Tak ada kata terlambat untuk kebaikan, mungkin
istilah tersebut yang ada di benak Presiden Yudhoyono, ketika secara
bulat memutuskan membuat akun Twitter dan bergabung sebagai netizen (warga mayantara). Karena,
setelah hampir dua periode memimpin negeri ini, baru sekarang Presiden
seperti menyadari pentingnya media sosial, di tengah pemberitaan media mainstream, baik cetak maupun
elektronik, yang cenderung kurang berimbang.
Kasus demi kasus yang mendera Demokrat sebagai efek
Nazaruddin (Nazaruddin effect)
menjadi santapan empuk media untuk menggerus citra maupun elektabilitas
partai. Apalagi pemilihan umum sebentar lagi akan digelar, tentu
aktivitas di media sosial ini diharapkan dapat memberi alternatif
informasi sekaligus mengundang empati publik terhadap partai yang
dipimpinnya. Namun presiden harus waspada, mengingat saat ini merupakan
periode akhir kepemimpinannya, bukan fase awal ia akan kembali menjadi
presiden, jadi, basisnya kerja bukan citra. Karena, bila tidak, niat dan
keinginan baik ini justru akan menjadi blunder komunikasi politik di
hadapan publik.
Reduksi Makna
Reduksi makna dalam 140 karakter yang ditawarkan
Twitter berpotensi membuka peluang munculnya tafsir yang bisa berujung
kontroversi maupun konflik. Karena itu, untuk menghindari hal-hal
tersebut, ada baiknya Presiden Yudhoyono mulai mengubah gaya komunikasi
politik yang selama ini high context,
dengan menjadi leader (top down) dan follower (bottom up)
secara bersamaan sebagaimana spirit netizen
berinteraksi. Artinya, posisi Yudhoyono sebagai Presiden, dalam pola
komunikasi yang interaktif ini menjadi pelengkap, bukan hal utama. Agar
inti pesan dapat diperoleh dan berikutnya bisa dikelola kedua belah pihak
sebagai masukan positif dan partisipatif-emansipatorik.
Komunikan atau penerima informasi di media sosial
secara demografis merupakan orang muda, tinggal di kota-kota besar, dan
dari sisi pendidikan cukup mapan. Mereka adalah gambaran kelas menengah
yang tumbuh dan terus akan berkembang menjadi pendukung utama pembangunan
kehidupan politik bangsa.
Dalam bahasa Arifin (1984), mereka memiliki unsur
pengendalian yang bersumber pada kesadaran Aku yang tinggi dan filter
konseptual (Fisher: 1990) yang baik pada informasi yang diproses,
sehingga kemampuan konseptual seorang komunikator untuk mengontrol
komunikasi sangat terbatas.
Sampai pada konteks ini, Presiden Yudhoyono dan tim
yang dibentuk harus cukup cermat dalam beradaptasi. Pertama, dengan pola
komunikasi dua arah dan limitasi aturan yang cukup jelas, setiap pengguna
Twitter memiliki kebebasan dalam menyampaikan ide, kritik, maupun saran
kepada presiden dalam beragam bentuk ekspresi. Jadi, bila kemungkinan
terburuk sampai terjadi, apa pun bentuknya, Presiden Yudhoyono dituntut
untuk lebih bijak dalam menyikapi.
Kedua, dengan latar belakang pengguna Twitter yang
didominasi kelas menengah, sudah seharusnya pendekatan yang dilakukan
lebih persuasif dan inovatif. Tentu dengan tetap mengedepankan nalar dan
orisinalitas pendapat, agar para pengguna yang cukup kritis ini tak jenuh
dan dapat merasakan langsung manfaat kehadiran pemimpin di tengah-tengah
mereka.
Ketiga, kicauan atau twit yang disampaikan tak harus
formal atau sekadar pencitraan semata, karena publik lebih menghendaki
otentisitas pemimpin dalam kehidupan sehari-harinya. Kesan elitis yang
sering dipertontonkan para pejabat publik sudah berlalu dan di masa
mendatang, pemimpin yang justru dinantikan adalah mereka yang mampu
menjadi bagian dari diri rakyat secara keseluruhan.
Keempat, sebaran informasi di linimasa (timeline) Twitter begitu cepat dan
terkadang kurang akurat. Ketepatan informasi dan kepastian fakta menjadi
legitimasi atau kelebihan dari informasi yang nanti akan disebarluaskan
melalui akun milik presiden ini. Sebab, Presiden memiliki sumber daya
yang solid dalam memastikan sebuah kejadian. Keunggulan ini bisa menjadi
kelemahan, bila rasa keingintahuan masyarakat tak direspons maksimal dan
akan semakin menguatkan persepsi mereka bahwa presidennya lambat dan
kurang tanggap.
Respons Publik
Satu hal yang sudah seharusnya diingat oleh
Yudhoyono, baik sebagai pribadi maupun institusi yang memegang kendali
penuh pemerintahan, bahwa ia adalah sosok simbolik yang bersamanya
melekat berbagai predikat. Setiap pernyataan, wacana, dan sikap yang
dibuat tak bisa dipisahkan secara diametral dan dikotomik dari posisinya
sebagai presiden, karena memori rakyat tak melihat ada jeda yang jelas
dengan berbagai peran yang saat ini melekat pada dirinya. Sehingga
menjadi wajar melihat animo dan berbagai respons publik menyikapi akun
Twitter baru milik Presiden, padahal sampai sekarang belum begitu banyak
kicauan yang dibuat. Antusiasme ini dapat dilihat dari jumlah pengikut (followers) yang sudah menyentuh
angka ratusan ribu orang.
Apa yang terjadi dari realitas ini adalah kerinduan
publik akan sosok pemimpin yang dekat dengan mereka. Figur yang tak
berjarak dan yang bisa membuat mereka terlibat dalam interaksi membangun
negeri ini. Realitas ini sudah seharusnya dibaca dengan baik agar tak
berakhir antiklimaks. Karena tak bisa dimungkiri, saat ini wibawa
pemerintah turun dan semakin jatuh akibat terlalu dalam terlibat day to day politics, hukum yang
tak tegak, perilaku kekerasan, dan konflik horizontal.
Karena itu, perlu perbaikan segera terhadap
implementasi kebijakan maupun optimalisasi kerja di kabinet dalam tahun
politik seperti sekarang. Jangan sampai rakyat dikorbankan dan Presiden
Yudhoyono hanya diam membenarkan, karena memang menjadi bagian dari
sengkarut tersebut. Dalam bahasa Poole, Seibold, dan McPhee (1986),
memandang perlu adanya refleksivitas dalam setiap upaya membangun
perbaikan organisasi, termasuk birokrasi. Hal ini merujuk pada kesadaran
diskursif, yakni kemampuan untuk menjelaskan kepada publik atas sejumlah
sikap, kebijakan, dan tindakan pemerintah, sehingga publik dapat
memahaminya dengan baik-yang diikuti kesadaran praktis yang berorientasi
pada tindakan dan spontanitas pemerintah dalam merespons sebuah masalah,
dalam bentuk ketegasan, blusukan atau incognito, yang alami tanpa
basa-basi.
Media sosial, khususnya Twitter, dapat
menjadi sumber utama informasi dalam menyampaikan pernyataan maupun
tindakan pemerintah secara utuh. Dan diharapkan, bersama rakyat di dunia
nyata (the real world) maupun followers di dunia maya (cyberspace community), Presiden Yudhoyono dapat mengguncang dunia, lebih
baik daripada 10 pemuda yang dimiliki oleh Presiden Sukarno. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar