Saat ini sedang berlangsung
pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang jadi
inisiatif pemerintah. Dewan Perwakilan Daerah terlibat aktif dalam
pembahasan RUU tersebut hingga pembahasan pasal per pasal yang tertuang
dalam daftar inventarisasi masalah. Ini adalah satu langkah sangat maju
di mana DPR (Komisi II) mengundang DPD untuk terlibat dalam pembahasan
daftar inventarisasi masalah pasal per pasal.
RUU Pilkada menjadi perhatian
serius DPD karena pilkada adalah kawah candradimuka bagi proses regenerasi
dan kaderisasi kepemimpinan, khususnya di daerah. Bahkan, dalam pemikiran
DPD, para pemimpin di tingkat nasional adalah mereka yang telah melalui
proses kaderisasi di tingkat lokal melalui keberhasilan memimpin daerah.
Langsung vs Tidak Langsung
Dalam RUU dan pembahasan yang
berkembang, pemerintah mengusulkan perubahan mekanisme pemilihan kepala
daerah. Bupati/wali kota dipilih secara langsung oleh rakyat sebagaimana
langgam yang berlangsung selama ini, sementara gubernur dipilih oleh
DPRD, sebagaimana pernah terjadi di masa Orde Baru. Berkenaan dengan
usulan ini, sikap DPD adalah tetap pada mekanisme pemilihan langsung oleh
rakyat, baik untuk pilkada provinsi maupun kabupaten/kota.
Pemilihan langsung oleh rakyat
adalah pilihan terbaik dalam kerangka demokrasi. Kita tidak sedang
mendebatkan mekanisme demokrasi di antara dua pilihan tersebut karena
dua-duanya memenuhi frase ”dipilih secara demokratis” pada Pasal 18 Ayat
(4) UUD NRI Tahun 1945. Akan tetapi, pilkada bukanlah eksperimentasi
dalam laboratorium politik bernegara yang sewaktu-waktu dapat
digonta-ganti sistem dan mekanismenya. Terlebih lagi perubahan mekanisme
pilkada justru pada level pemilihan gubernur (pilgub). Berdasarkan
tinjauan praktis, pilgub oleh DPRD tidak relevan dengan upaya-upaya
penyederhanaan penyelenggaraan pilkada, upaya efisiensi, pencegahan
politik uang, dan pencegahan konflik komunal.
Diasumsikan penyelenggaraan jauh
lebih murah melalui mekanisme DPRD, tetapi biaya kampanye bahkan bisa
jauh lebih mahal. Penghematan biaya melalui perubahan mekanisme pilgub
hanya mencakup sebagian kecil dari anggaran negara, karena bagian
terbesar masih diperuntukkan bagi pemilihan bupati (pilbup)/pemilihan
wali kota (pilwakot). Terhitung biaya penyelenggaraan pilbup/pilwakot
mencapai Rp 20 triliun, sementara untuk pilgub tak sampai Rp 5 triliun.
Selain itu, pemilihan serentak juga hampir tak memberi penghematan yang
berarti jika hanya melalui perubahan mekanisme pilgub.
Pengawasan politik uang juga
masih akan menjadi permasalahan besar bangsa sepanjang yang diubah hanya
33 pilkada. Permasalahan yang membuat pemerintah pusat (Kemendagri) dan
penyelenggara pemilu ”pusing” lebih pada mengurus lebih dari 500
pilbup/pilwakot daripada 33 pilgub. Selain itu, perubahan mekanisme
pilkada melalui DPRD akan membawa konsekuensi perubahan tugas dan
wewenang DPRD yang menuntut perubahan UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD.
Terkait gugatan hasil pilkada,
faktanya sebagian besar hasil pilkada berakhir di Mahkamah Konstitusi.
Proporsi pilgub hanya sekitar 7 persen dari total pelaksanaan pilkada di
seluruh Indonesia. Dalam catatan MK selama kurun waktu 2008-2013 terdapat
549 gugatan hasil pilkada. Dari jumlah tersebut, gugatan atas hasil
pilgub hanya sekitar 5 persen, sisanya tentu saja adalah gugatan atas
hasil pilbub/pilwakot. Alhasil, tidak ada dampak signifikan perubahan
mekanisme pilgub terhadap potensi gugatan hasil pilkada.
Pilkada dan Lokus Otonomi
Terkait pencegahan konflik,
realitasnya kian dekat kedudukan pemilihan pejabat publik dengan pemilih
kian rentan terjadi konflik komunal. Buktinya, hampir tak ada konflik
komunal terkait pilpres dan/atau pilgub. Artinya, konflik komunal yang
melanda bangsa kita lebih terkait pilbup/pilwakot daripada pilgub. Dengan
demikian, mengubah mekanisme pilgub oleh DPRD hampir tak berpengaruh pada
upaya mengatasi konflik komunal.
Kalau ditelisik lebih lanjut,
alasan pemerintah tetap mempertahankan pemilu untuk pilbup/pilwakot
karena lokus atau titik tekan otonomi sejatinya ada di kabupaten/kota.
Kabupaten/kota juga merupakan pemerintahan yang terdekat dengan
masyarakat, kebijakan dan pelayanannya langsung bersentuhan dengan
masyarakat. Pemerintah menyebut posisi kabupaten/kota ini sebagai ”unit
dasar” penyelenggara pemerintahan daerah dalam kerangka otonomi.
Sebaliknya, pemerintah
berargumen bahwa posisi gubernur adalah ”unit antara” yang tidak
berhubungan langsung dengan pelayanan publik bagi masyarakat. Kewenangan
gubernur sesungguhnya adalah mengoordinasi pelaksanaan pemerintahan
lintas kabupaten/kota di wilayahnya sehingga kedudukannya selain sebagai
daerah otonomi juga sebagai wakil pemerintah pusat. Demi penguatan
kedudukan gubernur dengan peran gandanya serta dalam rangka efektivitas
pemerintahan, maka pilgub diusulkan oleh DPRD. Pertanyaannya kemudian,
apakah pilkada harus sesuai dengan lokus otonomi?
Jika pertimbangan pemilihan
gubernur oleh DPRD adalah demikian (memperkuat kedudukan gubernur dan
dalam rangka efektivitas pemerintahan), maka jauh lebih signifikan
legitimasi itu diperoleh gubernur melalui pemilihan langsung oleh rakyat.
Sementara bupati/wali kota dipilih oleh DPRD. Secara implisit kuatnya
kedudukan otonomi provinsi termaktub dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945
yang menyatakan bahwa NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, di mana setiap daerah
tersebut mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi.
Artinya, jika pemerintah
menggunakan argumentasi lokus otonomi, rumusan ketentuan UUD itu justru
memungkinkan untuk penafsiran ”otonomi berjenjang”, artinya otonomi dari
negara diletakkan pada provinsi dan dalam provinsi ada ”otonomi
kabupaten/kota”. Penafsiran ini yang menjadi sikap politik DPD
sebagaimana dirumuskan dalam usul amandemen kelima.
Perlu dipahami bahwa meletakkan
lokus otonomi (negara) pada level provinsi tidaklah berarti harus
memperkuat satuan kerja perangkat daerah pada tingkat provinsi. Bisa saja
otonomi pada provinsi (penjabaran kebijakan pusat, pengarahan, dan
pengawasan), tetapi operasionalisasi otonomi pada dasarnya ada pada
kabupaten/kota sehingga memperkuat kedudukan gubernur melalui mekanisme
”administratif” (pelimpahan kewenangan pemerintah pusat dan dipilih oleh
DPRD), seperti diusulkan pemerintah, kurang memberi dampak legitimasi
sosial politik daripada melalui mekanisme politik (pemberian amanah
langsung oleh rakyat). Bandingkan jika presiden dipilih MPR dan gubernur
dipilih oleh rakyat.
Konklusi
Kita semua menyadari negara kita
dalam keadaan ”sakit” sehingga para elite hampir sepakat bahwa perbaikan
mendasar harus dilakukan dengan perubahan undang-undang dasar,
perbedaannya hanya soal waktu. Karena itu, harus dihindari adanya
perubahan kebijakan ”tambal sulam” dalam masa transisi (sebelum
amandemen). Atas dasar itu semua, kami atas nama DPD RI dan pribadi
menyarankan agar tidak dilakukan perubahan mekanisme pilkada sampai
amandemen kelima UUD 1945.
Jika amandemen kelima pada
saatnya nanti dilakukan, maka sesuai sikap politik DPD di atas lokus
otonomi diusulkan di tingkat provinsi. Pada kondisi ini, pelaksanaan
pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat justru dilaksanakan
hanya untuk pilkada gubernur, sementara pemilihan bupati/wali kota
melalui mekanisme DPRD. Namun, jika keputusan (pilbub/pilwakot oleh DPRD)
yang sejalan dengan sikap DPD diambil sekarang, yang harus diperkuat
dalam regulasi adalah mekanisme pengawasan politik uang dan memperketat
syarat kompetensi untuk menjamin kualitas kepemimpinan daerah sebagai
kawah candradimuka. Dengan demikian, konsepsi DPD yang sejalan dengan substansi
”amandemen kelima” sudah
diterima DPR yang notabene anggota MPR. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar