Senin, 15 April 2013

Menggugat Mekanisme Pilkada


Menggugat Mekanisme Pilkada
Farouk Muhammad  Ketua Tim Kerja RUU Pilkada DPD;
Guru Besar Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana pada UI/STIK-PTIK
KOMPAS, 15 April 2013

  
Saat ini sedang berlangsung pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang jadi inisiatif pemerintah. Dewan Perwakilan Daerah terlibat aktif dalam pembahasan RUU tersebut hingga pembahasan pasal per pasal yang tertuang dalam daftar inventarisasi masalah. Ini adalah satu langkah sangat maju di mana DPR (Komisi II) mengundang DPD untuk terlibat dalam pembahasan daftar inventarisasi masalah pasal per pasal.
RUU Pilkada menjadi perhatian serius DPD karena pilkada adalah kawah candradimuka bagi proses regenerasi dan kaderisasi kepemimpinan, khususnya di daerah. Bahkan, dalam pemikiran DPD, para pemimpin di tingkat nasional adalah mereka yang telah melalui proses kaderisasi di tingkat lokal melalui keberhasilan memimpin daerah.
Langsung vs Tidak Langsung
Dalam RUU dan pembahasan yang berkembang, pemerintah mengusulkan perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah. Bupati/wali kota dipilih secara langsung oleh rakyat sebagaimana langgam yang berlangsung selama ini, sementara gubernur dipilih oleh DPRD, sebagaimana pernah terjadi di masa Orde Baru. Berkenaan dengan usulan ini, sikap DPD adalah tetap pada mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat, baik untuk pilkada provinsi maupun kabupaten/kota.
Pemilihan langsung oleh rakyat adalah pilihan terbaik dalam kerangka demokrasi. Kita tidak sedang mendebatkan mekanisme demokrasi di antara dua pilihan tersebut karena dua-duanya memenuhi frase ”dipilih secara demokratis” pada Pasal 18 Ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Akan tetapi, pilkada bukanlah eksperimentasi dalam laboratorium politik bernegara yang sewaktu-waktu dapat digonta-ganti sistem dan mekanismenya. Terlebih lagi perubahan mekanisme pilkada justru pada level pemilihan gubernur (pilgub). Berdasarkan tinjauan praktis, pilgub oleh DPRD tidak relevan dengan upaya-upaya penyederhanaan penyelenggaraan pilkada, upaya efisiensi, pencegahan politik uang, dan pencegahan konflik komunal.
Diasumsikan penyelenggaraan jauh lebih murah melalui mekanisme DPRD, tetapi biaya kampanye bahkan bisa jauh lebih mahal. Penghematan biaya melalui perubahan mekanisme pilgub hanya mencakup sebagian kecil dari anggaran negara, karena bagian terbesar masih diperuntukkan bagi pemilihan bupati (pilbup)/pemilihan wali kota (pilwakot). Terhitung biaya penyelenggaraan pilbup/pilwakot mencapai Rp 20 triliun, sementara untuk pilgub tak sampai Rp 5 triliun. Selain itu, pemilihan serentak juga hampir tak memberi penghematan yang berarti jika hanya melalui perubahan mekanisme pilgub.
Pengawasan politik uang juga masih akan menjadi permasalahan besar bangsa sepanjang yang diubah hanya 33 pilkada. Permasalahan yang membuat pemerintah pusat (Kemendagri) dan penyelenggara pemilu ”pusing” lebih pada mengurus lebih dari 500 pilbup/pilwakot daripada 33 pilgub. Selain itu, perubahan mekanisme pilkada melalui DPRD akan membawa konsekuensi perubahan tugas dan wewenang DPRD yang menuntut perubahan UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Terkait gugatan hasil pilkada, faktanya sebagian besar hasil pilkada berakhir di Mahkamah Konstitusi. Proporsi pilgub hanya sekitar 7 persen dari total pelaksanaan pilkada di seluruh Indonesia. Dalam catatan MK selama kurun waktu 2008-2013 terdapat 549 gugatan hasil pilkada. Dari jumlah tersebut, gugatan atas hasil pilgub hanya sekitar 5 persen, sisanya tentu saja adalah gugatan atas hasil pilbub/pilwakot. Alhasil, tidak ada dampak signifikan perubahan mekanisme pilgub terhadap potensi gugatan hasil pilkada.
Pilkada dan Lokus Otonomi
Terkait pencegahan konflik, realitasnya kian dekat kedudukan pemilihan pejabat publik dengan pemilih kian rentan terjadi konflik komunal. Buktinya, hampir tak ada konflik komunal terkait pilpres dan/atau pilgub. Artinya, konflik komunal yang melanda bangsa kita lebih terkait pilbup/pilwakot daripada pilgub. Dengan demikian, mengubah mekanisme pilgub oleh DPRD hampir tak berpengaruh pada upaya mengatasi konflik komunal.
Kalau ditelisik lebih lanjut, alasan pemerintah tetap mempertahankan pemilu untuk pilbup/pilwakot karena lokus atau titik tekan otonomi sejatinya ada di kabupaten/kota. Kabupaten/kota juga merupakan pemerintahan yang terdekat dengan masyarakat, kebijakan dan pelayanannya langsung bersentuhan dengan masyarakat. Pemerintah menyebut posisi kabupaten/kota ini sebagai ”unit dasar” penyelenggara pemerintahan daerah dalam kerangka otonomi.
Sebaliknya, pemerintah berargumen bahwa posisi gubernur adalah ”unit antara” yang tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik bagi masyarakat. Kewenangan gubernur sesungguhnya adalah mengoordinasi pelaksanaan pemerintahan lintas kabupaten/kota di wilayahnya sehingga kedudukannya selain sebagai daerah otonomi juga sebagai wakil pemerintah pusat. Demi penguatan kedudukan gubernur dengan peran gandanya serta dalam rangka efektivitas pemerintahan, maka pilgub diusulkan oleh DPRD. Pertanyaannya kemudian, apakah pilkada harus sesuai dengan lokus otonomi?
Jika pertimbangan pemilihan gubernur oleh DPRD adalah demikian (memperkuat kedudukan gubernur dan dalam rangka efektivitas pemerintahan), maka jauh lebih signifikan legitimasi itu diperoleh gubernur melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Sementara bupati/wali kota dipilih oleh DPRD. Secara implisit kuatnya kedudukan otonomi provinsi termaktub dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, di mana setiap daerah tersebut mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi.
Artinya, jika pemerintah menggunakan argumentasi lokus otonomi, rumusan ketentuan UUD itu justru memungkinkan untuk penafsiran ”otonomi berjenjang”, artinya otonomi dari negara diletakkan pada provinsi dan dalam provinsi ada ”otonomi kabupaten/kota”. Penafsiran ini yang menjadi sikap politik DPD sebagaimana dirumuskan dalam usul amandemen kelima.
Perlu dipahami bahwa meletakkan lokus otonomi (negara) pada level provinsi tidaklah berarti harus memperkuat satuan kerja perangkat daerah pada tingkat provinsi. Bisa saja otonomi pada provinsi (penjabaran kebijakan pusat, pengarahan, dan pengawasan), tetapi operasionalisasi otonomi pada dasarnya ada pada kabupaten/kota sehingga memperkuat kedudukan gubernur melalui mekanisme ”administratif” (pelimpahan kewenangan pemerintah pusat dan dipilih oleh DPRD), seperti diusulkan pemerintah, kurang memberi dampak legitimasi sosial politik daripada melalui mekanisme politik (pemberian amanah langsung oleh rakyat). Bandingkan jika presiden dipilih MPR dan gubernur dipilih oleh rakyat.
Konklusi
Kita semua menyadari negara kita dalam keadaan ”sakit” sehingga para elite hampir sepakat bahwa perbaikan mendasar harus dilakukan dengan perubahan undang-undang dasar, perbedaannya hanya soal waktu. Karena itu, harus dihindari adanya perubahan kebijakan ”tambal sulam” dalam masa transisi (sebelum amandemen). Atas dasar itu semua, kami atas nama DPD RI dan pribadi menyarankan agar tidak dilakukan perubahan mekanisme pilkada sampai amandemen kelima UUD 1945.
Jika amandemen kelima pada saatnya nanti dilakukan, maka sesuai sikap politik DPD di atas lokus otonomi diusulkan di tingkat provinsi. Pada kondisi ini, pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat justru dilaksanakan hanya untuk pilkada gubernur, sementara pemilihan bupati/wali kota melalui mekanisme DPRD. Namun, jika keputusan (pilbub/pilwakot oleh DPRD) yang sejalan dengan sikap DPD diambil sekarang, yang harus diperkuat dalam regulasi adalah mekanisme pengawasan politik uang dan memperketat syarat kompetensi untuk menjamin kualitas kepemimpinan daerah sebagai kawah candradimuka. Dengan demikian, konsepsi DPD yang sejalan dengan substansi ”amandemen kelima” sudah diterima DPR yang notabene anggota MPR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar