Rabu, 17 April 2013

Bingung Ihwal Tanggung Jawab Sosial Perusahaan


Bingung Ihwal Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Katamsi Ginano   Penikmat Buku dan Praktisi CSR 
KORAN TEMPO, 17 April 2013


Dikemas dengan desain apik dan penuh gambar, "Laporan Keberlanjutan 2012" dari salah satu perusahaan terkemuka di Indonesia tiba di tangan saya. Bulan-bulan ini (biasanya antara Maret dan Juni) kalangan dunia usaha, terutama yang terdaftar di pasar modal atau menjadi bagian dari korporasi global, memang mulai mempublikasi laporan keuangan dan laporan keberlanjutan (sustainability report) untuk tahun yang telah dilewati. 
Laporan yang saya terima itu diseraki apa yang disebut "program tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR)". Foto anak-anak tersenyum lebar setelah dikhitan, pelatihan menjahit dan memasak ibu-ibu rumah tangga, penyerahan beasiswa, hingga pembangunan jembatan dan rumah ibadah di sekitar operasi perusahaan jadi bukti yang sukar didebat. 
Dibandingkan dengan laporan keuangan, laporan keberlanjutan-ada pula yang menjuduli "laporan sosial dan lingkungan"-adalah tradisi baru yang bersifat sukarela. Publikasi yang galibnya menggunakan panduan Global Reporting Initiative (GRI) ini memuat komitmen, kinerja, dan capaian perusahaan dari aspek ketatalaksanaan, sosial, dan lingkungan. Itu sebabnya dia diidentikkan pula sebagai laporan CSR perusahaan. 
CSR, yang telah menjadi kosakata amat populer di kalangan dunia usaha di Indonesia setidaknya dalam 15 tahun terakhir, membawa pencerahan, keterlibatan bisnis dalam aspek yang lebih luas dari semata kepentingan menghasilkan keuntungan, sekaligus kebingungan massal semua pihak yang terkait. Salah satu contoh kebingungan itu adalah diaturnya CSR lewat Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang penjabarannya dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Perseroan Terbatas. 
Hanya, di negeri ini, TJS yang sifatnya beyond regulation ditetapkan menjadi kewajiban dengan tanpa konsekuensi dan sanksi bagi pelanggarnya. Di tingkat global, pewajiban berkaitan dengan CSR disepakati dimulai pada 2015 (atau lima tahun setelah Konferensi GRI 2012). Itu pun terbatas dalam bentuk mempublikasi Laporan Keberlanjutan bagi institusi (bisnis) dan lembaga lainnya di negara-negara yang berkomitmen terhadap penggunaan GRI Guide Line Report
Tetapi, apa itu CSR? Salah satu definisi paling populer dirumuskan oleh World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) dan dipublikasikan dalam Meeting Changing Expectation (2002), menyatakan: "Tanggung jawab sosial perusahaan adalah komitmen berkelanjutan dari dunia usaha untuk berperilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi sekaligus meningkatkan kualitas hidup tenaga kerja dan keluarga mereka serta komunitas sekitar dan masyarakat pada umumnya." 
Ketiadaan konsekuensi dan sanksi terhadap pewajiban CSR di Indonesia menyebabkan implementasinya sangat bergantung pada pihak mana yang menafsir, dengan kepentingan dan situasi apa. Pemerintah, misalnya, mereduksi CSR semata alokasi dana membantu masyarakat dan lingkungan, berkelindan dengan UU lain yang mengikat dan wajib dipatuhi kalangan pelaku usaha. 
Orang banyak, yang menjadi bagian dari pemangku kepentingan dunia usaha, mengikuti tafsir pemerintah dan memperluas hingga varian yang tak masuk akal. Karena dunia usaha wajib mengalokasikan dana untuk CSR, dia juga mutlak terlibat dalam penyelesaian setiap masalah yang dihadapi masyarakat. Tak peduli apakah itu kebutuhan (need) yang bersifat substansial dan fundamental atau komplementer (want), tapi diperlakukan sebagai keharusan. 
Di lain pihak, sadar atau tidak, dunia usaha turut memperkeruh implementasi komitmen CSR dengan mengecilkan sekadar sebagai community development (comdev), donasi, atau sponsorship. Alhasil, laporan keberlanjutan atau publikasi CSR umumnya di negeri ini jauh dari mengungkap komitmen etis (sebagaimana definisi WBCSD), misalnya kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan, penghormatan terhadap hak asasi (termasuk kebebasan berserikat dan orientasi seksual), atau memperlakukan praktek sosial dan budaya di sekitar operasi dengan penuh respek. 
Padahal tidaklah sulit mengimplementasikan CSR yang substansial. Terhitung 1 November 2010, ribuan definisi yang berkembang sejak konsep ini dirumuskan, telah dibumikan lewat Guide Lines for Social Responsibility atau ISO26000 oleh International Organization for Standardization (ISO), di mana Indonesia menjadi salah satu negara yang turut meretifikasi. 
ISO26000 bukan sekadar panduan untuk CSR, tapi juga tanggung jawab sosial dalam pengertian luas dan dapat digunakan oleh kelompok, lembaga, institusi, termasuk pemerintah, yang menyadari pentingnya mengikhtiarkan kehidupan yang berkelanjutan. Mengikuti panduan ISO26000 berarti memahami dan menerapkan seluruh aspek yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial (ketatalaksanaan, lingkungan, hak asasi manusia, ketenagakerjaan, praktek operasi yang adil, konsumen, pelibatan masyarakat, hingga komunikasi). 
Sebagai sebuah pemahaman dan praktek holistik, panduan yang dijabarkan dalam ISO26000 dilaporkan dengan menggunakan GRI (versi terakhirnya adalah GRI 3.1). Laporan inilah yang dijadikan takaran sejauh mana komitmen tanggung jawab sosial itu dipraktekkan dengan sungguh-sungguh. 
Merujuk pada fakta-fakta tersebut, CSR dalam konteks pembangunan berkelanjutan yang dipraktekkan di Indonesia adalah puncak dari kebingungan massal terkini. Kebingungan yang nyata ditunjukkan mayoritas kalangan dunia usaha dengan klaim "program CSR"-nya, tuntutan masyarakat yang kian condong pada "keinginan" ketimbang "kebutuhan", serta tekanan berkamuflase imbauan oleh pemerintah. Sialnya, mereka yang mengaku sebagai pakar dan praktisi CSR juga tanpa sungkan menambah sengkarut pemahaman dan prakteknya. 
Artikel CSR untuk Pembangunan Jakarta yang ditulis aktivis Lingkar Studi CSR, Jalal, yang dipublikasikan Koran Tempo, Selasa (2 April 2013), adalah salah satu bukti paradoks pemahaman dan praktek konsep luhur ini. Memuji Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi), yang melibatkan perusahaan dalam pembangunan Jakarta lewat pendayagunaan "dana CSR" ke berbagai fasilitas dan infrastruktur publik, adalah ikhtiar positif sekaligus bentuk penyederhanaan yang sangat berbahaya. 
Demo buruh yang rutin menghiasi jalanan Jakarta adalah contoh faktual bahwa CSR substansial belumlah menjadi arus utama anutan semua pihak yang terlibat. Bagaimana mungkin institusi bisnis bangga mengklaim berkomitmen terhadap CSR, sementara di saat yang sama, karyawan sebagai pemangku kepentingan utamanya masih berkutat memperjuangkan hak-hak paling normatif? 
Sama halnya, masuk akal-kah kita memuji upaya Jokowi bila bentuknya jauh dari berkelanjutan? Fasilitas air bersih atau jembatan penyeberangan otomatis yang disumbangkan dunia usaha untuk warga Jakarta, tanpa dibarengi membangun kesadaran manajemen pemanfaatan air atau penggunaan fasilitas umum dengan disiplin dan semestinya, jelas tak sejalan dengan keberlanjutan yang dikandung konsep dan komitmen tanggung jawab sosial. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar