Jumat, 19 April 2013

Gugatan atas Undang-Undang Pendidikan Tinggi 2012


Gugatan atas Undang-Undang Pendidikan Tinggi 2012
Ade Armando ;  Dosen Komunikasi Universitas Indonesia
KORAN TEMPO, 19 April 2013
  

Saat ini bermunculan gerakan protes dan gugatan formal terhadap Undang-Undang Pendidikan Tinggi 2012. Media memberitakan, di berbagai perguruan tinggi negeri berlangsung acara-acara unjuk rasa yang meminta agar undang-undang tersebut dibatalkan. Sejumlah mahasiswa--dengan bantuan lembaga swadaya masyarakat--juga mengajukan dua permohonan terpisah kepada Mahkamah Konstitusi agar menetapkan undang-undang tersebut sebagai bertentangan dengan UUD 1945.
Ada beberapa argumen yang dikedepankan gerakan protes itu. Dicitrakan oleh para penggugat bahwa UU Pendidikan Tinggi (Dikti) tersebut akan melahirkan otonomi perguruan tinggi yang pada intinya adalah kemandirian kampus untuk melakukan komersialisasi pendidikan. Dengan otonomi itu, biaya pendidikan akan menjadi mahal sehingga hanya orang kaya yang diuntungkan. 
Sebagai alternatif, mereka menuntut pembatalan otonomi, sehingga tanggung jawab pendidikan tinggi dikembalikan ke pemerintah. Perguruan tinggi kembali menjadi lembaga instansi pemerintah, dan biaya kuliah bisa ditekan serendah mungkin. Para aktivisnya bahkan menyatakan bahwa seharusnya--sebagaimana, misalnya, di Jerman--mahasiswa bisa kuliah dengan cuma-cuma. 
Menurut saya, gugatan itu mencerminkan keterbatasan pengetahuan para perancangnya. Atau, lebih buruk lagi, itu mencerminkan upaya memperdaya publik demi kepentingan kelompok kecil yang sebenarnya sedang terancam oleh UU Dikti tersebut. Saya gunakan kata "memperdaya" karena apa yang diperjuangkan oleh para penggugat sebenarnya jauh dari keberpihakan pada rakyat kecil. Sebaliknya, mungkin tanpa mereka sadari, mereka sedang memperjuangkan kenikmatan dan kemudahan bagi orang kaya. 
Selama berpuluh tahun di bawah Orde Baru dan di awal reformasi, mahasiswa perguruan tinggi negeri di Indonesia menikmati subsidi rakyat luar biasa. Mereka membayar sangat murah serta memperoleh fasilitas pendidikan dan kualitas pengajaran terbaik di negeri ini. Siapa yang menikmati? Kalangan menengah ke atas! 
Begitu pula sekarang, kalau apa yang diperjuangkan penolak UU Dikti berhasil, yang akan menikmati murahnya biaya pendidikan berkualitas adalah kalangan borjuis yang--dengan menggunakan Universitas Indonesia sebagai contoh--memenuhi lahan parkir kampus dengan mobil-mobil mewahnya dan tinggal di apartemen-apartemen mahal yang dibangun di sekitar kampus untuk memfasilitasi gaya hidup kaum muda kaya ini. 
Realistis saja, daya tampung perguruan tinggi terbatas, sehingga harus ada proses seleksi ketat untuk bisa masuk ke sana. Hampir pasti, peluang siswa kaya yang datang dari sekolah-sekolah menengah terbaik jauh lebih besar daripada siswa miskin dengan segenap keterbatasan latar belakangnya. Singkat kata, kalau uang kuliah dibuat murah, yang akan paling menikmati kemurahan itu adalah kaum elite. Orang miskin hanya akan menjadi penonton yang mensubsidi. 
UU Dikti ini justru hendak menjalankan pola yang lebih adil. Berbagai universitas yang dulu dikenal sebagai perguruan tinggi negeri di bawah pemerintah akan menjelma menjadi perguruan tinggi negeri badan hukum (PTNBH), yang memiliki kemandirian dari pemerintah, namun pada saat yang sama tetap didanai negara sehingga tak boleh berorientasi komersial dan tetap wajib mengabdi pada rakyat luas.
Tanpa ada preseden sebelumnya, undang-undang ini mengharuskan setiap perguruan tinggi mengalokasikan 20 persen kursinya untuk kaum ekonomi lemah. Lebih jauh lagi, undang-undang ini menyatakan bahwa kelangsungan biaya pendidikan kaum 20 persen ini diperoleh dari beasiswa pemerintah, pemerintah daerah, sumbangan masyarakat, dan lain sebagainya. 
Ini tidak pernah diamanatkan oleh undang-undang mana pun sebelum ini. Melalui kewajiban ini, tidak akan ada perguruan tinggi yang hanya diisi oleh kaum kaya. Kaum miskin diberi perlakuan istimewa. Kompetisi bebas ditiadakan. Sebab, kalau proses pasar terbuka itu yang dijalani, kaum papa pasti tersingkir sejak awal. 
Kedua, undang-undang ini juga membatasi ruang gerak pengelola PTNBH dalam menerapkan biaya kuliah. Mereka yang berpikir akan bisa memanfaatkan perguruan tinggi sebagai ladang emas untuk dikeruk kekayaannya harus gigit jari. Besar biaya kuliah per mahasiswa tidak bisa ditetapkan semena-mena oleh rektor. Undang-undang mengamanatkan pemerintah untuk menetapkan standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi secara periodik, yang akan digunakan sebagai dasar oleh tiap PTNBH untuk menetapkan biaya kuliah di kampus masing-masing. 
PTNBH tidak boleh mengandalkan sebagian besar biaya pendidikan dari mahasiswa. Sekitar 70 persen dari biaya pendidikan harus diperoleh dari sumber non-mahasiswa, misalnya melalui penelitian dan bentuk-bentuk pencarian dana melalui kerja sama dengan pihak luar. 
Undang-undang juga tidak menyatakan bahwa pemerintah bisa lepas tangan dari kewajibannya atas pendanaan pendidikan. Pemerintah harus tetap mendanai PTNBH, sehingga tak perlu terjebak dalam kebutuhan untuk melakukan eksploitasi ekonomi atau terjerat dalam gurita kepentingan ekonomi dan politik. Di sisi lain, undang-undang membatasi peran pemerintah sehingga tak bisa mengintervensi otonomi pendidikan PTNBH. 
Undang-Undang Dikti ini memang tidak akan membuat biaya kuliah menjadi murah, melainkan akan menjadi lebih adil. Mereka yang datang dari kalangan bawah dijamin kuotanya. Mereka yang tak mampu ini dibebaskan dari biaya kuliah. Mereka yang kaya harus membayar lebih mahal, namun itu pun dengan batas yang tak bisa ditentukan semena-mena oleh pengelola perguruan tinggi. Untuk mempermudah pendidikan, undang-undang ini bahkan mengatur ihwal skema pemberian pinjaman lunak kepada para mahasiswa yang membutuhkan. 
Saya tak hendak mengatakan undang-undang ini sempurna. Saya percaya bahwa PTNBH di Indonesia akan tetap didominasi oleh kalangan muda menengah ke atas. Tapi undang-undang ini perlu didukung, karena dia menjamin otonomi kampus--suatu keniscayaan bagi pusat-pusat ilmu pengetahuan yang berjarak dari kekuasaan. Dan, pada saat yang sama, undang-undang ini lebih memenuhi rasa keadilan dalam pendidikan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar