Dikemas
dengan desain apik dan penuh gambar, "Laporan
Keberlanjutan 2012" dari salah satu perusahaan terkemuka di
Indonesia tiba di tangan saya. Bulan-bulan ini (biasanya antara Maret dan
Juni) kalangan dunia usaha, terutama yang terdaftar di pasar modal atau
menjadi bagian dari korporasi global, memang mulai mempublikasi laporan
keuangan dan laporan keberlanjutan (sustainability
report) untuk tahun yang telah dilewati.
Laporan
yang saya terima itu diseraki apa yang disebut "program tanggung
jawab sosial perusahaan atau corporate
social responsibility (CSR)". Foto anak-anak tersenyum lebar
setelah dikhitan, pelatihan menjahit dan memasak ibu-ibu rumah tangga,
penyerahan beasiswa, hingga pembangunan jembatan dan rumah ibadah di
sekitar operasi perusahaan jadi bukti yang sukar didebat.
Dibandingkan
dengan laporan keuangan, laporan keberlanjutan-ada pula yang menjuduli "laporan sosial dan
lingkungan"-adalah tradisi baru yang bersifat sukarela.
Publikasi yang galibnya menggunakan panduan Global Reporting Initiative (GRI) ini memuat komitmen,
kinerja, dan capaian perusahaan dari aspek ketatalaksanaan, sosial, dan lingkungan.
Itu sebabnya dia diidentikkan pula sebagai laporan CSR perusahaan.
CSR,
yang telah menjadi kosakata amat populer di kalangan dunia usaha di
Indonesia setidaknya dalam 15 tahun terakhir, membawa pencerahan,
keterlibatan bisnis dalam aspek yang lebih luas dari semata kepentingan
menghasilkan keuntungan, sekaligus kebingungan massal semua pihak yang
terkait. Salah satu contoh kebingungan itu adalah diaturnya CSR lewat
Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang
penjabarannya dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012
tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Perseroan Terbatas.
Hanya,
di negeri ini, TJS yang sifatnya beyond
regulation ditetapkan menjadi kewajiban dengan tanpa konsekuensi dan
sanksi bagi pelanggarnya. Di tingkat global, pewajiban berkaitan dengan
CSR disepakati dimulai pada 2015 (atau lima tahun setelah Konferensi GRI
2012). Itu pun terbatas dalam bentuk mempublikasi Laporan Keberlanjutan
bagi institusi (bisnis) dan lembaga lainnya di negara-negara yang
berkomitmen terhadap penggunaan GRI Guide
Line Report.
Tetapi,
apa itu CSR? Salah satu definisi paling populer dirumuskan oleh World Business Council for Sustainable
Development (WBCSD) dan dipublikasikan dalam Meeting Changing Expectation (2002), menyatakan: "Tanggung jawab sosial perusahaan
adalah komitmen berkelanjutan dari dunia usaha untuk berperilaku etis dan
berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi sekaligus meningkatkan
kualitas hidup tenaga kerja dan keluarga mereka serta komunitas sekitar
dan masyarakat pada umumnya."
Ketiadaan
konsekuensi dan sanksi terhadap pewajiban CSR di Indonesia menyebabkan
implementasinya sangat bergantung pada pihak mana yang menafsir, dengan
kepentingan dan situasi apa. Pemerintah, misalnya, mereduksi CSR semata
alokasi dana membantu masyarakat dan lingkungan, berkelindan dengan UU
lain yang mengikat dan wajib dipatuhi kalangan pelaku usaha.
Orang
banyak, yang menjadi bagian dari pemangku kepentingan dunia usaha,
mengikuti tafsir pemerintah dan memperluas hingga varian yang tak masuk
akal. Karena dunia usaha wajib mengalokasikan dana untuk CSR, dia juga
mutlak terlibat dalam penyelesaian setiap masalah yang dihadapi
masyarakat. Tak peduli apakah itu kebutuhan (need) yang bersifat substansial dan fundamental atau
komplementer (want), tapi
diperlakukan sebagai keharusan.
Di
lain pihak, sadar atau tidak, dunia usaha turut memperkeruh implementasi
komitmen CSR dengan mengecilkan sekadar sebagai community development (comdev), donasi, atau sponsorship. Alhasil, laporan
keberlanjutan atau publikasi CSR umumnya di negeri ini jauh dari
mengungkap komitmen etis (sebagaimana definisi WBCSD), misalnya
kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan, penghormatan terhadap
hak asasi (termasuk kebebasan berserikat dan orientasi seksual), atau
memperlakukan praktek sosial dan budaya di sekitar operasi dengan penuh
respek.
Padahal
tidaklah sulit mengimplementasikan CSR yang substansial. Terhitung 1
November 2010, ribuan definisi yang berkembang sejak konsep ini
dirumuskan, telah dibumikan lewat Guide
Lines for Social Responsibility atau ISO26000 oleh International Organization for
Standardization (ISO), di mana Indonesia menjadi salah satu negara
yang turut meretifikasi.
ISO26000
bukan sekadar panduan untuk CSR, tapi juga tanggung jawab sosial dalam
pengertian luas dan dapat digunakan oleh kelompok, lembaga, institusi,
termasuk pemerintah, yang menyadari pentingnya mengikhtiarkan kehidupan
yang berkelanjutan. Mengikuti panduan ISO26000 berarti memahami dan
menerapkan seluruh aspek yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial
(ketatalaksanaan, lingkungan, hak asasi manusia, ketenagakerjaan, praktek
operasi yang adil, konsumen, pelibatan masyarakat, hingga komunikasi).
Sebagai
sebuah pemahaman dan praktek holistik, panduan yang dijabarkan dalam
ISO26000 dilaporkan dengan menggunakan GRI (versi terakhirnya adalah GRI
3.1). Laporan inilah yang dijadikan takaran sejauh mana komitmen tanggung
jawab sosial itu dipraktekkan dengan sungguh-sungguh.
Merujuk
pada fakta-fakta tersebut, CSR dalam konteks pembangunan berkelanjutan
yang dipraktekkan di Indonesia adalah puncak dari kebingungan massal
terkini. Kebingungan yang nyata ditunjukkan mayoritas kalangan dunia
usaha dengan klaim "program CSR"-nya, tuntutan masyarakat yang
kian condong pada "keinginan" ketimbang "kebutuhan",
serta tekanan berkamuflase imbauan oleh pemerintah. Sialnya, mereka yang
mengaku sebagai pakar dan praktisi CSR juga tanpa sungkan menambah
sengkarut pemahaman dan prakteknya.
Artikel
CSR untuk Pembangunan Jakarta yang ditulis aktivis Lingkar Studi CSR,
Jalal, yang dipublikasikan Koran Tempo, Selasa (2 April 2013), adalah
salah satu bukti paradoks pemahaman dan praktek konsep luhur ini. Memuji Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi),
yang melibatkan perusahaan dalam pembangunan Jakarta lewat pendayagunaan
"dana CSR" ke berbagai fasilitas dan infrastruktur publik,
adalah ikhtiar positif sekaligus bentuk penyederhanaan yang sangat
berbahaya.
Demo
buruh yang rutin menghiasi jalanan Jakarta adalah contoh faktual bahwa
CSR substansial belumlah menjadi arus utama anutan semua pihak yang
terlibat. Bagaimana mungkin institusi bisnis bangga mengklaim berkomitmen
terhadap CSR, sementara di saat yang sama, karyawan sebagai pemangku kepentingan
utamanya masih berkutat memperjuangkan hak-hak paling normatif?
Sama halnya, masuk akal-kah kita memuji upaya Jokowi bila bentuknya
jauh dari berkelanjutan? Fasilitas air bersih atau jembatan penyeberangan
otomatis yang disumbangkan dunia usaha untuk warga Jakarta, tanpa
dibarengi membangun kesadaran manajemen pemanfaatan air atau penggunaan
fasilitas umum dengan disiplin dan semestinya, jelas tak sejalan dengan
keberlanjutan yang dikandung konsep dan komitmen tanggung jawab sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar