretaris Jenderal PKS,
berujar bahwa tiada aturan normatif yang melarang menteri mencalonkan
diri. Sejalan dengan Taufik Ridho, Max Sopacua dari Partai Demokrat juga
mengatakan hal yang kurang lebih sama. Max malah mengungkapkan bahwa
penugasan kader partainya menjadi caleg ialah sebuah kebutuhan dan
kewajiban memenuhi perintah parpolnya.
Secara kelembagaan, fenomena rangkap tugas menteri
caleg menunjukkan ada problem di tubuh parpol. Dari sekian banyak anggota
yang mereka miliki, apakah tidak ada kader mumpuni yang dapat mereka
andalkan. Jika parpol punya, mestinya tak perlu sampai kader yang belum
selesai menjalankan tugasnya harus “banting tulang” demi merebut satu
kursi di Senayan.
Faktor kedua, yaitu masing-masing individu menteri
itu sendiri. Sulit dipungkiri bahwa sekalipun ada instruksi dari
institusi politik tempat mereka berkiprah, jika si menteri juga tidak mau
atau menolak dicalonkan maka tidak akan ada nama mereka di Daftar Caleg
Sementara (DCS). Dalam sebuah diskusi di TV One (12/4), Tifatul Sembiring
dari PKS mengutarakan hal itu.
Artinya, betul bahwa bisa saja para petinggi parpol
menyuruh kader di PKS untuk menjadi caleg, tapi bukan berarti tidak ada
sama sekali keinginan dari dalam diri menteri itu untuk dicalonkan. Dalam
pengambilan keputusan pula, apakah iya atau tidak menjadi caleg, faktor
keinginan pribadi sedikit banyak pasti bermain.
Faktor terakhir, yakni pemimpin kabinet, yaitu
Presiden SBY. Belum genap setahun yang lalu, pada Mei 2012, Presiden SBY
memerintahkan seluruh menterinya untuk bekerja maksimal (dalam tugasnya
di kabinet). Saat itu, Presiden SBY mengungkapkan, waktu yang paling baik
untuk meningkatkan kinerja dan sasaran lebih baik adalah tahun 2012 dan
tahun depan (baca: 2013).
Tak lama setelah itu, pada September 2012, presiden
kembali menegaskan instruksinya kepada semua jajaran “pembantunya” agar
memanfaatkan waktu secara efektif untuk mengimplementasikan program kerja
yang sudah direncanakan. Beliau bahkan meminta setiap menteri untuk berlomba
mencapai prestasi.
Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah mengapa
Presiden SBY terkesan mempersilakan saja para menterinya untuk
menjalankan tugas dari parpolnya masing-masing sebagai caleg. Seakan-akan
presiden tidak ingat betul akan apa yang diucapkannya tahun lalu kepada
34 menterinya untuk bekerja keras dan mencurahkan semaksimal mungkin
waktu, pikiran, dan tenaga menjalankan tugas kenegaraan yang mereka
emban. Salah satu menteri, Tifatul Sembiring, mengatakan SBY membolehkan
waktu akhir pekan digunakan untuk kegiatan di luar tugas sebagai menteri.
Satu di antara sekian banyak penjelasan mengapa SBY
seperti membiarkan para menterinya menjadi caleg ialah situtasi di mana
SBY selain sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan juga merangkap
sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. SBY, sebagai Ketum Partai Demokrat,
bertanggung jawab terhadap masa depan parpolnya.
Hasil riset Saiful Mujani Research Consulting (SMRC),
Februari lalu cukup membuat SBY terpaksa memutar otak mencari jalan
keluar mendongkrak elektabilitas parpolnya yang jatuh di angka 8,3
persen. Strategi yang paling instan dan mujarab ialah dengan menempatkan
kader yang mempunyai elektabilitas relatif tinggi, dan rombongan menteri
dari parpolnya termasuk ke dalam kategori tersebut.
Kebijakan yang diambil SBY itu “memenjarakan” dirinya
sendiri dalam kapasitasnya sebagai primus inter pares para menteri.
Karena SBY enggan melarang menteri-menteri dari parpolnya maka SBY tidak
bisa melarang menteri kader parpol yang lain. Lengkaplah sudah.
Tidak Tepat
Apakah parpol dan para menteri caleg itu melanggar
hukum? Jawabannya, tidak. Dari kacamata yuridis formil, UU No 8 Tahun
2012 tentang Pemilu Legislatif tidak memuat larangan soal rangkap tugas.
Aturan yang ada tidak melarang menteri untuk sekaligus menjadi caleg.
Ketika menjadi caleg, para menteri itu hanya perlu cuti saja.
Yang justru dilarang menurut Pasal 19 huruf i angka 4
Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2013 adalah kepala desa dan perangkat desa.
Kepala desa dan jajarannya "harus" mundur dari jabatannya
apabila mencalonkan diri sebagai anggota DPR dan DPRD.
Meskipun secara legal formal “dibolehkan”, memaksakan
diri menjadi menteri disambi dengan aktivitas sebagai caleg tidaklah elok
karena beberapa sebab. Hal tersebut karena, pertama, konflik kepentingan
(conflict of interest). Seorang menteri memiliki aktivitas yang padat,
dari mulai memimpin kementeriannya sampai dengan turun ke daerah-daerah.
Konflik kepentingan akan sangat terlihat ketika ada
momentum blusukan ke daerah-daerah, terutama daerah pemilihan (dapil) si
menteri. Saat kunjungan kerja ke dapilnya itu, sulit untuk membedakan
sebagai apakah menteri itu?
Apakah dalam kapasitasnya sebagai menterikah atau
sebagai caleg? Kemungkinan kerancuan pemakaian anggaran negara (sebagai
menteri) dan anggaran pribadi (sebagai caleg) tak terelakan. Apalagi
kalau ada prosesi pemberian bantuan sosial kepada konstituen di wilayah
pemilihannya itu makin sulit lagi untuk menghindari pelabelan konflik
kepentingan untuk menteri tersebut.
Yang kedua, bertautan dengan aspek keadilan.
Priviledge sebagai menteri adalah tidak adil bagi caleg-caleg lain yang
bukan menteri. Ditambah, tidak terlampau jelas aturan yang dapat
membatasi pemanfaatan dana negara untuk kepentingan kampanye politik
menteri. Contoh nyatanya adalah pemasangan iklan kementerian di masa
kampanye pemilu legislatif.
Penyebab berikutnya yaitu soal profesionalitas,
terutama pembagian waktu. Sebagai pembantu presiden, akan banyak situasi
yang membutuhkan menteri harus turun langsung dan tidak dapat diwakilkan
dalam konteks tugas kementeriannya. Misalnya saja, dalam proses
pengambilan keputusan-keputusan strategis di kantornya atau ketika
presiden mendadak memanggil seluruh menteri dalam sebuah rapat tak
terencana.
Penyebab keempat, berkisar pada soal etika politik.
Yang ideal dan etis, sebuah jabatan politik harus diposisikan sebagai
suatu amanah, kepercayaan, dan tanggung jawab, bukan pekerjaan yang bisa
disambi-sambi.
Penyebab terakhir, kekhawatiran para menteri ini
hanya diperlakukan sebagai vote getter saja oleh para petinggi
parpol. Sudah ada preseden buruk yang diperlihatkan sebelumnya berkaitan
dengan hal itu. Contoh yang dimaksud yaitu dua orang mantan menteri,
yakni Adhyaksa Dault dan Freddy Numberi.
Kala itu, keduanya ikut Pemilu Legislatif 2009 dan meraih
kursi di DPR. Akan tetapi, karena alasan terpilih kembali menjadi menteri
dan ingin fokus ke tugas sebagai menteri, keduanya mengundurkan diri dari
posisi sebagai anggota DPR periode 2009-2014.
Berangkat dari
sebab-sebab itu, Presiden SBY perlu memikirkan ulang sikap pembiarannya
sejauh ini. Langkah terbaik adalah tidak mengizinkan sepuluh orang itu
rangkap tugas, atau bisa juga mereka harus memilih salah satu. Hal ini
karena penting untuk menunjukkan kepada masyarakat keseriusan
pemerintahan SBY menjalankan roda pemerintahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar